Kamis, 09 Februari 2012

TAFSIR ISYARI

Oleh : Hj. Muthmainnah, MA
I.                   PENDAHULUAN
            Sejarah kebudayaan Islam mencatat pertumbuhan dan perkembangan khazanah pemikiran Islam yang sangat menakjubkan dari masa ke masa. Indikatornya dapat dilihat dari kekayaan ragam (khazanah) aliran pemikiran dan karakter sikap keberagamaan umat Islam terhitung sejak masa permulaan kelahiran Islam.
            Kompleksititas pemikiran dan sikap keberagamaan umat Islam ini menunjukkan sinyalemen positif berkenaan dengan keluwesan dan elegansi syari’at Islam. Sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya terhadap pengembangan wacana keislaman dalam kerangka Islam inklusif dan menolak tudingan sosok Islam yang cenderung eksklusif. Argumen tersebut –dalam pandangan menulis—sangat paralel dengan sabda Nabi Muhammad saw.: “Perbedaan (pendapat/sikap) yang terjadi di tengah-tengah umatku (hendaknya) dijadikan sebagai rahmat.
            Tasawuf,—yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini—merupakan aliran pemikiran dalam Islam yang menitikberatkan metode berfikirnya dalam perspektif esoteris (bathini); suatu mazhab yang telah banyak ,elahirkan tokoh-tokoh sufi besar sekelas Ibn ‘Arabi, Ibn al-Rusyd, Imam al-Ghazali dan lain-lain. Dalam sejarah, mereka dikenal sebagai ulama yang memiliki integritas tinggi dengan sejumlah keunggulan dalam hal kedalaman intuisi dan kemampuan menangkap hikmah-hikmah ilahi yang bersifat ghaib. Orang akhirnya mengenal aliran ini dan menyebutnya sebagai aliran mistisisme dalam Islam.
            Esoterisme yang melekat erat pada aliran ini berpengaruh kuat ke pelbagai aspek pemikiran mereka, termasuk dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Laiknya sebuah kelompok pemikiran dalam Islam, kaum sufi banyak melakukan riset dan kajian secara mendalam terhadap al-Qur’an seraya mereka melakukan serangkaian penafsiran-penafsiran. Dengan begitu, mereka akhirnya memiliki literatur-literatur yang cukup banyak berkenaan dengan bidang tafsir al-Qur’an. Perlu dicatat bahwa kajian-kajian yang dilakukan sama sekali tidak melepaskan kekhasan yang melekat pada mereka, yakni khas tasawuf.[1]
            Dalam perkembangannya, tafsir versi sufi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua aliran besar sebagai implikasi dan kecenderungan mereka dilihat dari segi metodologi tasawuf mereka. Pertama, tafsir sufi nazhari, yakni suatu metodolgi yang dibangun berdasarkan kajian-kajian mendalam dengan mencurahkan segenap perhatian untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai teori-teori tasawuf mereka. Aliran pemikiran inilah yang banyak mendapat kritik dari kalangan ulama karena dianggap banyak menyimpang dari koridor pemahaman dan metodologi yang berlaku umum. Dalam beberapa literatur, kelompok ini disebut tasawuf falsafi (teoretis). Penyebutan ini mengidentifikasikan pada pemikiran para filosof. Kelompok ini sering menyebut Ibn ‘Arabi sebagai tokohnya.
Kedua, tafsir sufi isyari, yakni metodologi penafsiran gaya sufi yang dibangun atas dasar latihan (riyâdhah) keruhanian yang telah ditetapkan oleh mufassir sufi pada dirinya. Dengan latihan ini pula mereka dapat menerima isyarat-isyarat dan limpahan nur ilahi.[2] Para sufi dalam kelompok ini menjadikan isyarat-isyarat batiniah sebagai petunjuk penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an.
            Dalam makalah ini, penulis akan memberikan gambaran seputar tafsir sufi atau dalam hal ini tafsir isyari secara deskriptif analitis. Namun demikian, penulis akan membatasi pembahasan hanya pada persoalan tafsir isyari, tidak pada metodologi tafsir sufi secara umum.

II.                PEMBAHASAN
  1. Pengertian Tafsir Isyari
Secara etimologi, kata isyari berasal dari kata isyârah yang bermakna menunjuk kepada sesuatu dengan tangan, mata atau alis.[3] Adapun secara terminologi, berikut penulis kemukakan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama dengan asumsi akan mengantarkan kita pada pemahaman yang shahih dan akurat:  
  1. Subhi al-Shâlih[4]
هو الذي تؤول به الأيات على غير ظاهرها مع محاولة الجمع بين الظاهر والخفي
Menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an berbeda dengan makna zhahirnya serta memalingkan seluruh makna di antara yang zhahir dan yang tersembunyi.”

