Oleh : Hj. Muthmainnah, MA
I.
PENDAHULUAN
Sejarah kebudayaan Islam mencatat
pertumbuhan dan perkembangan khazanah pemikiran Islam yang sangat menakjubkan
dari masa ke masa. Indikatornya dapat dilihat dari kekayaan ragam (khazanah)
aliran pemikiran dan karakter sikap keberagamaan umat Islam terhitung sejak
masa permulaan kelahiran Islam.
Kompleksititas pemikiran dan sikap
keberagamaan umat Islam ini menunjukkan sinyalemen positif berkenaan dengan
keluwesan dan elegansi syari’at Islam. Sehingga membuka peluang yang
sebesar-besarnya terhadap pengembangan wacana keislaman dalam kerangka Islam
inklusif dan menolak tudingan sosok Islam yang cenderung eksklusif. Argumen
tersebut –dalam pandangan menulis—sangat paralel dengan sabda Nabi Muhammad
saw.: “Perbedaan (pendapat/sikap) yang terjadi di tengah-tengah umatku
(hendaknya) dijadikan sebagai rahmat.”
Tasawuf,—yang menjadi bahasan utama
dalam makalah ini—merupakan aliran pemikiran dalam Islam yang menitikberatkan
metode berfikirnya dalam perspektif esoteris (bathini); suatu
mazhab yang telah banyak ,elahirkan tokoh-tokoh sufi besar sekelas Ibn ‘Arabi,
Ibn al-Rusyd, Imam al-Ghazali dan lain-lain. Dalam sejarah, mereka dikenal
sebagai ulama yang memiliki integritas tinggi dengan sejumlah keunggulan dalam
hal kedalaman intuisi dan kemampuan menangkap hikmah-hikmah ilahi yang bersifat
ghaib. Orang akhirnya mengenal aliran ini dan menyebutnya sebagai aliran
mistisisme dalam Islam.
Esoterisme yang melekat erat
pada aliran ini berpengaruh kuat ke pelbagai aspek pemikiran mereka, termasuk
dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Laiknya sebuah kelompok pemikiran dalam Islam,
kaum sufi banyak melakukan riset dan kajian secara mendalam terhadap al-Qur’an
seraya mereka melakukan serangkaian penafsiran-penafsiran. Dengan begitu,
mereka akhirnya memiliki literatur-literatur yang cukup banyak berkenaan dengan
bidang tafsir al-Qur’an. Perlu dicatat bahwa kajian-kajian yang dilakukan sama
sekali tidak melepaskan kekhasan yang melekat pada mereka, yakni khas tasawuf.[1]
Dalam perkembangannya, tafsir versi
sufi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua aliran besar sebagai implikasi
dan kecenderungan mereka dilihat dari segi metodologi tasawuf mereka. Pertama,
tafsir sufi nazhari, yakni suatu metodolgi yang dibangun berdasarkan
kajian-kajian mendalam dengan mencurahkan segenap perhatian untuk meneliti,
mengkaji, memahami, dan mendalami al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai
teori-teori tasawuf mereka. Aliran pemikiran inilah yang banyak mendapat kritik
dari kalangan ulama karena dianggap banyak menyimpang dari koridor pemahaman
dan metodologi yang berlaku umum. Dalam beberapa literatur, kelompok ini
disebut tasawuf falsafi (teoretis). Penyebutan ini mengidentifikasikan pada
pemikiran para filosof. Kelompok ini sering menyebut Ibn ‘Arabi sebagai
tokohnya.
Kedua,
tafsir sufi isyari, yakni metodologi penafsiran gaya sufi yang dibangun
atas dasar latihan (riyâdhah) keruhanian yang telah ditetapkan oleh
mufassir sufi pada dirinya. Dengan latihan ini pula mereka dapat menerima
isyarat-isyarat dan limpahan nur ilahi.[2] Para sufi dalam kelompok
ini menjadikan isyarat-isyarat batiniah sebagai petunjuk penafsiran ayat-ayat
suci al-Qur’an.
Dalam makalah ini, penulis akan
memberikan gambaran seputar tafsir sufi atau dalam hal ini tafsir isyari secara
deskriptif analitis. Namun demikian, penulis akan membatasi pembahasan hanya
pada persoalan tafsir isyari, tidak pada metodologi tafsir sufi secara umum.
II.
PEMBAHASAN
- Pengertian Tafsir Isyari
Secara etimologi, kata isyari berasal dari kata isyârah yang
bermakna menunjuk kepada sesuatu dengan tangan, mata atau alis.[3] Adapun secara terminologi,
berikut penulis kemukakan beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama
dengan asumsi akan mengantarkan kita pada pemahaman yang shahih dan
akurat:
- Subhi al-Shâlih[4]
هو الذي تؤول
به الأيات على غير ظاهرها مع محاولة الجمع بين الظاهر والخفي
“Menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an
berbeda dengan makna zhahirnya serta memalingkan seluruh makna di antara yang
zhahir dan yang tersembunyi.”
- Imam al-Zarqâni[5]
هو تأويل القرأن بغير ظاهره لاشارات خفية تظهر لأسباب السلوك
و التصوف و يمكن الجمع بينها و بين الظاهر المراد
“Sebuah upaya pentakwilan al-Qur’an berbeda dengan
zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi ahli suluk
dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan antara makna yang tersembunyi
dan makna yang tampak (zhahir).”
- Imam ‘Alî al-Shâbûni[6]
هو تأويل القرأن على خلاف ظاهره لاشارات خفية تظهر لبعض
أولى العلم أو تظهر للعارفين بالله من ارباب السلوك و المجاهدة للنفس ممن نور الله
بصائرهم فأدركوا أسرار القرأن العظيم او نقدحت في أذهانهم بعض المعاني الدقيقة
بواسطة الالهام الالهي او الفتح الرباني مع امكان الجمع بينها و بين ظاهر المراد
من الأيات الكريمة
“Mentakwilkan al-Qur’an
berbeda dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak
bagi orang yang memiliki ilmu laduni atau orang-orang yang arif billah seperti
para ahli suluk dan bermujahadah dengan menundukkan nafsunya sehingga mereka
memperoleh cahaya Allah yang menyinari serta menembus rahasia al-Qur’an
al-‘Adzim. Atau mereka yang telah digoresi pikirannya dengan sebagian makna
yang dalam melalui ilham ilahi atu futuh rabbani yang memungkinkan baginya
untuk memadukan dengan yang zhahir, yakni makna ayat-ayat yang dimaksud.”
Berdasarkan definisi-definisi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tafsir isyari ialah
menakwilkan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan menyalahi ketentuan-ketentuan
zhahir ayat sehingga dapat menyingkap isyarat-isyarat tersembunyi. Kemampuan
menangkap makna tersebut tidak akan tampak kecuali bagi orang yang telah
dibukakan hatinya oleh Allah swt., diberikan cahayaNya, dan dimasukkan ke dalam
golongan orang-orang yang saleh. Bagi mufassir kalangan sufi, isyarat-isyarat
yang tersembunyi dapat disingkap setelah melakukan pelbagai bentuk riyâdhah
(latihan) keruhanian kepada Allah swt.
- Metodologi Tafsir Isyari
Tafsir isyari mendasari metodologinya dengan berawal dari pemahaman bahwa
ayat-ayat al-Qur’an memiliki dua makna, yaitu makna zhahir dan makna batin.
Maksud dari zhahir menurut mereka adalah makna yang langsung bisa diterima oleh
akal manusia sebelum yang lainnya. Sedangkan makna batin adalah makna yang
tersembunyi dari tanda-tanda ataupun isyarat-isyarat yang tampak oleh para
pelaku suluk.
Ada juga yang memberikan pengertian makna zhahir sebagai bunyi ayatnya dan
makna batin adalah takwilnya. Sebagian ulama menjelaskan bahwa kisah-kisah
dalam al-Qur’an seperti kisah-kisah umat terdahulu dan apa yang menimpa mereka
adalah makna zhahir yang memberikan pengertian ikhbar (pengabaran)
tentang kehancuran mereka. Adapun makna batinnya adalah sebagai pelajaran bagi
umat sesudahnya sekaligus peringatan untuk mereka agar tidak melakukan
pelanggaran seperti yang dilakukan oleh umat terdahulu.[7]
Sebagian kalangan sufi memahami bahwa makna batin tidak dapat diketahui
melainkan dengan cara riyâdhah rûhaniyyah (semacam amalan olah jiwa).
Berawal dari eksperimen jiwa inilah seorang sufi bisa mencapai derajat kasyf
(terbukanya tabir rahasia) yang dengannya isyarat-isyarat suci dari balik
untaian ayat-ayat al-Qur’an dapat dicapai.[8]
Adapun kalangan sufi nazhari mendasari tafsirnya dengan pemahaman falsafah.
Dari sinilah terdapat perbedaan mendasar antara tafsir sufi nazhari dan tafsir
sufi isyari, yaitu:
- Tafsir sufi nazhari berdasar atas pendekatan-pendekatan teori falsafah Yunani yang bermula dari pemikiran sufi kemudian ayat-ayat al-Qur’an diletakkan sesudahnya. Dengan kata lain mencari pembenaran atas pemikirannya dengan al-Qur’an. Sedangkan tafsir isyari tidak berkonsentrasi pada pendekatan-pendekatan teori falsafah, tapi berdasar pada amalan olah jiwa yang digunakan untuk mencapai deerajat kasyf dari ayat-ayat al-Qur’an.
- Mufassir tafsir nazhari menganggap bahwa setiap apa yang menjadi kandungan dari ayat adalah makna. Hal ini tergantung pada kemampuan penafsirnya. Sedangkan dalam tafsir isyari, seorang sufi tidak menganggap bahwa semuanya dapat terkandung dalam ayat, tapi terdapat makna yang dibawa oleh ayat itu sendiri sebelum ada makna yang lainnya. Inilah makna zhahir ketika langsung dipahami oleh akal sebelum yang lainnya.[9]
- Argumen Syar’i Tafsir Isyari
Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi berkata dalam bukunya “Al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn” bahwa sebenarnya tafsir isyari dalam rangka menampakkan
makna-makna ayat al-Qur’an bukan barang yang baru, akan tetapi hal tersebut
sudah ada sejak al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Terkadang
al-Qur’an memberikan isyarat, lalu Nabi menegaskannya dan diketahui oleh para sahabat.[10]
Di antara dalil-dalil al-Qur’an yang melandasi tafsir isyari ini adalah
firman Allah swt.:
$¯RÎ)
ß`øtwU ÌÓ÷ÕçR 4tAöqyJø9$# Ü=çGò6tRur $tB
(#qãB£s%
öNèdt»rO#uäur 4
¨@ä.ur >äóÓx« çm»uZø|Áômr&
þÎû 5Q$tBÎ)
&ûüÎ7B (يس: 12)
“Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami
menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata
(Lauh mahfuzh).”
bÎ)ur
`ÏiB >äóÓx« wÎ) $tRyYÏã ¼çmãYͬ!#tyz
$tBur
ÿ¼ã&è!Íit\çR
wÎ) 9ys)Î/ 5Qqè=÷è¨B
(الحجر: 21)
“Dan tidak ada sesuatupun
melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran yang tertentu.”
ÉA$yJsù
ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# w tbrß%s3t tbqßgs)øÿt
$ZVÏtn (النساء: 78)
“Maka Mengapa orang-orang itu
(orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.”
Kelompok yang mendukung keberadaan tafsir isyari juga mendasari
argumentasinya kepada beberapa rujukan hadis nabi saw., seperti apa yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam shahih-nya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra. Ia berkata: “Umar mempersilahkanku
bersama-sama para sahabat ahli Badar. Diantara mereka ada yang berkata,
”mengapa engkau mempersilahkan anak kecil ini bersama kami, padahal kami
memiliki anak keci seperti dia?”, Umar lalu menjawab, “Ia adalah orang yang
telah kalian kenal kepandaiannya.” Pada suatu ketika aku dipanggil dan
dimasukkan ke dalam kelompok mereka. Ibnu ‘Abbas berkata: “Aku berkeyakinan
Umar memanggilku semata-mata untuk diperkenalkan kepada mereka”, lalu Umar
berkata, ”Apakah pendapat kalian tentang firman Allah swt. “إذا جاء نصر الله و الفتح” . Maka di kalangan mereka ada yang
menjawab, “Kami disuruh memuji dan meminta ampun kepada Allah swt. ketika
mendapat pertolongan dan kemenangan”. Sementara sahabat yang lain diam seribu
bahasa. Umar lalu melontarkan pertanyaan itu kepadaku (Ibnu ‘Abbas), Begitukah
pendapatmu, Ibnu ‘Abbas?”. Aku menjawab, “Ayat ini menunjukkan ajal Rasulullah saw.
Hal mana ia memberitahukan kepadanya melalui firmanNya, “إذا جاء نصر الله و الفتح” itu adalah pertanda tentang
dekatnya ajalmu, maka bertasbihlah dan pujilah Rabbnu serta mohonlah ampunan
kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat”. Kemudian Umar berkata, “Aku
tidak tahu pengertian ayat tersebut sebelum engkau jelaskan.”[11]
Periwayatan lain yang bisa juga menambah penguatan masyru’iyyah tafsir
bil isyarah adalah seperti dalam sebuah riwayat tentang turunnya surat
al-Maidah ayat 3:
ôtPöquø9$#
àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ
àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR
àMÅÊuur
ãNä3s9 zN»n=óM}$#
$YYÏ
Ketika ayat ini
turun, Umar bin Khatab menangis, maka Nabi saw. Bertanya: “Apa yang membuatmu
menangis?” Umar menjawab, “Yang membuatku menangis adalah ketika dahulu kami
berada dalam keadaan agama ini senantiasa bertambah (menuju kesempurnaan), maka
apabila telah sempurna, sesungguhnya tidak ada kesempurnaan sesudah itu
melainkan hanyalah penurunan”, lalu Nabi bersabda: “engkau benar”.[12]
Dalam riwayat tersebut di atas, Umar bin Khattab ra. mengetahui makna
isyari, yaitu semakin dekatnya ajal Rasulullah saw. Dan pemahaman beliau
dibenarkan oleh Nabi. Adapun sebagian sahabat bahagia dengan turunnya ayat ini
karena mereka memahaminya sebagai sebuah kabar gembira tentang kesempurnaan
agama Islam yang menjadi makna zhahir ayat.
Demikianlah, langsung ataupun tidak, bahwa dali-dalil di atas menunjukkan
keniscayaan penafsiran bathini atau esoteris. Secara historis, dengan demikian,
telah terjadi contoh-contoh atau kasus yang menunjukkan adanya penafsiran
laiknya para sufi, terlepas dari kualifikasi faliditas rujukan yang mereka
kemukakan.
- Karakteristik Tafsir Isyari
Menurut Imam al-Syathibi, karakteristik tafsir isyari adalah sebagai
berikut:
1.
Al-Qur’an
memiliki makna zhahir dan makna batin
Makna zhahir adalah makna umum dan hanya dapat dipahami oleh umumnya orang,
sedangkan makna batin adalah makna khusus yang tidak semua orang dapat
memahaminya, hanya orang yang dibukakan pintu hatinya oleh Allah saja yang
dapat memahaminya.
2.
Meskipun tafsir
isyari mengakui tafsir zhahir, namun ia masih menggunakan atsar seperti yang
dilakukan tafsir bi al-ma’tsur atau tafsir bi al-ra’yi dengan cara
mengambil istinbath. Tafsir ini juga kadang-kadang menggunakan metode
tafsir balaghi (bahasa).
3.
Dalam
menafsirkan ayat senantiasa menggunakan istilah-istilah tasawuf.
4.
Kadang-kadang
tafsir ini mengangkat makna yang sangat sulit dipahami sehingga menyebabkan
kekufuran dan kezindikan..
5.
Sering
menggunakan dalil di luar al-Qur’an dan sunnah, tidak teliti dalam mencermati
kedudukan hadis dan tidak lepas dari fikrah batiniyah.
6.
Tidak menerima
israiliyat.[13]
- Pandangan Ulama tentang Tafsir Isyari
Para ulama berbeda pendapat mengenai
eksistensi tafsir isyari. Sebagian mereka ada yang membolehkan, sementara yang
lain menghujatnya. Ada yang mengatakan termasuk dari kesempurnaan iman dan
kedalaman ilmu. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi yakni menganggap sesat dan
menyimpang dari ajaran syari’at bagi siapa saja yang mengikutinya. Berikut akan
dikemukakan beberapa tanggapan para ulama tersebut.
Al-zarkasyi dalam kitab al-Burhan,
sebagaimana yang dituturkan Hasbi[14], menyatakan bahwa
perkataan ulama sufi dalam menafsirkan al-Qur’an sebenarnya bukanlah termasuk
kategori tafsir. Semua itu hanyalah perasaan dan khayalan mereka belaka ketika
membaca al-Qur’an. Seperti dalam kasus penafsiran Q.S. Al-Taubah ayat 123
tentang memerangi orang kafir di sekitar kita, yang kemudian ditafsirkan dengan
membunuh atau memusnahkan nafsu yang memang berada pada diri setiap manusia.
Ibnu Shalah dalam fatwanya berkata
ketika ditanya tentang ucapan-ucapan kaum sufi mengenai al-Qur’an, “Saya
mendapatkan informasi dari imam Abu Hasan al-Wahidi, seorang mufassir, berkata,
“Imam Abû ‘Abdurrahman al-Sulami telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Haqâiq
al-Tafsîr. Jika ada yang berkeyakinan bahwa itu adalah kitab tafsir, maka
sungguh ia telah kafir.[15] Demikianlah, Ibnu Shalah
mengaharamkan penafsiran model ini, bahkan menggolongkan kafir bagi yang
mengikuti atau bahkan sekedar memberi dukungan saja.
Sedangkan Iman al-Suyuthi
berpandangan bahwa makna zhahir ayat dapat dipahami dari kenyataan yang dibawa
oleh ayat itu dan ditunjukkan oleh pengertian-pengertian kebahasaan. Kemudian,
pemahaman batin adalah pemahaman atas ayat atau hadis bagi orang yang telah
dibukakan hatinya oleh Allah swt.[16] jadi dalam hal ini,
al-Suyuthi membolehkan penggunaan metode tafsir isyari dalam memahami kandungan
al-Qur’an, tapi membatasi kepada orang-orang tertentu saja, yakni mereka yang
mendapatkan cahaya Ilahi.
Akan tetapi Ibnu ‘Arabi menganggap
bahwa ucapan-ucapan para sufi dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikatakan
sebagai tafsir yang hakiki bagi makna-makna al-Qur’an. Tafsir mereka itu
bukanlah sekedar perbandingan makna-makna tersebut. Penamaan tafsir sufi itu
sendiri—menurut ‘Arabi—sudah menunjukkan isyarat adanya sikap yang berlawanan
dengan ulama zhahiri.[17] Sikap ‘Arabi ini
menunjukkan bahwa ia tidak mengingkari adanya kelimpahan dan isyarat-isyarat
yang dianugerahkan Allah swt. kepada siapa saja yang dikehendakinya. Allah swt.
akan memberikan kekhususan kepada sebagian hamba-hambaNya dengan sebagian
rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahNya.[18]
Demikianlah beberapa pandangan para ulama seputar pro-kontra keberadaan
tafsir isyari. Dari keragaman pandangan tersebut dapatlah dipahami bahwa tidak
semua pihak sepakat dengan model tafsir isyari. Yang menjadi persoalan adalah
sulitnya merumuskan metodologi tafsir ini dalam konteks makro. Artinya, produk
tafsir ini tidak memungkinkan dikonsumsi oleh orang-orang awam.
- Syarat-syarat Tafsir Isyari
Terlepas dari pro-kontra yang telah dipaparkan di atas, para ulama
memberikan batasan-batasan berupa kesepakatan tentang adanya persyaratan bagi
diterimanya tafsir isyari. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
- Hendaknya tafsir isyari tidak bertentangan dengan makna zhahir (pengertian tekstual) dari ayat al-Qur’an
- Makna tafsir isyari diperkuat oleh dalil syar’i yang lain
- Makna tafsir isyari tidak bertentangan dengan dalil syar’i dan ‘aqli
- Mufassir tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah swt., bukan pengertian tekstualnya.[19]
Keempat persyaratan di atas merupakan kunci kesejajaran tafsir isyari
dengan tafsir-tafsir tekstual lainnya. Bagi para ulama, meniadakan salah satu
unsur di atas menyebabkan tafsir isyari tertolak dan menafikan kelaikannya.
Salah satu contoh tafsir isyari yang dapat diterima adalah seperti
penafsiran Sahl al-Tustari terhadap Q.S. al-Baqarah ayat 22:
xsù
(#qè=yèøgrB
¬! #Y#yRr&
öNçFRr&ur
cqßJn=÷ès?
Maka ia
menafsirkan kata أندادا (tandingan-tandingan)
sebagai أضدادا (yang bertentangan) , menurut beliau tandingan yang
paling besar adalah nafsu ammarah bi al-Sû’ (nafsu yang selalu memerintahkan
kepada keburukan) meskipun secara zhahir
ayatnya tidak berbicara tentang nafsu ammaroh melainkan tandingan
ataupun sekutu bagi Allah swt. yang disembah oleh orang-orang musyrik.[20]
Penafsiran dapat diterima karena
kata “andâd” juga dapat diartikan sebagai “adhdâd”. Oleh sebab itu, al-Tustari
menjadikan nafsu sebagai bagian dari “andad”. Apabila dijelaskan, ayat tersebut
bermakna: “Janganlah kalian jadikan bagi Allah tandingan-tandingan, seperti
berhala-berhala, nafsu, dan lain-lain”. Nafsu bisa masuk dalam kategori
“andâd” tatkala ia memerintahkan pada dirinya melanggar hukum-hukum dan hak-hak
Allah, saat itulah ia menjadi tandingan dan penentang.
Penafsiran tersebut juga dikuatkan
dengan makna dari firman Allah swt.:
(#ÿräsªB$#
öNèdu$t6ômr&
öNßguZ»t6÷dâur
$\/$t/ör& `ÏiB Âcrß
«!$#
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah...” [21]
Pada hakikatnya mereka tidak menyembah secara ritual, tapi ketaatan mereka
terhadap para rahib melebihi ketaatan kepada Allah sehingga mereka
mengahalalkan apa yang dihalalkan oleh rahib dan mengharamkan apa yang
diharamkan oleh rahib, meskipun bertentangan dengan ketentuan Allah swt.
Adapun contoh tafsir isyari yang ditolak adalah seperti apa yang dikatakan
dalam sebuah riwayat bahwa الــم terdiri dari makna “alif” yang
berarti Allah, “lâm” berarti jibril dan “mîm” berarti Muhammad.[22] Penafsiran ini tidak diterima karena tidak sesuai dengan
apa yang dipahami maknanya oleh bangsa Arab secara ma’hud (kesepakatan)
yang memenuhi dalil lafzhi ataupun hali.
- Kitab-kitab Tafsir Isyari
Ketika mengkaji kitab-kitab tafsir secara lebih seksama, maka akan
ditemukan keragaman, bahkan kadang penggabungan antara metode-metode tafsir. Pertama,
ulama yang mencukupkan diri pada tafsir yang bersifat zhahir dan sama sekali
tidak menjamah penafsiran berdasarkan isyarat (isyari), seperti Imam Abû Su’ûd,
al-Baidhawi, dan al-Nasafi. Kedua, ulama yang mencurahkan perhatiannya
hanya pada tafsir zhahir namun kemudian beralih pada tafsir isyari, seperti
Imam al-Alûsi dan al-Naisâbûri. Ketiga, ulama yang mencurahkan
perhatiannya terhadap tafsir isyari, namun terkadang mengemukakan juga
makna-makna zhahir, seperti yang dilakukan oleh Imam Sahl al-Tustari.
Keempat, ulama yang mencurahkan perhatiannya pada tafsir isyari dan
memalingkan perhatian dari makna-makna zhahir, seperti yang dilakukan oleh Imam
‘Abdurrahman al-Sulami. Kelima, ulama yang memadukan tafsir isyari
dengan tafsir nazhari falsafi, seperti yang dilakukan oleh pengarang tafsir
yang dinisbatkan kepada Imam Ibn al-‘Arabi.[23]
Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa contoh tafsir saja yang dapat
digolongkan ke dalam tafsir isyari. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
- Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqân
Pengarang tafsir ini adalah seorang imam besar dan alim ulama, Nizhâm
al-Dîn al-Hasan bin Muhammad al-Husain al-Khurasani al-Naisâbûri. Beliau
dibesarkan di daerah Naisabur. Ia tergolong ulama yang cukup berprestasi besar
pada masanya, mendalami ilmu-ilmu rasional dan bahasa Arab. Di antara karya
terbaiknya adalah kitab tafsir Gharâib al-Qur’ân wa Raghâib al-Furqân.
Ia wafat pada tahun 109 H.
Kitab tafsir ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai kitab tafsir yang
banyak dirujuk. Oleh penulisnya, kitab ini disandarkan pada tafsir al-Kabîr
karya Imam Fakhr al-Razi, tafsir al-Kasysyâf karya al-Zamakhsyari, dan
kitab-kitab tafsir lainnya. Di samping itu, ia pun memperlihatkan uraian-uraian
rasional yang menunjukkan kepribadiannya yang cemerlang. Ia tidak hanya menukil
apa saja yang dikatakan oleh al-Razi dan al-Zamakhsyari, tapi juga menampakkan
keluasan pemahaman dan kekuatan akalnya sendiri. Den terkadang ia pun bertindak
sebagai peniali atas kedua karya imam besar tersebut.
Imam al-Naisâbûri adalah seorang imam yang sangat menonjol karakter
kesufiannya. Oleh karena itu, karakteristik ini senantiasa mewarnai sikap dan
keputusan-keputusan yang diambil. Kesan ini juga nampak jelas ketika ia
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Setelah menafsirkan ayat-ayat dari aspek
zhahirnya, ia pun kemudian melengkapi penafsirannya secara isyari atau dengan
menyebutkan pandangan para tasawuf, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 67:
øÎ)ur
tA$s%
4ÓyqãB
ÿ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ¨bÎ) ©!$# ôMä.âßDù't br&
(#qçtr2õs?
Zots)t/
“Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.”
Setelah menjelaskan zhahir ayat
tersebut, kemudian ia menunjukkan isyarat-isyarat lain yang ditunjukkan oleh
ayat tersebut. Dalam penafsirannya, al-Naisâbûri menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan penyembelihan “sapi betina” pada ayat tersebut adalah
penyembelihan nafsu kebinatangan. Karena dalam penyembelihan itu terdapat
kehidupan rohani, dan itulah yang dinamakan al-jihâd al-akbar (jihad
besar).[24]
- Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm
Penyusun tafsir ini adalah Abû Muhammad Sahl bin ‘Abdullâh bin Yûnus bin
‘Abdullah al-Tustari. Beliau lahir di wilayah Tustar, termasuk wilayah Ahwaz,
Iran, pada tahun 200 H. Konon, al-Tustari adalah seorang yang sangat wara’,
takwa, dan tergolong kelompok orang-orang yang arif. Ia pernah berjumpa dengan
Dzun Nun al-Mishri di Mekah. Kemudian ia pindah ke Bashrah dan menetap di sana
hingga wafat tahun 383 H.
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhîm dicetak dalam satu jilid, mengingat
al-Tustari tidak menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an, tapi hanya
membicarakan beberapa ayat secara terpisah dari tiap-tiap surat.[25]
Menurut al-Tustari, setiap ayat dalam al-Qur’an mengandung empat makna
sekaligus yakni: zhahir, bathin, hadd, dan mathla’. Baginya, pemahaman
umum tentang suatu ayat akan diperoleh melalui pengetahuan yang zhahir.
Sedangkan pemahaman yang dikehendaki oleh ayat—dalam hal ini Allah—hanya akan
diperoleh melalui isyarat-isyarat yang bersifat bathini. Sebagaimana
firmanNya dalam Q.S. Al-Nisâ’ ayat 78:
ÉA$yJsù ÏäIwàs¯»yd ÏQöqs)ø9$# w tbrß%s3t tbqßgs)øÿt
$ZVÏtn
“Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.”
Dari pemahaman di atas, nampak al-Tustari tidak menganggap bahwa tafsir
al-Qur’an itu hanyalah tafsir batin saja. Oleh karena itu ia hanya mengatakan
bahwa makna-makna zhahir al-Qur’an yang bersifat umum dapat dipahami oleh siapa
saja yang memahami al-Qur’an secara gramatikal (kebahasaan). Sementara
makna-makna bathini adalah termasuk perkara-perkara yang khusus, yang hanya
dipahami oleh orang-orang yang telah mendapatkan pelajaran dari Allah swt.
Dalam tafsirnya, al-Tustari menyebut makna-makna yang penting namun tidak
jelas. Berikut ini adalah contoh penafsirannya:
xsªB$#ur ãPöqs% 4ÓyqãB .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ ô`ÏB óOÎgÍhÎ=ãm WxôfÏã #Y|¡y_ ¼ã&©! î#uqäz
“Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur
membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak sapi yang bertubuh dan
bersuara.”
Dalam penafsirannya, “anak sapi” adalah apa saja yang memalingkan manusia
dari Allah swt., mungkin sanak saudara ataupun anak, yang manusia tidak bisa
lepas darinya kecuali setelah hilangnya keuntungan-keuntungan yang merupakan
sebab terikatnya manusia kepada “anak sapi” tersebut. Sebagaimana umat nabi
Musa tidak bisa melepaskan diri dari penyembahan terhadap anak sapi kecuali
dengan membunuh diri mereka sendiri.[26]
- Haqâ’iq al-Tafsîr
Tafsir ini disusun oleh Abû ‘Abdurrahman Muhammad bin Husain bin al-As’ad
al-Sulami, lahir pada tahun 330 H. Ia adalah sseorang syaikh dan ulama sufi
pada masanya, serta dikenal sebagai seorang muhaddits. Karangan-karangan
ilmiahnya dalam pelbagai disiplin ilmu mewarnai perpustakaanperpustakaan Islam
pada masa itu.
Sebagaimana al-tustari, al-Sulami menafsirkan seluruh surat dalam
al-Qur’an, namun tidak berdasarkan ayat perayat. Ia hanya menafsirkan ayat-ayat
tertentu yang dianggap penting dalam pertimbangannya.
Hal yang berbeda dengan kedua penulis di atas adalah, al-Sulami sama sekali
menafikan pembahasan makna-makna secara zhahir. Ia memfokuskan diri pada
pemahaman ayat secar bathini. Namun, al-Sulami masih mengakui eksistensi
makna-makna zhahir. Hanya tampaknya ia lebih suka menghimpun tafsir-tafsir ahli
hakikat dalam kitab tersendiri.
Sebagian ulama mengecam keras karena hanya membatasi diri pada makna-makna
isyari semata dan sama sekali berpaling dari makna-makna zhahir dalam
menafsirkan suatu ayat. Imam al-Suyuthi menyebutnya sebagai ulama yang
mengada-ada (mufassir mubtadi’).[27] Bahkan Ibn Taimiyah
menudingnya sebagai seorang pendusta yang mengatasnamakan Ja’far al-Shadiq sebagai
rujukan. Berikut contoh penafsirannya dalam Q.S. al-Rahman ayat 11:
$pkÏù
×pygÅ3»sù
ã@÷¨Z9$#ur
ßN#s
ÏQ$yJø.F{$#
ÇÊÊÈ
“Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang
mempunyai kelopak mayang.”
Dalam penafsirannya, Allah swt.
telah menjadikan dalam hati para waliNya kebun keakraban denganNya. Di dalamnya
Allah swt. menanam pohon-pohon ma’rifah, yang akarnya terhujam dalam
rahasia-rahasia mereka, sementara cabang-cabangnya berdiri tegak menghijau
dalam penampakan-penampakan mereka. Mereka memetik buah keakraban tersebut
setiap saat.[28]
- Misykât al-Anwâr
Penyusun kitab ini adalah Abû Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, lahir
tahun 450 H di Thous. Kitab ini hadir untuk membela pandangan kaum sufi ketika
kitab-kitab mereka dibakar atas fatwa ulama. Karena pernah menempuh jalan
filsafat dan tasawuf, maka dengan mudah ia dapat memahami dan menerangkan
maksud para mufassir sufi tersebut. Menurutnya, makna al-Qur’an itu pada
dasarnya suci, dan oleh karena itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang
terpilih saja. Alatnya adalah intuisi yang harus segera digunakan manakala akal
telah menjadi tumpul. Kaum sufi, dalam pandangannya, berusaha menyeimbangkan
antara ‘penglihatan luar’ dengan
‘penglihatan dalam’, sehingga tafsiran yang mereka kemukakan tidak dapat ditolak.
Ini contoh kecil saja pembelaan al-Ghazali terhadap kaum sufi.[29] Salah satu contoh
tafsirnya adalah Q.S. Thaha ayat 12:
þÎoTÎ)
O$tRr& y7/u ôìn=÷z$$sù y7øn=÷ètR (
y7¨RÎ) Ï#uqø9$$Î/
Ĩ£s)ßJø9$# YqèÛ
ÇÊËÈ
“Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah
kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa.”
Dalam
pandangannya, orang yang ingin memperoleh ilmu tauhid yang hakiki haruslah
meninggalkan pikiran tentang dunia dan akhirat. Suatu konsep yang sangat lekat
dengan terminologi tasawuf, yakni fana’.[30]
- Futûhat al-Makkiyyah dan al-Nushûsh
Kedua karya magnum opus ini dinisbatkan kepada Syeikh Muhyi al-Dîn
bin ‘Arabi. Penisbatan kepada nama Ibnu ‘Arabi dalam buku tafsir ini sempat
diragukan bahkan dipertanyakan keabsahannya oleh banyak ulama.[31] Jangan-jangan itu hanya
rekayasa para pengikutnya agar seolah-olah karya tersebut orisinil tulisan Ibnu
‘Arabi.
Ibnu ‘Arabi sangat terpengaruh dengan pandangan atau paham wahdat
al-wujud, yakni sebuah paham yang meyakini tidak ada wujud selain wujud
yang satu, wujûd al-haq. Ia membina tasawufnya atas dasar pandangan yang
diyakininya dan berusaha menerapkannya pada ayat-ayat al-Qur’an.
Contoh penafsirannya pada awal surat al-Nisâ’ dalam kalimat “اتقوا ربكم”, ditafsirkan dengan “bertakwalah kepada Tuhanmu,
jadikanlah yang zhahir dari dirimu sebagai penjagaan bagi Tuhanmu. Dan
jadikanlah bagian yang batin dari dirimu sebagai—yang tiada lain adalah
Tuhan—sebagai penjaga bagi dirimu, karena perkaranya adalah perkara celaan dan
pujian.
III.
KESIMPULAN
Membincang tafsir sufi dengan pemahaman masyarakat kebanyakan memerlukan
kehati-hatian dan toleransi ilmiah. Karena untuk mempertemukan kedua kutub ini
sama sekali bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, sebagai sebuah wacana, kasus
penafsiran ala sufi ini harus diapresiasi secara proporsional.
Bagaimanapun tafsir isyari merupakan bagian dari sejarah dan menjadi
warisan intelektual yang tidak kurang mahal harganya. Hemat penulis—meskipun
banyak mendapat hujatan—tafsir isyari sebagai bagian dari penafsiran gaya sufi
akan tetap hidup seiring dengan kehidupan dunia sufisme. Dan tentu saja menjadi
tidak bijak ketika kita mempertentangkan dua kutub (sufi dan syari’at) yang
bertolak belakang.
Tafsir sufi masih tetap diakui sebagai sebuah metodologi, meski masih dalam
koridor pertentangan epistemologis. Serangan-serangan dari sebagian ulama tidak
berarti menafikan kehadirannya, namun kita perlu melirik
argumentasi-argumentasi yang dikemukakan mereka dengan pendukungnya.
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Wallahu a’lam bi al-Shawâb.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Aridh, Ali Hasan. Sejarah dan Metodologi Tafsir.
Terj. Ahmad Akram. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl. Sahîh al-Bukhârî.
Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004
Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Dr. Al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn. Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1976
__________________. Penyimpangan-penyimpangan dalam
Penafsiran al-Qur’an. Terj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1993
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an:
Perkenalan dengan Metode Tafsir. Terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir
Hamid. Bandung: Penerbit Pustaka, 1987
Goldziher, Ignaz. Madzâhib al-Tafsîr al-Islâmy. Kairo: Al-Khanji,
1975
Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’ Isma’il. Tafsir al-Qur’ân
al-‘Adzîm. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2005
Ibnu Mandzûr, Lisân al-‘Arab.
Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006
Iyazi, Muhammad ‘Ali. Al-Mufassirûn: Hayâtuhum wa
Manhajuhum. Teheran: Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyad al-Islâmi, t.th
Julandari, Rasyid Ahmad. Qur’anic Ezegesis and
Classical Tafsir. Islamic Quarterly, 1980
Al-Shabûni, M. ‘Alî. Al-Tibyân fî ‘Ulum al-Qur’ân.
Makkah: Dâr al-Kutûb al-Islâmiyyah, 2003
Al-Shâlih, Shubhi. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân.
Beirut: Dâr al-‘Ilmi li al-Malâyîn, t.th
Al-Shiddiqy, M. Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an:
Media-media Pokok dalam Menafsirkan
al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an.
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003
Al-Tustari, Sahl. Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm. Kairo: Dâr al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1329 H
Al-Zarqâni, Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. Manâhil al-‘Irfân
fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001
[1] Muhammad Husain
al-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur’an. Terj.
Hamim Ilyas dan Machnun Husein, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993),
cet. III, h. 92
[2] Mahmud Basuni
Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metode Tafsir. Terj.
Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1987), cet.
I, h. 250; atau lihat juga dalam Ali
Hasan al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Terj. Ahmad Akram,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), cet. II, h. 55
[4] Shubhi
al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilmi li
al-Malâyîn, t.th), h. 296
[5] Muhammad
‘Abd al-‘Azhim Al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (kairo:
Dâr al-Hadîts, 2001), juz II, h. 67
[6] M.
‘Alî al-Shabûni, Al-Tibyân fî ‘Ulum al-Qur’ân, (Makkah: Dâr al-Kutûb
al-Islâmiyyah, 2003), h. 191
[7] Dr.
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr
al-Kutub al-Hadîtsah, 1976), cet. II, jilid 2, h. 352
[10] Ibid., h. 353
[11]
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî
(Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), jilid 3, kitab Tafsir al-Qur’an, bab Surat
idzâ jâ’a nashrullah, no. hadis
4970, h. 339
[12] Abû
al-Fidâ’ Isma’il Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm, (Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2005), jilid 2, h. 13
[14] M.
Hasbi al-Shiddiqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1993), cet. III, h. 250
[16] Jalâl
al-Dîn al-Suyûthî, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 2003), jilid 2, h. 366
[17] Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an, h. 254
[19] Al-Zarqani,
Manâhil al-‘Irfan, h. 69; lihat juga dalam Muhammad ‘Ali Iyazi, Al-Mufassirûn:
Hayâtuhum wa Manhajuhum, (Teheran: Wizârah al-Tsaqâfah wa al-Irsyad
al-Islâmi, t.th), h. 59
[20] Sahl
al-Tustari, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, (Kairo: Dâr al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1329 H), h. 14
[29] Rasyid Ahmad
Julandari, Qur’anic Ezegesis and Classical Tafsir, (Islamic Quarterly,
1980), h. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar