ILMU QIRA’AT DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
A.
Definisi Ilmu Qira’at
Sebelum
membahas tentang sejarah perkembangan Ilmu Qira’at secara umum perlu kiranya
penulis memberikan definisi tentang Ilmu Qira’at. Secara etimologi, lafazh qira’at merupakan
bentuk masdar dari qara’a yang berarti “bacaan”. Yang dimaksudkan di
sini adalah perbedaan-perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.
Sedangkan
secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh
para ulama sehubungan dengan pengertian qira'at ini. Imam Al-Zarkasyi misalnya, mengemukakan
pengertian qira'at sebagai berikut: [1]
وَالْقِرَاءَاتُ
هِيَ اخْتِلَافُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِي كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ
كَيْفِيَتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِمَا
Artinya: “Qira'at yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu (Al-Qur’an) dalam
hal penulisan hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti
takhfîf, tatsqîl, dan lain-lain.”
Dalam rumusan definisi di atas, al-Zarkasyi berpendapat
bahwa qira’at sebagai sistem penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf
tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat qira’at. Adapun menurut Al-Dimyathi,
sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Hâdî al-Fadli, mengemukakan definisi qira’at sebagai
berikut:[2]
الْقِرَاءَاتُ:
عِلْمٌ يُعْلَمُ مِنْهُ اتِّـفَاقُ النَّاقِـلِيْنَ لِكِتَابِ اللهِ تَعـَالَى وَاخْتِلَافُ
فَـهْمٍ فِى الْحَذْفِ وَالْإِثْـبَاتِ وَالتَّـحْرِيْكِ وَالتَّـسْكِيْنِ وَالْفَصْلِ
وَالْوَصْلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ هَيْـئَةِ النُّـطْقِ وَالْإِبْدَالِ وَغَيْرِهِ
مِنْ حَيْثُ السِّمَاعِ
Artinya: “Qira'at
yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik
yang disepakati maupun yang di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira'at, seperti hadzf
(membuang huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn
(memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf),
ibdâl (menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh
melalui indra pendengaran.”
Imam
Syihâbuddîn al-Qusthullânî mengemukakan pendapat yang senada dengan al-Dimyathi sebagai
berikut: [3]
الْقِرَاءَاتُ:
عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُمْ اتِّـفَاقُهُمْ وَاخْتِـلَافُهُمْ فِى الُّلغَـةِ وَالْاِعْرَابِ،
وَالْحَذْفِ وَالْإِثْـبَاتِ، وَالْفَصْـلِ وَالْوَصْـلِ، مِنْ حَيْثُ النَّقْـلِ
Artinya: “Qira'at yaitu ilmu untuk
mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira'at (tentang cara-cara
pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an), seperti yang menyangkut aspek kebahasaan,
i’râb, hadzf, itsbât, fashl, washl, yang diperoleh dengan cara
periwayatan.”
Imam Ibnu al-Jazari. (w. 833 H) memberikan definisi Ilmu Qira’at dalam kitabnya “Munjid
al-Muqri’in” adalah sebagai berikut :[4]
عِلْمٌ يُعْرَفُ
بِهِ كَيْفِيَةُ النُّطْقِ بِأَلْفَاظِ الْقُرْءَانِ وَاخْتِلَافُهَا مَعْزُوًّا لِنَاقِلِهِ
Artinya: “Ilmu Qira’at adalah satu
cabang ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan
perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada para perawinya.”
Disamping itu, ada ulama yang mengaitkan definisi qira'at dengan
mazhab atau imam qira'at tertentu selaku pakar qira'at yang bersangkutan dan
atau yang mempopulerkannya. Misalnya al-Qaththân merumuskan definisi
qira’at sebagai berikut:[5]
الْقِرَاءَاتُ:
مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقِ فِي الْقُرْآنِ يَذْهَبُ بِهِ إِمَامٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ
الْقُرَّاء مَذْهَبًا يُخَالِفُ غَيْرَهُ.
Artinya: “Qira’at
adalah satu madzhab/cara tertentu dari beberapa madzhab cara mengucapkan
kalimat-kalimat Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qira’at yang
berbeda dengan madzhab lainnya.”
Sedangkan Muhammad ‘Alî al-Shâbûni mengemukakan definisi qira'at sebagai
berikut: [6]
الْقِرَاءَاتُ:
مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّـطْقِ مِنَ الْقُرْأنِ يَذْهَبُ بِـهِ الْإِمَـامُ مِنَ
الْأَئِـمَّةِ الْقُرَّاءِ مَذْهَبًـا يُخَـالِفُ غَيْرَهُ فِى النُّطْـقِ بِالْقُرْأنِ
الْكَرِيْـمِ وَهِيَ ثَـابِتَـةٌ بِـأَسَانِيْـدِهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْـهِ وَسَـلَّمَ
Artinya: “Qira'at ialah suatu
mazhab/cara tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur’an yang masing-masing imam
itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan
sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw.”
Berdasarkan
definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, nampak bahwa
qira'at Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad saw. melalui al-simâ’ dan al-naql.
Adapun yang dimaksud dengan al-simâ’ adalah bahwa qira'at Al-Qur’an itu
diperoleh melalui cara langsung mendengar dari bacaan Nabi saw. sedangkan yang
dimaksud dengan al-naql adalah diperoleh melalui riwayat yang menyatakan
bahwa qira'at Al-Qur’an itu dibacakan di hadapan Nabi saw., lalu beliau
membenarkannya.
Definisi di atas juga memberikan tekanan pada empat persoalan
pokok yaitu: Pertama :
Ilmu Qira’at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur’an dari segi cara
pengucapannya. Hal ini berbeda
dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di balik teks-teks Al-Qur’an.
Ilmu Qira’at sangat mengandalkan oral (lisan)
untuk mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dalam semua seginya, seperti
pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid
seperti idghâm, iqlâb, ikhfâ’, izhhâr dan lain
sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para
sahabatnya. Hal ini berbeda dengan
membaca teks lain selain Al-Qur’an, seperti membaca teks hadis nabi yang tidak
mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Qur’an. Dengan demikian Ilmu
Qira’at sangat terkait dengan tathbîq (praktik) membaca. Mungkin banyak
orang yang mengerti teori Ilmu Qira’at, tapi pada akhirnya dia harus
juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Jazari dalam “THayyibah
al-Nasyr”:
وَلَيْسَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ تَرْكِهِ اِلَّا رِيَاضَةٌ امْرِئٍ بِفَكِّهِ
Artinya:
“Hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang
dengan ilmu qira’at adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan mulutnya
(mempraktikkan bacaan).”
Kedua
:
Ilmu Qira’at sangat terkait dengan “Arabisme” . Hal ini tidak bisa
disangkal lagi karena Al-Qur’an diturunkan di Jazirah Arab, kepada nabi yang
berbangsa Arab, dan kaum yang juga berbangsa Arab. Bahasa yang digunakan juga
berbahasa Arab. Maka cara pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an juga mengacu kepada
cara orang Arab melafalkan kalimat-kalimat Arab. Bagi bangsa yang non Arab,
pada saat melafalkan Al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan cara yang
digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu dipadukan dengan cara yang
diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang qari’/qari’ah yang
mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur’an secara tepat, seakan-akan
dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi “lahjah a’jamiyyah”nya atau
aksen ‘ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang Arab yang mampu
membaca Al-Qur’an dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan
bacaan yang diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya
sampai kepada Syuyûkh
al-Qurrâ’.
Ketiga
: Ilmu Qira’at adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given
(sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh (pakar Ilmu Qira’at) ke syekh yang lain secara berkesinambungan
dan terus menerus sampai kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan IlmuTafsir yang tugasnya menganalisa teks-teks Al-Qur’an dari segi maknanya. Pada saat
menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk kepada hadis
nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas
seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada
kriteria penafsiran Al-Qur’an
yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang
lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa
ditolelir dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira’at yang sama
sekali tidak menerima adanya
perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa
diterima
jika betul-betul berasal dari nabi. Imam
al-Syâthibi
berkata dalamkitabnya “Hirz
al-Amâni” :[7]
وَمَا
لِقِيَاسٍ فِى الْقِرَاءَةِ مَدْخَــــلُ
فَدُوْنَـكَ مَا فِيْهِ الرِّضَا مُتَكَفِّلًا
Artinya:“Tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad
dalam ilmu qira’at. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira’at.”
Dengan adanya
“silsilah sanad” dalam Ilmu Qira’at, maka Al-Qur’an masih tetap dalam orisinilitas dan kemurniannya. Inilah
sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira’at.
Keempat : Ilmu Qira’at sangat terkait dengan Rasm
Mushhaf Utsmâni karena setiap bacaan
harus selalu mengacu kepada Mushhaf Al-Qur’an yang telah mendapatkan persetujuan
dan ijma’ para sahabat nabi pada masa
penulisan mushhaf pada zaman Utsmân bin ‘Affân atau mushhaf yang sesuai dengan
rasm Utsmâni.
B. Sejarah Perkembangan
dan Pembukuan Ilmu Qira’at
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat
tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at
mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an. Ada juga yang
mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah,
dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan
bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang
kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa qira’at memang mulai
di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an, akan tetapi ketika di
Mekah qira’at belum begitu di butuhkan
karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu
Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai
banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan
dialek yang berbeda.[8]
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa
kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Untuk mengurai persoalan ini ada beberapa
pembahasan yang patut dikemukakan di sini yaitu :
1.
Qira’at Pada
Masa Nabi.
2.
Qira’at Pada
Masa Sahabat dan Tabi’in.
3.
Munculnya
Komunitas Ahli Qira’at.
4.
Kodifikasi
Ilmu Qira’at.
5.
Terbentuknya
Qira’at Sab’ah.
6.
Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah
1. Qira’at Pada Masa Nabi
Perlu dikemukakan disini bahwa bangsa Arab
adalah bangsa yang mempunyai puak-puak atau kabilah-kabilah yang terpencar di
beberapa kawasan di semenanjung Arabia. Kabilah-kabilah tersebut ada yang bertempat
tinggal di perkampungan yaitu di sebelah Timur Jazirah Arabiyah dan adapula
yang bertempat tinggal di perkotaan seperti kawasan sebelah Barat Jazirah Arabiyah
yang meliputi Mekah, Madinah dan sekitarnya. Mereka yang tinggal di
perkampungan seperti suku Tamim, Qais, Sa’d dan lainnya mempunyai tradisi dan
dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan
dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dianut suku pedalaman cukup beragam, seperti : Imâlah, atau mengucapkan huruf ‘a menjadi
huruf ‘ê’ seperti Satê. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan
kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang
dikenal dengan sebutan “Idghâm”. Imam Ibnu Qutaibah al-Dînawari menjelaskan,sebagaimana dinukil
oleh Ibnu al-Jazari, tentang beragamnya dialek kabilah-kabilah Arab:
“Allah telah memberikan kemudahan bagi nabiNya dan
memerintahkan kepadanya agar memperbolehkan
setiap suku Arab yang menjadi umatnya bisa
membaca Al-Qur’an dengan bahasa dan dialeknya masing-masing. Suku
Hudzail hanya mampu membaca (
عَتَّى حِيْنٍ ) semestinya : ( حَتَّى
حِيْنٍ), orang
dari suku Asad mengucapkan : ( تِعْلَمُوْنَ وَ تِعْلَمُ و تِسْوَدُّ و أَلَمْ إِعْهَدْ إِلَيْكُمْ
) ,( dengan
mengkasrahkan awal huruf dari fi’il mudlâri’),
orang dari suku Tamim akan membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang
Quraisy mengucapkannya dengan nada melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh : ( قِيْلَ لَهُمْ وَ غِيْضَ
الْمَاء )dengan “isymâm” (yaitu men-dlammah-kan Qaf
dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat meng-kasrah-kan keduanya,
mereka juga membaca : ( بِضَاعَتُنَا رُدَّتْ ) dengan meng-isymam-kan Ro’nya
yaitu mencampurkan suara kasrah dengan dlammah.” [9]
Ibnu al-Jazari menambahkan dari apa yang
dikatakan Ibnu Qutaibah tentang bentuk-bentuk dialek suku-suku Arab:
“Sebagian kabilah membaca lafazh : ( عَلَيْهِمْ و فِيْهِمْ ) yang berkasrah Ha’, dengan men-dlammah-kan Ha’,
suku lain membaca : ( عَلَيْهِمُوْ و مِنْهُمُوْ )(sementara lainnya men-sukun-kan Mim), satu
kabilah membaca : ( قَدْ أَفْلَحَ . قُلْ أُوْحِيَ . وَخَلَوْا إِلَى ) dengan membaca “naql” ( mengalihkan harakat hamzah
kepada huruf mati sebelumnya, sementara suku lainnya tidak membaca demikian).
Satu kabilah membaca : ( مُوْسَى ، وعِيْسَى ، و دُنْيَا )
dengan Imalah ( huruf “a” dibaca “ê”) .
Ada yang membaca : خَبِيْرًا بَصِيْرًا dengan membaca tarqîq
(menipiskan) bunyi Ro’nya. Ada juga yang membaca : الصَّلَاةُ , الطَّلَاقُ dengan menebalkan bunyi lamnya.”
Ibnu Qutaibah juga
berkata bahwa seandainya setiap kelompok dari mereka (orang Arab) harus
menjauhkan diri dari apa yang sudah menjadi kebiasaan mereka, maka akan terasa
berat bagi mereka yang terdiri dari anak-anak, anak muda dan orang tua. Kecuali
setelah berjuang keras. Oleh sebab itu Allah memberikan keringanan bagi mereka
untuk membaca Al-Qur’an dengan bahasa (dialek) yang sesuai dengan apa yang
mudah bagi mereka, sebagaimana Allah juga memberikan keringanan dalam
pelaksanaan hukum Islam.
Demikianlah keadaan dialek suku-suku Arab pada
saat Al-Qur’an diturunkan. Bisa
dibayangkan bagaimana nabi Muhammad saw. mensosialisasikan
Al-Qur’an
kepada masyarakat Arab pada saat itu. Bukan itu saja, umat nabi Muhammad terdiri dari
berbagai macam kalangan dan status sosial yang
beragam, ada orang awam yang tidak bisa membaca dan menulis atau yang disebut “ummi”,
ada orang tua yang tidak cakap lagi mengucapkan kata-kata dengan tegas dan
jelas, ada anak kecil dan lain sebagainya. Sementara nabi mempunyai beban yang
berat untuk mensosialisasikan Al-Qur’an kepada mereka.
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang disamping bertujuan untuk memberikan
hidayah atau petunjuk kepada segenap umat manusia, terutama umat Islam,
Al-Qur’an
juga sebuah kitab bacaan yang perlu dibaca. Nama Al-Qur’an
diartikan sebagai bacaan atau sesuatu yang dibaca. Oleh karena itu pada saat
malaikat Jibril memerintahkan kepada nabi untuk membacakan Al-Qur’an dengan
satu huruf atau satu macam bacaan, nabi langsung naik banding kepada malaikat
Jibril agar keharusan itu diperingan lagi. Ternyata Allah melalui malaikat Jibril
memberikan keringanan (rukhshah) kepada nabi sampai tujuh huruf atau
macam bacaan. Hadis berikut ini menjelaskan hal tersebut:
عَنْ أُبَىِّ بْنِ
كَعْبٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِى غِفَارٍ
- قَالَ - فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ
يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ
اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ».
ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ
أُمَّتُكَ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفَيْنِ فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ
الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَحْرُفٍ. فَقَالَ « أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ
وَمَغْفِرَتَهُ وَإِنَّ أُمَّتِى لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ». ثُمَّ جَاءَهُ
الرَّابِعَةَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَقْرَأَ أُمَّتُكَ
الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا. (رواه مسلم)[10]
Artinya: “Nabi Muhammad berada di genangan air milik Bani Ghifar. Datanglah
malaikat Jibril dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu
huruf.” Nabi berkata :
“aku meminta
ampun dan pertolongan kepadaNya, umatku tidak mampu untuk itu”. Kemudian
malaikat Jibril datang kedua kali dan mengatakan bahwa Allah memerintahkan
seperti diatas dengan dua huruf. Lalu nabi menjawab seperti diatas pula, bahwa
umatnya tidak mampu untuk itu. Lalu malaikat Jibril datang ketiga kali, lalu
keempat kali, lalu pada akhirnya malaikat Jibril mengatakan bahwa Allah
memberikan keringanan sampai tujuh huruf.
Huruf manapun yang mereka baca, mereka sudah benar.”
Hadis tersebut sangat masyhur di kalangan ahli
hadis karena diriwayatkan oleh lebih dari 20 sahabat. ‘Abd al-SHabûr
Syahin dalam kitabnya “Tarikh Al-Qur’an” menyebutkan bahwa ada 25 sahabat yang
meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang meriwayatkan hadis
tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kualitas
dha’îf”
berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkualitas
shahîh. Syahin menggolongkan hadis ini ke dalam hadis
yang mutawâtir. [11] .
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “Sab’atu Ahruf”
sebagaimana yang tertera dalam hadis di atas. Mereka berbeda pendapat tentang
arti huruf, arti bilangan tujuh, apakah berarti bilangan yang pasti atau
mempunyai arti banyak. Berikut ini pendapat para ulama tentang makna Sab’atu
Ahruf :
a.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah
tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini
terbagi lagi menjadi dua bagian:
1)
Sebagian ulama mengatakan bahwa ketujuh bahasa itu tersebar di seluruh Al-Qur’an.
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abû ‘Ubaid, Ahmad bin
Yahyâ, Tsa’lab, dan masih banyak yang lainnya.[12]
Menurut pendapat ini, Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah saw. dengan tujuh
bahasa kabilah Arab dan ketujuh bahasa inilah yang dianggap sebagai bahasa Arab
paling fashih di antara sekian banyak bahasa kabilah Arab lainnya, yaitu
bahasa Quraisy, Hudzail, Tamîm, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, dan Yaman.[13]
Namun ada juga yang menyebutkan bahwa ketujuh bahasa kabilah yang dimaksud
adalah Quraisy, Hudzail, Tamîm, Azd, Hawâzin, Rabî’ah, dan Sa’ad bin Bakr.[14]
2)
Pendapat ulama yang menyebutkan bahwa perbedaan tujuh bahasa yang terdapat
di dalam Al-Qur’an terkumpul dalam
sebuah lafal. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarîr al-Thabari. Al-Thabari menyandarkan
pendapatnya pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam Shahîh-nya
mengenai perselisihan yang pernah terjadi antara ‘Umar bin al-Khaththâb dengan
Hisyâm bin Hakîm tentang qira’at Al-Qur’an. Adapun redaksi hadis
tersebut adalah sebagai berikut:
حدثنا
أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني عروة بن الزبير عن حديث
المسور بن مخرمة وعبد الرحمن بن عبد القاري أنهما سمعا عمر بن الخطاب يقول: سمعت
هشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان في حياة رسول الله صلى الله عليه و سلم
فاستمعت لقراءته فإذا هو يقرؤها على حروف كثيرة لم يقرئنيها رسول الله صلى الله
عليه و سلم فكدت أساوره في الصلاة فانتظرته حتى سلم فلببته فقلت من أقرأك هذه
السورة التي سمعتك تقرأ ؟ قال أقرأنيها رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت له
كذبت فوالله إن رسول الله صلى الله عليه و سلم لهو أقرأني هذه السورة التي سمعتك
فانطلقت به إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم أقوده فقلت يا رسول الله إني سمعت
هذا يقرأ سورة الفرقان على حروف لم تقرئنيها وإنك أقرأتني سورة الفرقان فقال ( يا
هشام أقرأها ) . فقرأها القراءة التي سمعته فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم (
هكذا أنزلت ) . ثم قال ( اقرأ يا عمر ) . فقرأتها التي أقرأنيها فقال رسول الله
صلى الله عليه و سلم ( هكذا أنزلت ) . ثم قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( إن
القرآن أنزل على سبعة حروف فاقرؤوا ما تيسر منه )[15]
Artinya: “Telah
meriwayatkan kepada kami Abû al-Yamân, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib,
dari al-Zuhrî ia berkata: telah mengabarkan kepada kami ‘Urwah bin al-Zubair,
dari riwayat al-Miswar bin Makhramah dan ‘Abdurrahmân bin ‘Abd al-Qâri
bahwa keduanya telah mendengar ‘Umar bin al-Khaththâb berkata: “Aku telah
mendengar Hisyâm bin Hakîm bin Hizâm membaca surah al-Furqân
ketika Rasulullah saw. masih hidup. Aku menyimak bacaannya, ternyata banyak
sekali bacaan yang berbeda dengan yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw.
kepadaku. Hampir saja aku memegang kepalanya untuk aku bunuh ketika dia sedang shalat.
Namun aku menunggunya sampai salam. Maka aku bertanya kepadanya: ‘Siapa yang
mengajarkan kepadamu surah yang aku dengar tadi?’ Hisyâm menjawab: ‘Rasulullah
saw. yang mengajarkannya kepadaku.’ Aku berkata: ‘Demi Allah, kamu berkata
bohong karena sesungguhnya Rasulullah saw. sendiri yang mengajarkan kepadaku
surah yang aku dengar darimu tadi.’ Kemudian aku pergi sambil menggandengnya ke
hadapan Rasulullah saw. Lalu aku berkata:’ Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
telah mendengar lelaki ini membaca surah al-Furqân dengan versi yang tidak
engkau ajarkan kepadaku. Sungguh engkau telah mengajarkan surah al-Furqân
kepadaku.’ Rasulullah saw.pun bersabda: ‘Wahai Hisyâm, bacalah surah itu!’ maka
Hisyâm membaca surah tersebut seperti yang aku dengar tadi. Maka Rasulullah
saw. bersabda: ‘Demikianlah surah tersebut diturunkan.’ Kemudian Rasulullah
saw. bersabda: ‘Bacalah wahai ‘Umar!’ Akupun membaca surah itu seperti yang
beliau ajarkan kepadaku. Ternyata Rasulullah saw. bersabda: ‘Demikianlah surah
tersebut diturunkan.’ Kemudian Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan dalam tujuh huruf. Maka bacalah yang mudah menurut kalian!’”
Berdasarkan keterangan hadis di atas, al-Thabari berkesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan sab’atu ahruf adalah perbedaan lafal yang merujuk
pada kesamaan makna, bukan perbedaan makna yang mengakibatkan perbedaan hukum.[16]
b.
Pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’atu ahruf adalah
tujuh wajah lafal kalimat yang berbeda, namun memiliki makna yang hampir sama.
Pendapat ini diungkapkan oleh kebanyakan para ulama fikih dan hadis, seperti Sufyan
bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Wahb, Ibnu ‘Abd al-Barr, dan al-Thahawi. Pendapat
ini didasarkan pada beberapa riwayat hadis, di antaranya adalah hadis berikut:[17]
ورَوَى وَرَقَاء عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيْحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ عَنْ أُبَي بْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ {لِلَّذِينَ آمَنُوا
انْظُرُونَا} : لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَمْهِلُونَا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَخِّرُونَا
لِلَّذِيْنَ آمَنُوا ارْقُبُونَا
Artinya: “Waraqâ’ telah meriwayatkan dari Ibnu
Abî Najîh, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbâs, dari Ubai bin Ka’b bahwa dia
telah membaca ayat lilladzîna âmanû unzhurûnâ (dengan beberapa versi bacaan
sebagai berikut): lilladzîna âmanû amhilûnâ, lilladzîna âmanû akhkhirûnâ,
lilladzîna âmanû urqubûnâ.”
c.
Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh
segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d
(ancaman), wa’îd (janji), jadal (perdebatan), qashash
(cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halâl,
harâm, muhkam, mutasyâbih, dan amtsâl.[18]
d.
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah
tujuh macam hal yang di dalamnya terdapat ikhtilaf (perbedaan), yaitu:[19]
1)
Perbedaan kata benda dalam bentuk mufrad, mudzakkar dan
cabang-cabangnya seperti jama’, ta’nîts, dan tatsniyah. Contoh
firman Allah swt. وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (Q.S.
al-Mu’minûn: 8), dibaca "لِأَمَانَاتِهِمْ" dengan bentuk jama’ dan dibaca pula "لِأَمَانَتِهِمْ" dengan bentuk mufrad. Sedangkan
rasamnya dalam mushaf adalah "لأَمَنَتِهِمْ" yang
memungkinkan kedua qira’at itu karena tidak adanya alif yang disukun. Namun
kesimpulan akhir kedua macam qira’at itu adalah sama karena bacaan dalam bentuk
jama’ diartikan istighrâq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya,
sedangkan bacaan dalam bentuk mufrad diartikan untuk jenis yang menunjukkan
makna banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat
yang banayak jumlahnya.
2)
Perbedaan dari segi i’rab (harakat akhir kata). Misalnya
firman Allah swt. مَا
هَذَا بَشَرًا (Q.S. Yûsuf: 31). Jumhur membacanya dengan nashab karena
مَا berfungsi seperti ليس dan ini adalah bahasa penduduk
Hijaz yang dalam bahasa inilah Al-Qur’an diturunkan. Sedangkan Ibnu Mas’ûd
membacanya dengan rafa’ "مَا هَذَا بَشَرٌ" sesuai dengan bahasa Banî Tamîm karena mereka tidak
memfungsikan مَا seperti ليس.
3)
Perbedaan dalam tashrîf, seperti firman-Nya: فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا (Q.S. Saba’: 19) dibaca
dengan me-nashab-kan رَبَّنَا karena menjadi munâdâ mudhâf
dan بَاعِدْ dibaca dengan bentuk fi’il amr
(perintah). Lafaz ربُّنا dibaca pula dengan rafa’
sebagai mubtada’ dan باعَد dengan
membaca fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madhi yang kedudukannya
menjadi khabar. Juga dibaca بعِّد dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf ‘ain dan
me-rafa’-kan lafaz ربُّنا.
4)
Perbedaan dalam taqdîm (mendahulukan) dan ta’khîr
(mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti dalam firman-Nya أَفَلَمْ يَيْأَسِ (Q.S. al-Ra’d: 31) dibaca juga أفلم يأيس , maupun yang terjadi pada kata seperti firman-Nya فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ (Q.S. al-Taubah: 111) di mana yang pertama فَيَقْتُلُونَ dimabni-fâ’ilkan (aktif) dan
yang kedua وَيُقْتَلُونَ dimabni-maf’ulkan
(pasif) di samping dibaca pula dengan sebaliknya, yang pertama dimabni-maf’ulkan
dan yang kedua dimabni-fâ’ilkan.
5)
Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), seperti firman Allah swt. وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا (Q.S. al-Baqarah: 259) yang mana lafaz نُنْشِزُهَا dibaca dengan huruf za’ dan mendhammahkan nûn
di samping dibaca pula dengan huruf ra’ dan memfathahkan nûn ((نَنْشِرُهَا.
6)
Perbedaan sebab adanya penambahan dan pengurangan, misalnya firman Allah
swt. وَأعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ (Q.S. al-Taubah: 100) dibaca juga مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ dengan tambahan مِنْ , keduanya merupakan qira’at mutawâtir. Sedangkan
mengenai perbedaan karena adanya pengurangan, misalnya firman Allah swt. قَالُوا اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا (Q.S. al-Baqarah: 116) tanpa huruf wawu, sementara
jumhur ulama membacanya وَقَالُوا
اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا dengan wawu.
7)
Perbedaan lahjah seperti pembacaan tafkhim dan tarqîq, fathah
dan imâlah, izhhar dan idgham, dan lain-lain. Seperti membaca imâlah
dan tidak mengimâlahkan dalam firman-Nya وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى (Q.S. THâhâ: 9) dibaca dengan mengimâlahkan kata أتى dan مُوسَى . Membaca tarqîq ra’ dalam
firman-Nya خَبِيرًا
بَصِيرًا , dan membaca tafkhîm huruf lam dalam kata الطَّلَاقُ.
e.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak dapat
diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh itu hanya sebagai simbol
kesempurnaan menurut kebiasaan masyarakat Arab.[20]
f.
Pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf
tersebut adalah Qira’at Sab’ah.[21]
Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai
pengetian Sab’atu Ahruf sebagaimana tertera di dalam hadis Muslim di
atas, namun yang jelas makna yang tersirat dalam hadis tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa
Allah swt. memperbolehkan kepada umat nabi Muhammad saw. dalam
hal membaca Al-Qur’an dengan berbagai macam bacaan.
Bacaan manapun yang mereka pilih adalah benar.
Kedua: Semua bacaan
tersebut betul-betul telah diturunkan oleh Allah melalui
malaikat Jibril kepada nabi Muhammad.
Ketiga: Tujuan
diturunkannya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah dalam
rangka memberikan keringanan kepada umatnya nabi Muhammad dalam membaca Al-Qur’an
mengingat latar belakang budaya dan struktur masyarakat yang beragam.
Setelah nabi Muhammad diberikan
keringanan oleh Allah untuk membaca Al-Qur’an dengan tujuh
huruf, nabi mengajarkan kepada para sahabat dengan ragam bacaan. Sehingga
pernah terjadi kesalah pahaman diantara mereka dan pernah mereka saling
menyalahkan yang lainnya jika terjadi perbedaan bacaan, bahkan diantara mereka ada yang
sempat tertegun dan tak mempercayai bahwa hal itu terjadi pada Al-Qur’an.
Namun nabi memberikan penjelasan kepada mereka tentang pokok persoalan, sehingga mereka dapat memahaminya.
Pengajaran nabi kepada para sahabatnya dengan beragam bacaan terus berlangsung
hingga nabi meninggal. Para sahabat yang mendapatkan pelajaran Al-Qur’an dari
nabi terus memegang bacaan mereka dan mengajarkan cara pembacaan tersebut
kepada para murid-murid mereka.[22]
2.
Qira’at Pada
Masa Sahabat dan Tabi’in
Setelah nabi Muhammad meninggal, para sahabat nabi melanjutkan
tradisi yang telah dirintis oleh nabi yaitu mengajarkan Al-Qur’an
kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah
dan Mekah mengajarkan Al-Qur’an kepada murid-murid mereka, seperti
sahabat Ubay bin Ka’b (w 30 H), Utsmân
bin ‘Affân (w 35 H), Zaid bin Tsâbit (w 45 H),
Abû Hurairah (w 59 H), ‘Abdullâh
bin ‘Ayyâsy (w 64 H), ‘Abdullâh bin ‘Abbâs (w 68 H), ‘Abdullâh bin al-Saib al-Makhzumi (w 68 H). Namun
diantara sahabat nabi ada yang keluar dari Madinah untuk
berjuang bersama yang lain. Dengan berkembangnya Islam
ke negeri lain, terutama pada masa Abû Bakar
dan ‘Umar bin Khaththâb, dibutuhkan
tenaga yang mengajarkan ajaran Islam kepada
penduduk setempat.
Diantara sahabat nabi yang mempunyai peran dalam penyebaran Al-Qur’an di
negeri lain seperti negeri Iraq adalah ‘Abdullah bin Mas’ûd (w 32 H) yang diperintahkan oleh sahabat ‘Umar
bin Khaththâb untuk mengajar Al-Qur’an di negeri Kufah. Di Iraq juga ada sahabat ‘Alî bin
Abî THâlib
(w 40 H), Abû Mûsâ al-Asy’ari (w 44 H) yang
ditempatkan di kota Basrah. Sementara sahabat yang ditempatkan di Syria
atau Syam adalah Mua’dz bin Jabal (w 18 H)
yang mengajarkan Al-Qur’an di Palestina. ‘Ubadah bin SHamit
al-Anshâri (w 34 H) mengajarkan Al-Qur’an di
kota Himsh di Syam, dan sahabat Abû al-Darda’
(w 32 H) mengajarkan di Damaskus.
Merekalah yang sangat berperan dalam penyebaran qira’at di negeri-negeri
tersebut diatas.[23]
Perlu disinggung disini bahwa pengajaran qira’at oleh para sahabat
kepada murid-murid mereka adalah berdasarkan cara bacaan yang mereka dapatkan
dari nabi. Bacaan mereka berbeda antara satu dengan lainnya sesuai dengan
ketentuan dalam pengajaran “al-Ahruf as-Sab’ah” sebagaimana
dijelaskan diatas.
Sepeninggal mereka muncul generasi ketiga di kalangan
Tabi’in yang juga berperan dalam penyebaran Ilmu Qira’at di negeri-negeri
tersebut. Hasilnya adalah munculnya generasi baru dalam bidang Qira’at.
3.
Munculnya
Komunitas Ahli Qira’at
Hasil yang didapatkan dari kegiatan pengajaran Al-Qur’an
dari generasi sahabat dan Tabi’in adalah munculnya komunitas ahli Qira’at pada
setiap negeri Islam. Ibnu al-Jazari dalam kitabnya “Al-Nasyr
fi al-Qira’at al-‘Asyr” menyebutkan
tentang komunitas tersebut. Ibnu al-Jazari menyebut
komunitas ahli Qira’at di negeri-negeri Islam tersebut sebagai berikut :
Madinah : Ibnu
al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Aziz, Sulaimân bin Yasar,
‘Atha’ bin Yasar, Mu’adz bin al-Hârits, ‘Abdurrahman
bin Hurmuz al-A’raj, Ibnu Syihâb az-Zuhri, Muslim bin Jundab,
Zaid bin Aslam.
Mekah : ‘Ubaid
bin ‘Umair, ‘Atha’, THawus, Mujâhid bin Jabr, ‘Ikrimah,
Ibnu Abî Mulaikah.
Kufah : ‘Alqamah,
al-Aswad bin Yazîd, Musruq bin al-Ajda’, ‘Abidah, ‘Amr
bin Syurahbil, dan lain lain.
Basrah : Amir bin Abd
al-Qais, Abu al-“Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Âshim, Nashr bin ‘Âshim, Yahya
bin Ya’mur dan lain lainnya.
4.
Kodifikasi Ilmu
Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan
berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain
sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini
mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.
Sebagian ulama muta’akhirîn berpendapat bahwa yang
pertama kali menuliskan buku tentang
ilmu qira’at adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Bashrah.
Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
- ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Mashâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
- Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî Al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
- Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
- Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
- Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
- Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
- Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
- ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
- ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
- Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
- Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.[24]
Menurut Ibnu al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah
menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim
bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk
di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).[25]
Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya
menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau
materi qira’at.
Kemudian pada abad ketiga Hijriyah
kegiatan penulisan qira’at semakin marak. Diantara mereka adalah : Ahmad
bin Jubair al-Makki (w 258 H) yang
menghimpun bacaan Imam Lima, Ismâ’îl bin Ishâq al-Maliki ( w 282 H) yang menghimpun 20 bacaan Imam, Ibnu Jarir al-THabari
(w 310 H) yang menghimpun bacaan lebih dari 20 Imam, dan lain lainnya.
Setelah itu kegiatan penulisan Ilmu Qira’at semakin meningkat dari tahun ke
tahun dan dari abad ke abad.
5.
Terbentuknya
Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam
menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan
awam. Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat
rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah pertama : harus mutawâtir,
masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni
dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.[26]
Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad
bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu Mujâhid (w 324
H) untuk menyederhanakan bacaan pada
Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa
mewakili bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka
yang terpilih adalah :
1. Dari
Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim
al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari
Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari
Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari
Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî
al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin
Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam
tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri
oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu
: harus ahli dalam bidang qira’at, mengetahui qira’at
yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu
Mujâhid berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu
tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari
masing-masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan
penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam
yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap
negeri kaum muslimin.”[27]
Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang
terkenal yaitu “Al-Sab’ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan
ada yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu
Mujâhid dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan
memberikan penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at
yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra
mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu
menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di
kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara
para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu
Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.[28]
6.
Penyederhanaan
Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah” Ibnu Mujâhid
masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada
periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at kenamaan dari Andalus yang
bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî (w. 444 H)
menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada
setiap Imam. Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih
memudahkan menghafal materi qira’at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap
Imam sudah bisa mewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi
dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat
pada kitabnya “al-Taisir”.
Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
- Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
- Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
- Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
- Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
- Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
- Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
- Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.[29]
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan
perhatian yang demikian besar dari para ahli qira’at pada masa setelah al-Dânî.
Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis
materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah.
Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni”
yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”.
Syair-syair Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk
mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari
lima puluh kitab. Nazham al-Syâthibiyyah ini merupakan karya terbesar
imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazham ini
dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu qira’at.
C.
Macam-macam Qira’at
Sebagian ulama menyimpulkan
macam-macam qira’at menjadi enam macam:
- Mutawâtir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw.[30] Para ulama maupun para ahli hukum Islam sepakat bahwa qira’at yang berkedudukan mutawâtir adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai qira’at Al-Qur’an.[31] Ia sah dibaca di dalam maupun di luar shalat. Jumhur ulama juga berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawâtir.[32]
- Masyhûr, yaitu qira’at yang shahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at dan tidak terdapat cacat.[33] Para ulama menyebutkan bahwa qira’at semacam ini boleh dipakai atau digunakan. Contoh qira’at masyhûr adalah qira’at yang dipopulerkan oleh Abû Ja’far bin Qa’qa’ dan Ya’qûb al-Hadhrami, yaitu lafaz siqâyata dibaca suqâta dan lafaz ‘imârata dibaca ‘amarata,[34] yang kedua bacaan ini terdapat dalam surat al-Tawbah ayat 19.
- Âhâd, yaitu qira’at yang shahîh sanadnya tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira’at yang telah disebutkan. Qira’at semacam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan dari Abû Bakrah bahwa Nabi membaca rafârifa dan ‘abâqariya dalam surat al-Rahmân ayat 76. [35]
- Syâdz, yaitu qira’at yang tidak shahîh sanadnya, seperti qira’at malaka yaumaddîn (al-Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi’il mâdhi dan menasabkan yauma.[36]
- Mawdhû’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira’at imam Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâthir ayat 28:
إِنَّمَا يَخْـشَى اللهَ مِنْ عِبَـادِهِ الْعُـلَمَاءُ
Dia membaca dengan:
إِنَّمَا يَخْـشَى اللهُ مِنْ عِبَـادِهِ الْعُـلَمَاءَ
Yaitu dengan merafa’kan
lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-‘Ulamâ’.[37]
- Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibnu ‘Abbâs:
لَيْسَ عَلَيْـكُمْ جُنَـاحٌ أَنْ تَبْـتَغُوا فَضْـلًا مِنْ رَبِّكُمْ فِى مَوَاسِمِ
الْحَجِّ فَـإِذَا أَفَضْـتُمْ مِنْ عَرَفَـاتٍ
Keempat macam qira’at terakhir ini tidak boleh diamalkan
bacaannya.
Demikianlah uraian ringkas tentang macam-macam qira’at,
sehingga dengan demikian seorang ahli qira’at di samping hafal bermacam-macam
qira’at, dituntut juga agar mampu membuktikan kebenaran qira’atnya.
Sedangkan klasifikasi qira’at berdasarkan jumlah perawi
adalah sebagai berikut:
a.
Al-Qirâ’ât al-Sab’
(Qirâ’ât Sab’ah): adalah
Qirâ’ât yang diriwayatkan oleh Tujuh Imam Qira’at yang sudah maklum.
b.
Al-Qirâ’ât al-‘Asyr (Qirâ’ât ‘Asyrah): adalah Qira’at Sab’ah yang dilengkapi dengan tiga Imam
Qira’at. Yakni, Qira’at Ya’qûb, Qira’at Khalaf, dan Qira’at Yazîd bin Qa’qa’
(Abu Ja’far).
c.
Al-Qirâ’ât al-Arba’ ‘Asyr (Qirâ’ât Empat Belas):
adalah Qira’at ‘Asyrah ditambah Qira’at empat Imam Qira’at, yakni Qira’at Hasan
Bashri, Qira’at Ibnu Muhaishin, Qira’at Yahyâ al-Yazîudî, dan
Qira’at al-Syanabudz.
Akan halnya tentang Qira’at Tujuh, mayoritas ulama
menilai sebagai mutawâtirah. Tentang kemutawâtirannya disebutkan oleh Ibnu
al-Subkî:
“Qira’at Tujuh adalah mutawâtirah yang sempurna
kemutawatirannya, yakni dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. Oleh sekelompok
periwayat yang tidak mungkin mereka bersepakat bohong.”
Akan halnya Qira’at Sepuluh, sebagian ulama menyatakan
bahwa Qira’at Tiga Imam selain Imam Tujuh tidak sampai mutawâtirah akan
tetapi menurut Jumhur Ulama Qira’at mereka mutawâtirah. Bahkan menurut
Syaikh ‘Abd al-Fattâh al-Qâdhî yang menukil pendapatnya Ibnu al-Jazari di dalam
kitab “Munjid al-Muqri’în” menyatakan:
”Dewasa ini Qirâ’ât Mutawâtirah selain Qirâ’ât Sepuluh
tidak akan dapat ditemukan, namun apabila pada masa periode awal Islam tentu
masih mungkin didapatkan.”
Adapun Qira’at Empat Belas, masih menurut Ibnu al-Jazarî
sebagai syâdz. Artinya Qira’at empat Imam tidak dapat diakui sebagai
bacaan Al-Qur’an yang sah, sebab memiliki nilai sanad yang syâdz.
D. Perkembangan Qira’at Sab’ah Di Indonesia
Tidak
di ketahui secara persis kapan Qira’at Sab’ah
mulai masuk ke Indonesia. Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa Qira’at Sab’ah masuk ke Indonesia baru pada sekitar awal abad kedua
puluh Hijriyah, yaitu setelah banyaknya pelajar indonesia yang mengenyam
pendidikan di Timur Tengah. Ulama yang memprakasai masuknya ilmu Qiraat di
Indonesia salah satu diantaranya adalah Syaikh Muhammad Munawir bin Abdullah
Rasyid dari Krapyak Yogyakarta. Syaikh Munawir mempelajari ilmu qira’at
dari Hijaz. Kemudian sepulangnya dari sana beliau mendistribusikan ilmu qira’at
ini kepada murid-muridnya. Salah satu muridnya yaitu Syaikh Arwani Amin dari
Kudus, yang kemudian menyusun buku tentang qiraat sab’ah yaitu “Faidh al-Barâkât fî Sab’i Qirâ’ât”. Buku ini telah masyhur di kalangan pesantren-pesantren
Indonesia yang mempelajari Qira’at Sab’ah.[39]
Kemudian
para periode berikutnya, yaitu pada dekade tujuh puluhan muncul Institut
pendidikan di Jakarta yaitu PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) dan IIQ
(Institut Ilmu Al-Qur’an) yang khusus mengajarkan ‘Ulumul Qur’an, termasuk di
dalamnya ilmu Qira’at. Ilmu Qira’at semakin masyhur
di Indonesia setelah komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam sidangnya
tanggal 2 Maret 1983 memutuskan bahwa:
1.
Qiraat Sab’ah adalah sebagian ilmu dari ‘Ulumul Qur’an yang wajib di
kembangkan dan di pertahankan eksistensinya.
2.
Pembacaan Qira’at Tujuh di lalukan pada tempat-tempat
yang wajar oleh pembaca yang berijazah (yang telah talaqqi dan musyâfahah
dari ahli qira’at).[40]
Pada
periode ini telah muncul juga buku tentang ilmu qira’at dalam bahasa Indonesia,
yaitu “Kaidah Qiraat Tujuh”
yang di tulis pada tahun 1992 oleh salah satu dosen IIQ dan PTIQ, yaitu DR. KH.
Ahmad Fathoni, MAg. Kitab ini sangat
membantu memudahkan masyarakat Indonesia yang kurang menguasai bahasa Arab
dalam belajar ilmu qira’at.
Barangkali mengingat Qira’at Sab’ah sudah mulai dikenal
dan memasyarakat di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada tanggal
2 Maret 1983 merekomendasikan bahwa Qira’at Tujuh wajib dikembangkan
eksistensinya. Pada tanggal 23 Mei 1983 MUI DKI Jakarta juga telah mengeluarkan
fatwa mengenai keberadaan Qira’at Tujuh, yang substansinya: menghimbau agar
para pecinta pembaca Al-Qur’an tidak membiasakan pembacaan Al-Qur’an yang suci
itu di dalam upacara atau pertemuan keagamaan dan lainnya dengan cara Qira’at
Sab’ah atau mengulang-ulang satu ayat dengan cara bacaan yang berlainan
ejaannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa termasuk para ulama masih banyak yang
belum begitu paham tentang hal-ihwal Qira’at Sab’pah.
Ibarat gayung bersambut, sejak tahun 2002, tepatnya pada
Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) di Mataram Nusa Tenggara Barat, Qira’at
Al-Qur’an termasuk salah satu cabang yang ikut dimusabaqahkan dan terus
berjalan sampai sekarang.[41]
[1] Badruddîn Muhammad bin ‘Abdillah al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, jilid I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 318.
[3]
Syihâbuddîn al-Qusthullânî, Lathâif
al-Isyârât li Funûn al-Qirâ'ât, (Kairo:
t.p., 1972), h. 170.
[4] Ibnu al-Jazari, Munjid al-Muqri’în wa Mursyid al-Thâlibîn, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1980), h. 3
[5] Mannâ’ Khalîl al-Qaththân,
Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.tp.: Maktabah al-Ma’arif, 1421 H/ 2000 M),
cet. III, h. 171.
[8] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân
Al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân
al-Karîm, (Riyâdh: t.p., 2004), cet. XII,I h. 344.
[9] Ibnu al-Jazari, Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr,
juz 1, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 33.
[10] Muslim bin al-Hajjâj al-Naisâbûri,
Shahîh Muslim, juz 2, (Beirut: Dâr al-Jîl, t.t),
Bab Bayân Anna al-Qur’ân ‘alâ Sab’ati Ahruf, hadis no. 1943, h. 203.
[11] Syahin, ‘Abd al-Shabur, Târikh
Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ma’alim al-Tsaqafiyyah, Dâr al-I’tishâm, 1998
M/1418 H), h.56
[12] Hasan Dhiyâ’
al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf al-Sab’ah wa Manzilah al-Qirâ’ât Minhâ,
(Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1988), h. 170
[15] Al-Bukhârî, Shahîh
al-Bukhârî, jilid IV, (Beirut: Dâr Ibnu Katsîr al-Yamâmah, 1987), Kitâb
Fadhâil al-Qur’ân, Bâb Man Lam Yara ba’sa an Yaqûl Sûrah al-Baqarah wa Sûrah
Kadzâ wa Kadzâ, no. hadis 4754, h. 1923
[17] Hasan Dhiyâ’ al-Dîn ‘Atar, Al-Ahruf
al-Sab’ah, h. 168-169; Lihat juga Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, jilid I, (Kairo: Dâr al-Syu’b , 1372 H), h. 42
[22] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân
al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân
al-Karîm, (Riyâdh: t.p., 2004), cet. XIII, h. 344
[23] Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân
al-Rûmi, Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân
al-Karîm, h. 345.
[24] Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli
Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu,
Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah, (Riyâdh: Maktabah al-Tawbah, 2000), h.
99-102.
[25] Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli
Ismâ’îl, ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Athwâruhu,
h. 103; Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris al-Khayyâth, Al-Tabshirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah,
(Riyâdh: Maktabah al-Rusyd, 2007), h. 19.
[26] Teks baitnya adalah sebagai berikut:
وَكُلُّ مَا
وَفَقَ وَجْهَ نَحْوِ * وَكَانَ لِلرَّسْمِ احْتِمَالاً يَحْوِي
وَصَحَّ
إِسْنَادُهَا الْقُرْآنُ * فَهذِهِ الثَّلاَثَةُ اْلأَرْكَانُ
وَحَيْثُ
يَخْتَلُّ رُكْنٌ أَثْبِتِ * شُذُوْذَهُ
“Setiap Qirâat apabila sesuai dengan
kaidah nahwi * Sesuai dengan rasm Utsmani
Memiliki
sanad Shahih maka wajib diakui ke-Al-Quran-annya * Inilah
tiga rukun yang harus dipenuhi
Sekiranya
tidak dipenuhi tiga syarat tersebut *
Maka ia dianggap syadz”
Lihat:
Ibnu al-Jazari,. Thayyibah al-Nasyr
fi al-Qirâat al-‘Asyr,
(Madinah: Maktabah Dâr al-Huda, 1421/2000), Cet. 2, h. 32
[27] Ahmad bin Mûsâ bin Mujâhid, Al-Sab’ah fî al-Qirâ’ât, juz 1, (Kairo: Dâr
al-Ma’ârif, 1400 H), h. 45.
[28]
T. M. Hasby Al-Siddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 138.
[29]
Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm
al-Qur’ân. h. 182-184.
[30] Jalâluddîn ‘Abdurrahmân Al-Suyûthî, Al-Itqân
fî ‘Ulûm Al-Qur’an, juz IV, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), h. 77.
[31] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh, (Kuala Lumpur: Nurulhas, t.t.), h. 42-43.
[33] Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an., h. 77.
[34] Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran,
h. 44.
[35] Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, h.77.
[36]
Al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm Al-Qur’an, h.77.
[37]
Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran,
h. 47.
[38]
Ismail Masyhuri, Ilmu Qiraatul Quran,
h. 47.
[41] Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho
Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”.
Assalamu'alaikum ijin saya mau share yaa ukhti
BalasHapuswww. Monggo silahkan...
BalasHapusMantab..isininya....
BalasHapusIngin memperdalam ILMU QIRO'AH....
BalasHapusIngin sekali memperdalam ilmu qira'ah,,,,,
BalasHapusmohon dikongsikan
BalasHapusJazakumullah khirol jaza'
BalasHapusTerima kasih banyak, Mbak. Lengkap plus footnotenya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAssalamualaikum ustazah, ana mau nnya siapa yg pertama kali menemukan ilmu qiraat ?
BalasHapussangat bermnfaat, izin share y ukhti
BalasHapusAssalamu'alaikum ustadzah sangat bermanfa'at idzinkan saya share.
BalasHapus