  1. Imam al-Zarqâni[5]
هو تأويل القرأن بغير ظاهره لاشارات خفية تظهر لأسباب السلوك و التصوف و يمكن الجمع بينها و بين الظاهر المراد
Sebuah upaya pentakwilan al-Qur’an berbeda dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi ahli suluk dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna yang tersembunyi dan makna yang tampak (zhahir).”

  1. Imam ‘Alî al-Shâbûni[6]
هو تأويل القرأن على خلاف ظاهره لاشارات خفية تظهر لبعض أولى العلم أو تظهر للعارفين بالله من ارباب السلوك و المجاهدة للنفس ممن نور الله بصائرهم فأدركوا أسرار القرأن العظيم او نقدحت في أذهانهم بعض المعاني الدقيقة بواسطة الالهام الالهي او الفتح الرباني مع امكان الجمع بينها و بين ظاهر المراد من الأيات الكريمة   
            Mentakwilkan al-Qur’an berbeda dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi orang yang memiliki ilmu laduni atau orang-orang yang arif billah seperti para ahli suluk dan bermujahadah dengan menundukkan nafsunya sehingga mereka memperoleh cahaya Allah yang menyinari serta menembus rahasia al-Qur’an al-‘Adzim. Atau mereka yang telah digoresi pikirannya dengan sebagian makna yang dalam melalui ilham ilahi atu futuh rabbani yang memungkinkan baginya untuk memadukan dengan yang zhahir, yakni makna ayat-ayat yang dimaksud.”

            Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir isyari ialah menakwilkan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan menyalahi ketentuan-ketentuan zhahir ayat sehingga dapat menyingkap isyarat-isyarat tersembunyi. Kemampuan menangkap makna tersebut tidak akan tampak kecuali bagi orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt., diberikan cahayaNya, dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Bagi mufassir kalangan sufi, isyarat-isyarat yang tersembunyi dapat disingkap setelah melakukan pelbagai bentuk riyâdhah (latihan) keruhanian kepada Allah swt.
  1. Metodologi Tafsir Isyari
Tafsir isyari mendasari metodologinya dengan berawal dari pemahaman bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua makna, yaitu makna zhahir dan makna batin. Maksud dari zhahir menurut mereka adalah makna yang langsung bisa diterima oleh akal manusia sebelum yang lainnya. Sedangkan makna batin adalah makna yang tersembunyi dari tanda-tanda ataupun isyarat-isyarat yang tampak oleh para pelaku suluk.
Ada juga yang memberikan pengertian makna zhahir sebagai bunyi ayatnya dan makna batin adalah takwilnya. Sebagian ulama menjelaskan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti kisah-kisah umat terdahulu dan apa yang menimpa mereka adalah makna zhahir yang memberikan pengertian ikhbar (pengabaran) tentang kehancuran mereka. Adapun makna batinnya adalah sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya sekaligus peringatan untuk mereka agar tidak melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan oleh umat terdahulu.[7]
Sebagian kalangan sufi memahami bahwa makna batin tidak dapat diketahui melainkan dengan cara riyâdhah rûhaniyyah (semacam amalan olah jiwa). Berawal dari eksperimen jiwa inilah seorang sufi bisa mencapai derajat kasyf (terbukanya tabir rahasia) yang dengannya isyarat-isyarat suci dari balik untaian ayat-ayat al-Qur’an dapat dicapai.[8]
Adapun kalangan sufi nazhari mendasari tafsirnya dengan pemahaman falsafah. Dari sinilah terdapat perbedaan mendasar antara tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isyari, yaitu:
  1. Tafsir sufi nazhari berdasar atas pendekatan-pendekatan teori falsafah Yunani yang bermula dari pemikiran sufi kemudian ayat-ayat al-Qur’an diletakkan sesudahnya. Dengan kata lain mencari pembenaran atas pemikirannya dengan al-Qur’an. Sedangkan tafsir isyari tidak berkonsentrasi pada pendekatan-pendekatan teori falsafah, tapi berdasar pada amalan olah jiwa yang digunakan untuk mencapai deerajat kasyf dari ayat-ayat al-Qur’an.
  2. Mufassir tafsir nazhari menganggap bahwa setiap apa yang menjadi kandungan dari ayat adalah makna. Hal ini tergantung pada kemampuan penafsirnya. Sedangkan dalam tafsir isyari, seorang sufi tidak menganggap bahwa semuanya dapat terkandung dalam ayat, tapi terdapat makna yang dibawa oleh ayat itu sendiri sebelum ada makna yang lainnya. Inilah makna zhahir ketika langsung dipahami oleh akal sebelum yang lainnya.[9]
  1. Argumen Syar’i Tafsir Isyari
Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi berkata dalam bukunya “Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn” bahwa sebenarnya tafsir isyari dalam rangka menampakkan makna-makna ayat al-Qur’an bukan barang yang baru, akan tetapi hal tersebut sudah ada sejak al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Terkadang al-Qur’an memberikan isyarat, lalu Nabi menegaskannya dan diketahui  oleh para sahabat.[10]
Di antara dalil-dalil al-Qur’an yang melandasi tafsir isyari ini adalah firman Allah swt.:
$¯RÎ) ß`øtwU ÌÓ÷ÕçR 4tAöqyJø9$# Ü=çGò6tRur $tB (#qãB£s% öNèdt»rO#uäur 4 ¨@ä.ur >äóÓx« çm»uZøŠ|Áômr& þÎû 5Q$tBÎ) &ûüÎ7B (يس: 12)
“Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).”

bÎ)ur `ÏiB >äóÓx« žwÎ) $tRyYÏã ¼çmãYͬ!#tyz $tBur ÿ¼ã&è!Íit\çR žwÎ) 9ys)Î/ 5Qqè=÷è¨B  (الحجر: 21)
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.

ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# Ÿw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ $ZVƒÏtn     (النساء: 78)
Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Kelompok yang mendukung keberadaan tafsir isyari juga mendasari argumentasinya kepada beberapa rujukan hadis nabi saw., seperti apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih-nya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. Ia berkata: “Umar mempersilahkanku bersama-sama para sahabat ahli Badar. Diantara mereka ada yang berkata, ”mengapa engkau mempersilahkan anak kecil ini bersama kami, padahal kami memiliki anak keci seperti dia?”, Umar lalu menjawab, “Ia adalah orang yang telah kalian kenal kepandaiannya.” Pada suatu ketika aku dipanggil dan dimasukkan ke dalam kelompok mereka. Ibnu ‘Abbas berkata: “Aku berkeyakinan Umar memanggilku semata-mata untuk diperkenalkan kepada mereka”, lalu Umar berkata, ”Apakah pendapat kalian tentang firman Allah swt. “إذا جاء نصر الله و الفتح” . Maka di kalangan mereka ada yang menjawab, “Kami disuruh memuji dan meminta ampun kepada Allah swt. ketika mendapat pertolongan dan kemenangan”. Sementara sahabat yang lain diam seribu bahasa. Umar lalu melontarkan pertanyaan itu kepadaku (Ibnu ‘Abbas), Begitukah pendapatmu, Ibnu ‘Abbas?”. Aku menjawab, “Ayat ini menunjukkan ajal Rasulullah saw. Hal mana ia memberitahukan kepadanya melalui firmanNya, إذا جاء نصر الله و الفتح” itu adalah pertanda tentang dekatnya ajalmu, maka bertasbihlah dan pujilah Rabbnu serta mohonlah ampunan kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat”. Kemudian Umar berkata, “Aku tidak tahu pengertian ayat tersebut sebelum engkau jelaskan.”[11]   
Periwayatan lain yang bisa juga menambah penguatan masyru’iyyah tafsir bil isyarah adalah seperti dalam sebuah riwayat tentang turunnya surat al-Maidah ayat 3:
ôtPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ
Ketika ayat ini turun, Umar bin Khatab menangis, maka Nabi saw. Bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Yang membuatku menangis adalah ketika dahulu kami berada dalam keadaan agama ini senantiasa bertambah (menuju kesempurnaan), maka apabila telah sempurna, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan sesudah itu melainkan hanyalah penurunan”, lalu Nabi bersabda: “engkau benar”.[12]
Dalam riwayat tersebut di atas, Umar bin Khattab ra. mengetahui makna isyari, yaitu semakin dekatnya ajal Rasulullah saw. Dan pemahaman beliau dibenarkan oleh Nabi. Adapun sebagian sahabat bahagia dengan turunnya ayat ini karena mereka memahaminya sebagai sebuah kabar gembira tentang kesempurnaan agama Islam yang menjadi makna zhahir ayat.
Demikianlah, langsung ataupun tidak, bahwa dali-dalil di atas menunjukkan keniscayaan penafsiran bathini atau esoteris. Secara historis, dengan demikian, telah terjadi contoh-contoh atau kasus yang menunjukkan adanya penafsiran laiknya para sufi, terlepas dari kualifikasi faliditas rujukan yang mereka kemukakan.
  1. Karakteristik Tafsir Isyari
Menurut Imam al-Syathibi, karakteristik tafsir isyari adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an memiliki makna zhahir dan makna batin
Makna zhahir adalah makna umum dan hanya dapat dipahami oleh umumnya orang, sedangkan makna batin adalah makna khusus yang tidak semua orang dapat memahaminya, hanya orang yang dibukakan pintu hatinya oleh Allah saja yang dapat memahaminya.
2.      Meskipun tafsir isyari mengakui tafsir zhahir, namun ia masih menggunakan atsar seperti yang dilakukan tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi al-ra’yi dengan cara mengambil istinbath. Tafsir ini juga kadang-kadang menggunakan metode tafsir balaghi (bahasa).
3.      Dalam menafsirkan ayat senantiasa menggunakan istilah-istilah tasawuf.
4.      Kadang-kadang tafsir ini mengangkat makna yang sangat sulit dipahami sehingga menyebabkan kekufuran dan kezindikan..
5.      Sering menggunakan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah, tidak teliti dalam mencermati kedudukan hadis dan tidak lepas dari fikrah batiniyah.
6.      Tidak menerima israiliyat.[13]

  1. Pandangan Ulama tentang Tafsir Isyari
            Para ulama berbeda pendapat mengenai eksistensi tafsir isyari. Sebagian mereka ada yang membolehkan, sementara yang lain menghujatnya. Ada yang mengatakan termasuk dari kesempurnaan iman dan kedalaman ilmu. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yakni menganggap sesat dan menyimpang dari ajaran syari’at bagi siapa saja yang mengikutinya. Berikut akan dikemukakan beberapa tanggapan para ulama tersebut.
            Al-zarkasyi dalam kitab al-Burhan, sebagaimana yang dituturkan Hasbi[14], menyatakan bahwa perkataan ulama sufi dalam menafsirkan al-Qur’an sebenarnya bukanlah termasuk kategori tafsir. Semua itu hanyalah perasaan dan khayalan mereka belaka ketika membaca al-Qur’an. Seperti dalam kasus penafsiran Q.S. Al-Taubah ayat 123 tentang memerangi orang kafir di sekitar kita, yang kemudian ditafsirkan dengan membunuh atau memusnahkan nafsu yang memang berada pada diri setiap manusia.
            Ibnu Shalah dalam fatwanya berkata ketika ditanya tentang ucapan-ucapan kaum sufi mengenai al-Qur’an, “Saya mendapatkan informasi dari imam Abu Hasan al-Wahidi, seorang mufassir, berkata, “Imam Abû ‘Abdurrahman al-Sulami telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Haqâiq al-Tafsîr. Jika ada yang berkeyakinan bahwa itu adalah kitab tafsir, maka sungguh ia telah kafir.[15] Demikianlah, Ibnu Shalah mengaharamkan penafsiran model ini, bahkan menggolongkan kafir bagi yang mengikuti atau bahkan sekedar memberi dukungan saja.
            Sedangkan Iman al-Suyuthi berpandangan bahwa makna zhahir ayat dapat dipahami dari kenyataan yang dibawa oleh ayat itu dan ditunjukkan oleh pengertian-pengertian kebahasaan. Kemudian, pemahaman batin adalah pemahaman atas ayat atau hadis bagi orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.[16] jadi dalam hal ini, al-Suyuthi membolehkan penggunaan metode tafsir isyari dalam memahami kandungan al-Qur’an, tapi membatasi kepada orang-orang tertentu saja, yakni mereka yang mendapatkan cahaya Ilahi.
            Akan tetapi Ibnu ‘Arabi menganggap bahwa ucapan-ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tafsir yang hakiki bagi makna-makna al-Qur’an. Tafsir mereka itu bukanlah sekedar perbandingan makna-makna tersebut. Penamaan tafsir sufi itu sendiri—menurut ‘Arabi—sudah menunjukkan isyarat adanya sikap yang berlawanan dengan ulama zhahiri.[17] Sikap ‘Arabi ini menunjukkan bahwa ia tidak mengingkari adanya kelimpahan dan isyarat-isyarat yang dianugerahkan Allah swt. kepada siapa saja yang dikehendakinya. Allah swt. akan memberikan kekhususan kepada sebagian hamba-hambaNya dengan sebagian rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahNya.[18]
Demikianlah beberapa pandangan para ulama seputar pro-kontra keberadaan tafsir isyari. Dari keragaman pandangan tersebut dapatlah dipahami bahwa tidak semua pihak sepakat dengan model tafsir isyari. Yang menjadi persoalan adalah sulitnya merumuskan metodologi tafsir ini dalam konteks makro. Artinya, produk tafsir ini tidak memungkinkan dikonsumsi oleh orang-orang awam.
  1. Syarat-syarat Tafsir Isyari
Terlepas dari pro-kontra yang telah dipaparkan di atas, para ulama memberikan batasan-batasan berupa kesepakatan tentang adanya persyaratan bagi diterimanya tafsir isyari. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
  1. Hendaknya tafsir isyari tidak bertentangan dengan makna zhahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Qur’an
  2. Makna tafsir isyari diperkuat oleh dalil syar’i yang lain
  3. Makna tafsir isyari tidak bertentangan dengan dalil syar’i dan ‘aqli
  4. Mufassir tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah swt., bukan pengertian tekstualnya.[19]
Keempat persyaratan di atas merupakan kunci kesejajaran tafsir isyari dengan tafsir-tafsir tekstual lainnya. Bagi para ulama, meniadakan salah satu unsur di atas menyebabkan tafsir isyari tertolak dan menafikan kelaikannya.
Salah satu contoh tafsir isyari yang dapat diterima adalah seperti penafsiran Sahl al-Tustari terhadap Q.S. al-Baqarah ayat 22:
Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès?
Maka ia menafsirkan kata أندادا (tandingan-tandingan) sebagai أضدادا (yang bertentangan) , menurut beliau tandingan yang paling besar adalah nafsu ammarah bi al-Sû’ (nafsu yang selalu memerintahkan kepada keburukan) meskipun  secara zhahir ayatnya tidak berbicara tentang nafsu ammaroh melainkan tandingan ataupun sekutu bagi Allah swt. yang disembah oleh orang-orang musyrik.[20]
            Penafsiran dapat diterima karena kata “andâd” juga dapat diartikan sebagai “adhdâd”. Oleh sebab itu, al-Tustari menjadikan nafsu sebagai bagian dari “andad”. Apabila dijelaskan, ayat tersebut bermakna: “Janganlah kalian jadikan bagi Allah tandingan-tandingan, seperti berhala-berhala, nafsu, dan lain-lain”. Nafsu bisa masuk dalam kategori “andâd” tatkala ia memerintahkan pada dirinya melanggar hukum-hukum dan hak-hak Allah, saat itulah ia menjadi tandingan dan penentang.
            Penafsiran tersebut juga dikuatkan dengan makna dari firman Allah swt.:
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$#
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah...” [21]
Pada hakikatnya mereka tidak menyembah secara ritual, tapi ketaatan mereka terhadap para rahib melebihi ketaatan kepada Allah sehingga mereka mengahalalkan apa yang dihalalkan oleh rahib dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh rahib, meskipun bertentangan dengan ketentuan Allah swt.
Adapun contoh tafsir isyari yang ditolak adalah seperti apa yang dikatakan dalam sebuah riwayat bahwa الــم terdiri dari makna “alif” yang berarti Allah, “lâm” berarti jibril dan “mîm” berarti Muhammad.[22] Penafsiran ini tidak diterima karena tidak sesuai dengan apa yang dipahami maknanya oleh bangsa Arab secara ma’hud (kesepakatan) yang memenuhi dalil lafzhi ataupun hali.
  1. Kitab-kitab Tafsir Isyari
Ketika mengkaji kitab-kitab tafsir secara lebih seksama, maka akan ditemukan keragaman, bahkan kadang penggabungan antara metode-metode tafsir. Pertama, ulama yang mencukupkan diri pada tafsir yang bersifat zhahir dan sama sekali tidak menjamah penafsiran berdasarkan isyarat (isyari), seperti Imam Abû Su’ûd, al-Baidhawi, dan al-Nasafi. Kedua, ulama yang mencurahkan perhatiannya hanya pada tafsir zhahir namun kemudian beralih pada tafsir isyari, seperti Imam al-Alûsi dan al-Naisâbûri. Ketiga, ulama yang mencurahkan perhatiannya terhadap tafsir isyari, namun terkadang mengemukakan juga makna-makna zhahir, seperti yang dilakukan oleh Imam Sahl al-Tustari. Keempat, ulama yang mencurahkan perhatiannya pada tafsir isyari dan memalingkan perhatian dari makna-makna zhahir, seperti yang dilakukan oleh Imam ‘Abdurrahman al-Sulami. Kelima, ulama yang memadukan tafsir isyari dengan tafsir nazhari falsafi, seperti yang dilakukan oleh pengarang tafsir yang dinisbatkan kepada Imam Ibn al-‘Arabi.[23]  
Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa contoh tafsir saja yang dapat digolongkan ke dalam tafsir isyari. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
  1. Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqân
Pengarang tafsir ini adalah seorang imam besar dan alim ulama, Nizhâm al-Dîn al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani al-Naisâbûri. Beliau dibesarkan di daerah Naisabur. Ia tergolong ulama yang cukup berprestasi besar pada masanya, mendalami ilmu-ilmu rasional dan bahasa Arab. Di antara karya terbaiknya adalah kitab tafsir Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqân. Ia wafat pada tahun 109 H.
Kitab tafsir ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai kitab tafsir yang banyak dirujuk. Oleh penulisnya, kitab ini disandarkan pada tafsir al-Kabîr karya Imam Fakhr al-Razi, tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyari, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Di samping itu, ia pun memperlihatkan uraian-uraian rasional yang menunjukkan kepribadiannya yang cemerlang. Ia tidak hanya menukil apa saja yang dikatakan oleh al-Razi dan al-Zamakhsyari, tapi juga menampakkan keluasan pemahaman dan kekuatan akalnya sendiri. Den terkadang ia pun bertindak sebagai peniali atas kedua karya imam besar tersebut.
Imam al-Naisâbûri adalah seorang imam yang sangat menonjol karakter kesufiannya. Oleh karena itu, karakteristik ini senantiasa mewarnai sikap dan keputusan-keputusan yang diambil. Kesan ini juga nampak jelas ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah menafsirkan ayat-ayat dari aspek zhahirnya, ia pun kemudian melengkapi penafsirannya secara isyari atau dengan menyebutkan pandangan para tasawuf, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 67:
øŒÎ)ur tA$s% 4ÓyqãB ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù'tƒ br& (#qçtr2õs? Zots)t/
Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.

            Setelah menjelaskan zhahir ayat tersebut, kemudian ia menunjukkan isyarat-isyarat lain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dalam penafsirannya, al-Naisâbûri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyembelihan “sapi betina” pada ayat tersebut adalah penyembelihan nafsu kebinatangan. Karena dalam penyembelihan itu terdapat kehidupan rohani, dan itulah yang dinamakan al-jihâd al-akbar (jihad besar).[24]
  1. Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm
Penyusun tafsir ini adalah Abû Muhammad Sahl bin ‘Abdullâh bin Yûnus bin ‘Abdullah al-Tustari. Beliau lahir di wilayah Tustar, termasuk wilayah Ahwaz, Iran, pada tahun 200 H. Konon, al-Tustari adalah seorang yang sangat wara’, takwa, dan tergolong kelompok orang-orang yang arif. Ia pernah berjumpa dengan Dzun Nun al-Mishri di Mekah. Kemudian ia pindah ke Bashrah dan menetap di sana hingga wafat tahun 383 H.
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhîm dicetak dalam satu jilid, mengingat al-Tustari tidak menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an, tapi hanya membicarakan beberapa ayat secara terpisah dari tiap-tiap surat.[25]
Menurut al-Tustari, setiap ayat dalam al-Qur’an mengandung empat makna sekaligus yakni: zhahir, bathin, hadd, dan mathla’. Baginya, pemahaman umum tentang suatu ayat akan diperoleh melalui pengetahuan yang zhahir. Sedangkan pemahaman yang dikehendaki oleh ayat—dalam hal ini Allah—hanya akan diperoleh melalui isyarat-isyarat yang bersifat bathini. Sebagaimana firmanNya dalam Q.S. Al-Nisâ’ ayat 78:
ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# Ÿw tbrߊ%s3tƒ tbqßgs)øÿtƒ $ZVƒÏtn
Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.

Dari pemahaman di atas, nampak al-Tustari tidak menganggap bahwa tafsir al-Qur’an itu hanyalah tafsir batin saja. Oleh karena itu ia hanya mengatakan bahwa makna-makna zhahir al-Qur’an yang bersifat umum dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami al-Qur’an secara gramatikal (kebahasaan). Sementara makna-makna bathini adalah termasuk perkara-perkara yang khusus, yang hanya dipahami oleh orang-orang yang telah mendapatkan pelajaran dari Allah swt. Dalam tafsirnya, al-Tustari menyebut makna-makna yang penting namun tidak jelas. Berikut ini adalah contoh penafsirannya:
xsƒªB$#ur ãPöqs% 4ÓyqãB .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ ô`ÏB óOÎgÍhŠÎ=ãm WxôfÏã #Y|¡y_ ¼ã&©! î#uqäz
“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak sapi yang bertubuh dan bersuara.”
Dalam penafsirannya, “anak sapi” adalah apa saja yang memalingkan manusia dari Allah swt., mungkin sanak saudara ataupun anak, yang manusia tidak bisa lepas darinya kecuali setelah hilangnya keuntungan-keuntungan yang merupakan sebab terikatnya manusia kepada “anak sapi” tersebut. Sebagaimana umat nabi Musa tidak bisa melepaskan diri dari penyembahan terhadap anak sapi kecuali dengan membunuh diri mereka sendiri.[26] 
  1. Haqâ’iq al-Tafsîr
Tafsir ini disusun oleh Abû ‘Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-As’ad al-Sulami, lahir pada tahun 330 H. Ia adalah sseorang syaikh dan ulama sufi pada masanya, serta dikenal sebagai seorang muhaddits. Karangan-karangan ilmiahnya dalam pelbagai disiplin ilmu mewarnai perpustakaanperpustakaan Islam pada masa itu.
Sebagaimana al-tustari, al-Sulami menafsirkan seluruh surat dalam al-Qur’an, namun tidak berdasarkan ayat perayat. Ia hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu yang dianggap penting dalam pertimbangannya.
Hal yang berbeda dengan kedua penulis di atas adalah, al-Sulami sama sekali menafikan pembahasan makna-makna secara zhahir. Ia memfokuskan diri pada pemahaman ayat secar bathini. Namun, al-Sulami masih mengakui eksistensi makna-makna zhahir. Hanya tampaknya ia lebih suka menghimpun tafsir-tafsir ahli hakikat dalam kitab tersendiri.
Sebagian ulama mengecam keras karena hanya membatasi diri pada makna-makna isyari semata dan sama sekali berpaling dari makna-makna zhahir dalam menafsirkan suatu ayat. Imam al-Suyuthi menyebutnya sebagai ulama yang mengada-ada (mufassir mubtadi’).[27] Bahkan Ibn Taimiyah menudingnya sebagai seorang pendusta yang mengatasnamakan Ja’far al-Shadiq sebagai rujukan. Berikut contoh penafsirannya dalam Q.S. al-Rahman ayat 11:
$pkŽÏù ×pygÅ3»sù ã@÷¨Z9$#ur ßN#sŒ ÏQ$yJø.F{$# ÇÊÊÈ
Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.”
            Dalam penafsirannya, Allah swt. telah menjadikan dalam hati para waliNya kebun keakraban denganNya. Di dalamnya Allah swt. menanam pohon-pohon ma’rifah, yang akarnya terhujam dalam rahasia-rahasia mereka, sementara cabang-cabangnya berdiri tegak menghijau dalam penampakan-penampakan mereka. Mereka memetik buah keakraban tersebut setiap saat.[28]
  1. Misykât al-Anwâr
Penyusun kitab ini adalah Abû Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, lahir tahun 450 H di Thous. Kitab ini hadir untuk membela pandangan kaum sufi ketika kitab-kitab mereka dibakar atas fatwa ulama. Karena pernah menempuh jalan filsafat dan tasawuf, maka dengan mudah ia dapat memahami dan menerangkan maksud para mufassir sufi tersebut. Menurutnya, makna al-Qur’an itu pada dasarnya suci, dan oleh karena itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang terpilih saja. Alatnya adalah intuisi yang harus segera digunakan manakala akal telah menjadi tumpul. Kaum sufi, dalam pandangannya, berusaha menyeimbangkan antara ‘penglihatan luar’  dengan ‘penglihatan dalam’, sehingga tafsiran yang mereka kemukakan tidak dapat ditolak. Ini contoh kecil saja pembelaan al-Ghazali terhadap kaum sufi.[29] Salah satu contoh tafsirnya adalah Q.S. Thaha ayat 12:
þÎoTÎ) O$tRr& y7/u ôìn=÷z$$sù y7øn=÷ètR ( y7¨RÎ) ÏŠ#uqø9$$Î/ Ĩ£s)ßJø9$# YqèÛ ÇÊËÈ  
Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.

                Dalam pandangannya, orang yang ingin memperoleh ilmu tauhid yang hakiki haruslah meninggalkan pikiran tentang dunia dan akhirat. Suatu konsep yang sangat lekat dengan terminologi tasawuf, yakni fana’.[30]
  1. Futûhat al-Makkiyyah dan al-Nushûsh
Kedua karya magnum opus ini dinisbatkan kepada Syeikh Muhyi al-Dîn bin ‘Arabi. Penisbatan kepada nama Ibnu ‘Arabi dalam buku tafsir ini sempat diragukan bahkan dipertanyakan keabsahannya oleh banyak ulama.[31] Jangan-jangan itu hanya rekayasa para pengikutnya agar seolah-olah karya tersebut orisinil tulisan Ibnu ‘Arabi.
Ibnu ‘Arabi sangat terpengaruh dengan pandangan atau paham wahdat al-wujud, yakni sebuah paham yang meyakini tidak ada wujud selain wujud yang satu, wujûd al-haq. Ia membina tasawufnya atas dasar pandangan yang diyakininya dan berusaha menerapkannya pada ayat-ayat al-Qur’an.
Contoh penafsirannya pada awal surat al-Nisâ’ dalam kalimat “اتقوا ربكم”, ditafsirkan dengan “bertakwalah kepada Tuhanmu, jadikanlah yang zhahir dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian yang batin dari dirimu sebagai—yang tiada lain adalah Tuhan—sebagai penjaga bagi dirimu, karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian.

III.             KESIMPULAN
Membincang tafsir sufi dengan pemahaman masyarakat kebanyakan memerlukan kehati-hatian dan toleransi ilmiah. Karena untuk mempertemukan kedua kutub ini sama sekali bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, sebagai sebuah wacana, kasus penafsiran ala sufi ini harus diapresiasi secara proporsional.
Bagaimanapun tafsir isyari merupakan bagian dari sejarah dan menjadi warisan intelektual yang tidak kurang mahal harganya. Hemat penulis—meskipun banyak mendapat hujatan—tafsir isyari sebagai bagian dari penafsiran gaya sufi akan tetap hidup seiring dengan kehidupan dunia sufisme. Dan tentu saja menjadi tidak bijak ketika kita mempertentangkan dua kutub (sufi dan syari’at) yang bertolak belakang.
Tafsir sufi masih tetap diakui sebagai sebuah metodologi, meski masih dalam koridor pertentangan epistemologis. Serangan-serangan dari sebagian ulama tidak berarti menafikan kehadirannya, namun kita perlu melirik argumentasi-argumentasi yang dikemukakan mereka dengan pendukungnya.
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Wallahu a’lam bi al-Shawâb. 

IV.             DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Aridh, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akram. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994

Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl. Sahîh al-Bukhârî. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Dr. Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1976

__________________. Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an. Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993

Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metode Tafsir. Terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987

Goldziher, Ignaz. Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmy. Kairo: Al-Khanji, 1975

Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’ Isma’il. Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2005

Ibnu Mandzûr, Lisân al-‘Arab. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006

Iyazi, Muhammad ‘Ali. Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum. Teheran: Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyad al-Islâmi, t.th

Julandari, Rasyid Ahmad. Qur’anic Ezegesis and Classical Tafsir. Islamic Quarterly, 1980

Al-Shabûni, M. ‘Alî. Al-Tibyân fî ‘Ulum al-Qur’ân. Makkah: Dâr al-Kutûb al-Islâmiyyah, 2003

Al-Shâlih, Shubhi. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, t.th

Al-Shiddiqy, M. Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok  dalam Menafsirkan al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1993

Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003

Al-Tustari, Sahl. Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm. Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1329 H

Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001


[1] Muhammad Husain al-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an. Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), cet. III, h. 92
[2] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metode Tafsir. Terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), cet. I, h. 250; atau  lihat juga dalam Ali Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akram, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, h. 55
[3] Ibnu Mandzûr, Lisân al-‘Arab, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), jilid 4, h. 436
[4] Shubhi al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, t.th), h. 296
[5] Muhammad ‘Abd al-‘Azhim Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (kairo: Dâr al-Hadîts, 2001), juz II, h. 67
[6] M. ‘Alî al-Shabûni, Al-Tibyân fî ‘Ulum al-Qur’ân, (Makkah: Dâr al-Kutûb al-Islâmiyyah, 2003), h. 191
[7] Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1976), cet. II, jilid 2, h. 352
[8] Ibid., h. 354
[9] Ibid., h. 352
[10] Ibid., h. 353
[11] Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), jilid 3, kitab Tafsir al-Qur’an, bab Surat idzâ jâ’a nashrullah,  no. hadis 4970, h. 339
[12] Abû al-Fidâ’ Isma’il Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2005), jilid 2, h. 13
[13] Al-Syâthibi, jilid 3, h. 403
[14] M. Hasbi al-Shiddiqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok  dalam Menafsirkan al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. III, h. 250
[15] Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfan, h. 67
[16] Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), jilid 2, h. 366
[17] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an, h. 254
[18] Lihat Q.S. Al-Baqarah: 269
[19] Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfan, h. 69; lihat juga dalam Muhammad ‘Ali Iyazi, Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyad al-Islâmi, t.th), h. 59
[20] Sahl al-Tustari, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1329 H),  h. 14
[21] Q,S. Al-Taubah: 31
[22] Sahl al-Tustari, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, h. 12
[23] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an, h. 256
[24] Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfan, h. 70
[25] Ibid.
[26] Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 380
[27] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an, h. 264
[28] Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 380
[29] Rasyid Ahmad Julandari, Qur’anic Ezegesis and Classical Tafsir, (Islamic Quarterly, 1980), h. 112
[30] Ignaz Goldziher, Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmy, (Kairo: Al-Khanji, 1975), h. 221
[31] Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfan, h. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar