QIRA’AT DAN TARANNUM
SEBAGAI MEDIA
DAKWAH ISLAM
Oleh : Ahsin Sakho Muhammad
s
|
aat ini manusia memasuki dan di tengah era
globalisasi, dimana hubungan antar manusia tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat
geografis. Informasipun mengalir dengan sangat deras ke seluruh pelosok dunia dalam
hitungan detik. Hubungan antar bangsa berjalan dengan intensnya. Hal itu
menyebabkan terjadinya benturan budaya, adat istiadat, keyakinan agama dan
lain-lainnya. Dari benturan-benturan ini terjadilah apa yang dinamakan dengan
kondisi saling mempengaruhi. Di era globalisasi dan komunikasi ini, mereka yang
bisa mengemas sesuatu menjadi menarik, merekalah yang bisa mempengaruhi yang
lain. Ini di satu sisi
Di sisi lain, kondisi
demikian juga berdampak pada menguatnya kecenderungan terkikisnya dan
menipisnya nilai-nilai keagamaan, serta nilai nilai lokal (lokal wisdom).
Dalam hal budaya, kita melihat kecenderungan masyarakat muslim yang meniru
perilaku bangsa-bangsa yang maju, dalam berbagai hal, mulai dari seni musik,
mode, makanan dan gaya hidup lainnya. Kehidupan modern mengakibatkan perobahan
gaya hidup menjadi materialis, hedonis, egois, rasionalis dan lain sebagainya. Umat Islam terlihat gagap dan gamang di tengah
kemajuan yang demikian pesat.
Menghadapi
hal-hal demikian maka masyarakat muslim masa kini memerlukan sebuah strategi
da’wah Islam yang bisa membawa umat agar mereka tetap “istiqamah” dengan
keislamannya. Umat Islam juga perlu mengemas agar dakwah Islamiyah tetap
diminati diminati oleh masyarakat kontemporer. Sehingga Islam tetap eksis di
manapun dan sampai kapan pun, shalih likulli zaman wa makan.
Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Islam dan menjadi rujukan utama dalam memahami Islam,
perlu di sosialisasikan kepada masyarakat dengan baik dan dengan metode
pendekatan yang baik pula. Tujuan akhirnya adalah bagaimana Al-Qur’an menjadi
sebuah kitab “hidayah” dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Banyak hal yang perlu diungkap dalam Al-Qur’an agar bisa
menjadi barometer mengukur kebenaran dan kebaikan. Diantara metode yang cukup
menarik adalah melalui pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan “tarannum”
atau melagukan bacaan Al-Qur’an. Melagukan bacaan Al-Qur’an akan bisa
mengimbangi masyarakat modern yang gandrung akan musik dan seni kontemporer
saat ini.
Jika pada masa lalu, kaum muslimin sudah
terbiasa dengan satu macam bacaan saja yaitu bacaan Imam ‘Ashim, riwayat Hafsh,
maka pada saat ini, terlebih setelah masa golobalisi, masyarakat mengenal adanya bacaan lain selain
Hafsh yaitu bacaan yang ada pada Qira’at Tujuh dan Qira’at Sepuluh. Kedua macam
bacaan ini akhirnya menjadi trend yang cukup menarik untu di pelajari.
ILMU QIRA’AT
Ilmu Qira’at
adalah salah satu cabang Ulum al-Qur’an yang mempunyai posisi sangat penting
dalam kajian ilmu keislaman. Bagaimana tidak? Ilmu Qira’at adalah ilmu yang
paling konsen dalam meneliti keabsahan teks Al-Qur’an, baik dari segi
pengucapan maupun dari segi tulisan. Jika sebuah teks Al-Qur’an dianggap valid
baik dari segi ucapan maupun tulisan, maka teks tersebut sudah bisa dianalisa
oleh ahli-ahli keislaman yang lain. Pakar tafsir akan meneliti dari segi
kandungan maknanya, pakar sastra akan meneliti dari segi kekuatan sastranya,
sementara para ahli hukum Islam (fuqaha) akan meneliti dari kandungan
hukum dan apa yang bisa di istinbath-kan dari ayat-ayat hukum. Pakar
gramatika bahasa Arab akan meneliti segi nahwu-sharaf (Gramatika-Morfologi) untuk
dijadikan rumusan kaidah umum dalam kedua ilmu tersebut.
Untuk
meneliti keabsahan sebuah teks Al-Qur’an diperlukan rangkaian penelitian yang
cukup mendalam yang mencakup segi kesahihan sanadnya, kesesuaiannya
dengan kaedah-kaedah bahasa arab dan kesesuaianya dengan Rasm Usmani.
Tiga hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang betul-betul
ahli dalam bidangnya.
Pada saat
ini Ilmu Qira’at kembali dikaji oleh banyak kalangan. Bisa dikatakan bahwa Ilmu
Qira’at telah hidup kembali, setelah demikian lama tertidur. Banyak institusi
pendidikan agama Islam yang mengkhususkan diri mengajarkan Ilmu Qira’at,
seperti di Kulliyyatul Qur’an di Islamic University Madinah Saudi
Arabia, Kulliyyatul Qur’an di Jami’ah al-Azhar cabang Thantha,
Mesir. Lalu Jami’ah Ulum al-Qur’an di Sudan, belum lagi Program Studi
Ilmu Qira’at yang ada pada konsentrasi ilmu-ilmu kequr’anan pada sebuah
perguruan tinggi, belum lagi pada lembaga-lembaga swasta dan perorangan dan
lain sebagainya. Sementara itu banyak bacaan Al-Qur’an dengan berbagai macam
riwayat dari Imam Tujuh (al-Qurra’ as-Sab’ah) atau Imam sepuluh (al-Qurra’
al-‘Asyrah) telah banyak beredar. Begitu juga kitab-kitab mengenai Ilmu
Qira’at telah banyak terbit. Kitab-kitab klasik tentang Ilmu Qira’at terutama
yang dijadikan pedoman atau landasan oleh Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya
“an-Nasyr fil Qira’at al-‘Asyr” yang tadinya masih berupa manuskrip (makhthuthat)
telah banyak di tahqiq oleh kalangan akademis dan pada akhirnya terbit
dan beredar dipasaran.
Pada sisi
lain, sudah banyak kaset yang beredar yang berisi rekaman para qari’/qari’ah
yang membaca dengan ragam bacaan dari qira’at tujuh atau sepuluh, apakah dengan
bacaan mujawwad (tarannum, tilawah, dengan lagu) atau murattal
(tartil). Ternyata kemunculan
Ilmu Qira’at dengan segala macam variasinya telah membawa citra situasi keislaman
yang positif di tengah-tengah masyarakat Islam dewasa ini.
Imam Ibn al-Jazari
memberikan definisi Ilmu Qira’at sebagai berikut :
"علم يعرف به
كيفية النطق بألفاظ القرآن واختلافها معزوا لناقله "
Artinya : Ilmu yang membahas tata cara mengucapkan
lafazh-lafzah Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan
tersebut kepada perawinya. (Munjid al-Muqri’in h. )
Syekh Abdul Fattah al-Qadli dalam
kitabnya “al-Budur az-Zahirah” memberikan definisi yang tidak berbeda
dengan Ibn al-Jazari, namun sedikit lebih rinci lagi. Beliau mengatakan:
”
علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرآنية وطريق أدائها اتفاقا واختلافا مع عزو
كل وجه لناقله “.
Artinya : Ilmu Qira’at ialah
ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan dan melafazhkan kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik yang
disepakati (oleh ahli qira’at) atau yang diperselisihkan, dengan selalu
menisbatkan semua bacaan tersebut kepada para perawinya masing-masing. (al-Budur
az-Zahirah : )
Dari definisi diatas ada beberapa
hal yang bisa dikemukakan disini syaitu :
Pertama : Ilmu
Qira’at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur’an dari segi cara
pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna
yang ada di balik teks-teks Al-Qur’an. Ilmu Qira’at sangat mengandalkan oral
(lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dalam semua seginya,
seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid
seperti idgham, iqlab, ikhfa’, izhar dan lain
sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para
sahabatnya. Hal ini berbeda dengan
membaca teks lain selain Al-Qur’an, seperti membaca teks hadis nabi yang tidak
mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Qur’an. Dengan demikian Ilmu
Qira’at sangat terkait dengan tathbiq (praktik) membaca. Mungkin banyak
orang yang mengerti teori Ilmu Qira’at, tapi pada akhirnya dia harus
juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jazari dalam “Thayyibah
an-Nasyr”:
وليس بينه وبين تركه الا رياضة امرئ بفكه
Artinya : hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang dengan
ilmu qira’at adalah jika dia terus menerus
menggerak-gerakkan mulutnya (mempraktikkan
bacaan).
Kedua : Ilmu Qira’at sangat
terkait dengan “arabisme” . Hal ini tidak bisa disangkal lagi karena
Al-Qur’an diturunkan di Jazirah arab, kepada nabi yang berbangsa arab, dan kaum
yang juga berbangsa arab. Bahasa yang digunakan juga berbahasa arab. Maka cara
pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an juga mengacu kepada cara orang arab
melafalkan kalimat-kalimat arab. Bagi bangsa yang non arab, pada saat
melafalkan Al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh
orang arab yang fasih membaca, lalu dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh
nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang qari’/qari’ah yang mahir adalah
mereka yang mampu melafalkan Al-Qur’an secara tepat, seakan-akan dia adalah
orang arab. Tidak kelihatan lagi “laknah a’jamiyyah”nya atau aksen ‘ajamnya. Sebaliknya
ada dan mungkin banyak orang arab yang mampu membaca Al-Qur’an dengan
aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang diajarkan
oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyukh
al-Qurra’.
Ketiga : Ilmu Qira’at adalah termasuk dalam komponen
ilmu riwayah yang sudah given (sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh
melalui periwayatan dari satu syekh( pakar Ilmu Qira’at) ke syekh yang lain secara berkesinambungan
dan terus menerus sampai kepada Nabi Muhammad S.A.W. Hal ini berbeda dengan
IlmuTafsir tugasnya yang menganalisa teks-teks Al-Qur’an dari segi maknanya.
Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk kepada hadis
nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas
seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada
kriteria penafsiran Al-Qur’an yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad
penafsir yang lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi,
masih bisa di tolelir dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira’at yang sama
sekali tidak mentolelir adanya perbedaan
karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa di toleleir jika betul-betul berasal dari nabi. Imam Syathibi
berkata dalam “hirzil Amani” :
وما لقياس فى
القراءة مدخــــل فدونـك ما فيه الرضا
متكفلا
Artinya : tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi
masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu qira’at. Terimalah dengan lapang dada apa
yang ada pada qira’at.
Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira’at,
maka Al-Qur’an masih tetap dalam orsinilitas dan kemurniannya. Inilah
sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira’at.
Keempat :
Ilmu Qira’at sangat terkait dengan Rasm Mushaf Usmani karena setiap bacaan harus selalu mengacu
kepada Mushaf Al-Qur’an yang telah mendapatkan persetujuan dan ijma’ para sahabat nabi pada masa penulisan mushaf
pada zaman Usman bin Affan atau mushaf yang sesuai dengan rasm usmani.
Lintasan Sejarah Ilmu Qira’at
Ilmu Qira’at sebagaimana ilmu
ilmu keislaman lainnya mengalami pasang surut. Hal itu dimulai dari masa
pertumbuhan kemudian masa keemasan dan masa kejayaan lalu masa stagnasi atau
kemunduran dan masa kebangkitan kembali dan masa pencerahan. Berikut ini
dikemukakan masa masa tersebut.
1.Masa Pertumbuhan.
Masa ini dimulai dari masa nabi
Muhammad S.A.W yaitu ketika nabi mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya
baik ketika masih berada di Mekah maupun setelah beliau hijrah ke Madinah. Nabi
mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya melalui beberapa cara :
Pertama : membaca dengan tartil. Hal ini sesuai dengan firman
Allah:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4)
[المزمل : 4]
Tentang hal ini salah seorang sahabat nabi yaitu Ibn
Abbas menceritakan :
عن ابن عباس أنه قال كان رسول الله {صلى الله عليه وسلم} يعلمنا
التشهد كما يعلمنا السورة من القرآن )الجمع بين
الصحيحين البخاري ومسلم (- (2 / 94)
Artinya :nabi mengajarkan kepada kami lafazh-lafzah
“tasyahhud” sebagaimana beliau menajarkan kepada kami Al-Qur’an.
Dalam hadis ini Ibn Abbas
memberikan informasi kepada kita tentang
cara nabi mengajarkan “tasyahhud” yaitu sebagaimana beliau mengajarkan
Al-Qur’an. Pemahaman kita pada riwayat ini bahwa nabi mengucapkan beberapa
kalimat lalu ditirukan oleh para sahabatnya. Jika sudah bisa ditirukan dengan
baik dan benar maka nabi melanjutkan bacaannya, dan begitu seterusnya.
Pada riwayat lain sebagaimana
diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik dijelaskan bagaimana nabi memerhatikan
aspek tartil dalam membaca Al-Qur’an.
عَن قَتَادَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسًا ، عَن قِرَاءَةِ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ مَدًّا. مصنف ابن أبي شيبة - (10 / 524)
Artinya : berkata Qatadah: aku bertanay
kepada Anas tentang cara nabi membaca Al-Qur’an. Maka sahabat Anas menjawab :
beliau (nabi) memanjangkan suaranya dengan jelas.
Ummi Salamah, isteri nabi juga
mengemukakan hal yang sama. Beliau berkata :
عَن أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : كَانَت قِرَاءَةُ النَّبِيُّ صلى
الله عليه وسلم : {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} فَذَكَرَتْ حَرْفًا
حَرْفًا. مصنف ابن أبي شيبة - (10 / 524)
Artinya : nabi membaca “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” secara jelas,
huruf demi huruf.
Apa yang dilakukan nabi sejalan
dengan perintah Allah kepada nabiNya agar membaca Al-Qur’an dengan “tartil”
yaitu pelan, sehingga jelas huruf-hurufnya. Dengan bacaan tartil akan bisa
melakukan “tadabbur” (menghayati) terhadap ayat –ayat Al-Qur’an
Kedua : nabi mengajarkan Al-Qur’an sedikit demi
sedikit. Hal itu bisa dipahami dari perkataan Abu Abdurrahman as-Sulami :
وقال أبو عبد الرحمن السلمي: حدثنا الذين كانوا يقرئوننا أنهم
كانوا يستقرئون من النبي صلى الله عليه وسلم، فكانوا إذا تعلموا عشر آيات لم
يخلفوها حتى يعملوا بما فيها من العمل، فتعلمنا القرآن والعمل جميعا (3) . تفسير
ابن كثير - (1 / 8)
Artinya : Abu Abdirrahman berkata : guru-guru kami
meminta nabi membacakan Al-Qur’an kepada
mereka. Jika mereka telah belajar 10
ayat, mereka tidak beranjak ke ayat berikutnya sampai mereka bisa mengamalkan
isinya. Dengan demikian kami bisa mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya
sekaligus.
Ketiga : mengajarkan berbagai macam bacaan.
Nabi mempunyai pandangan yang
jauh kedepan dalam hal berda’wah dan mensosialisasikan Al-Qur’an kepada para
sahabatnya. Nabi melihat bahwa orang arab terdiri dari berbagai macam puak
(kabilah) yang mempunyai berbagai macam dialek. Disamping itu nabi menginginkan
agar Al-Qur’an bisa dibaca oleh semua kalangan, mulai dari anak kecil, yang
buta huruf sampai orang tua. Dalam sebuah hadis disebutkan :
عن أبى ابن كعب رضي الله عنه قال : لقى رسول الله صلى الله عليه
وسلم جبريل فقال يا جبريل إنى بعثت إلى أمة أميين : منهم العجوز، والشيخ الكبير،
والغلام، والجارية، والرجل، الذى لم يقرأ كتاباً قط، قال : يا محمد إن القرآن أنزل
على سبعة أحرف"(3) .
Artinya : nabi bertemu Jibril, lalu
beliau berkata : hai Jibril, aku diutus kepada umat yang ummi (buta huruf),
diantara mereka ada yang sudah tua, anak-anak, dan orang yang tidak bisa
membaca sama sekali. Jibril berkata : hai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan dalam tujuh huruf.
Banyak sahabat
yang meriwayatkan hadis yang semisal dengan hadis diatas. Abdushabur Syahin
dalam kitanya “Tarikh al-Qur’an” menyebutkan bahwa ada 25 sahabat yang
meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut
ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kwalitas “Dla’if” berjumlah 8
sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkwalitas sahih. Dilihat dari sisi
ini Syahin menggolongkan hadis ini kedalam hadis yang mutawatir.(Lihat tarikh
al-Qur’an, h.56) .
Banyak ulama yang berbeda
pendapat dalam memahami hadis diatas. Secara garis besar bisa terbagi menjadi
dua pendapat. Pertama : yang mengatakan bahwa hadis tersebut termasuk
“mutasyabihat” atau yang sukar dipahami maknanya. Kedua : yang mengatakan bahwa hadis tersebut bisa
dipahami maknanya.
Mereka yang bisa memahami maksud
hadis tersebut berbeda dalam memahami kata “tujuh” pada hadis tersebut. Ada
yang memaknai sebagai bilangan yang pasti yaitu antara bilangan “delapan” dan
“enam”. Dan adapula yang memaknai angka tersebut sebagai kiasan dari sesuatu
yang banyak, sebagaimana bilangan tujuh puluh untuk bilangan banyak pada
hitungan “puluhan” sebagaimana firman Allah :
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ
تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ
[التوبة : 80]
Atau bilangan tujuh ratus untuk
bilangan ratusan sebagaimana firman Allah :
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ
حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261)
[البقرة : 261]
Jika yang dimaksud dengan
bilangan “tujuh” adalah kiasan untuk arti banyak, maka pengertian hadis
tersebut adalah bahwa Al-Qur’an bisa dibaca dengan banyak ragam bacaan dan
semuanya berasal dari Allah.
Sementara mereka yang berpendapat
bahwa bilangan tujuh adalah “haqiqatul ‘adad” juga berbeda pendapat didalam
menentukan tujuh huruf tersebut.
Ada yang berpendapat “tujuh”
bahasa” sebagaimana yang diutarakan oleh Abu “ubaid al-Qasim bin Sallam” (w 224
H) dengan arti bahwa tujuh bahasa tersebut adalah induk dari bahasa-bahasa arab
yang masyhur seperti : Quraisy, Hudzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, Sa’d bin
Bakr. Satu bahasa terkadang lebih banyak digunakan dari yang lainnya, tapi
tidak sampai keluar dari tujuh bahasa tersebut. Mereka pun berbeda pendapat
dalam menentukan tujuh bahasa tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa maksud
dengan “sab’atu ahruf” adalah “sab’ Qira’at”( tujuh bacaan). Artinya ada
beberapa kalimat al-Qur’an yang dibaca dengan satu bacaan saja. Ada juga yang
dibaca dengan dua, tiga, tapi maksimal
sampai tujuh aneka bacaan.
Ada yang memaknai bahwa maksud dengan
sab’atu ahruf adalah “sab’atu Aujuh” atau tujuh macam perbedaan dalam cara
pengucapan. Contohnya antara “mufrad dan jama’, antara mudzakkar dan muannats,
antara taqdim dan ta’khir dan lain sebagainya. Mereka yang mengikuti pendapat
inipun, seperti analisa Ibn al-Jazari(w 833 H) berbeda dengan analisa dan abul
Fadl ar-Razi. Ar-Razi mengatakan bahwa tujuh macam perbedaan itu seperti : 1.
Perbedaan bentuk isim seperti mufrad-tatsniyah-Jama’ antara Tadzkir-Ta’nits. 2.
Perbedaan bentuk fi’il seperti Madli-mudlari’-Amar. 3.Perbedaan I’rab seperti :
Rafa’-Nashab-Jazm. 4.Naqsh-Ziyadah (penambahan dan pengurangan huruf).
5.Taqdim-Ta’khir.6.Ibdal (mengganti huruf).7.Perbedaan dialek seperti :
Imalah-Fath, Tarqiq-Tafkhim, Idgham-Izhar dlsb. (al-Itqan : 1/131). Sementara
Ibn al-Jazari mengatakan bahwa 7 macam perbedaan itu adalah : 1.Perbedaan
harakat tanpa merobah makna dan bentuk kalimat seperti : (
البخل ) ( يحسب ). 2.Perbedaan huruf yang menyebabkan perbedaan makna bukan bentuk kalimat
(shurah) seperti :(
فتلقى آدم من ربه كلمات ) .3.Perbedaan huruf yang menyebabkan
perbedaan makna, tapi tidak dalam bentuk kalimatnya(shurah) seperti :
(
هنالك تبلوا – تتلوا ) ( ننجيك – ننحيك ) .4.Perbedaan huruf yang tidak merobah makna seperti : ( الصراط – السراط ). 5.Perobahan huruf dan makna seperti : ( فامضوا الى ذكر الله – فاسعوا ) ( أشد منكم – منهم قوة ) 6.Taqdim-Ta’khir seperti
: ( فيقلتون ويقتلون ).7.Tambahan
dan pengurangan huruf seperti :. ( ووصى – وأوصى ) (an-Nasyr
: 1/38). Ibn al-Jazari memandang bahwa perbedaan dari segi bacaan :
Imalah-Fath, Idgham-Izhar, Raum-Isymam, Tafkhim-Tarqiq,
tahqiq-tashil-Ibdal-Naql, Mad-Qashr, bukan perbedaan yang hakiki.
Masih banyak lagi ulama yang
memberikan komentar terhadap hadis diatas. Imam Sayuthi menyebutkan sampai 36
pendapat. Dari ke 36 pendapat tersebut ada yang lebih mendekati kepada “ruh
an-nash” ada yang sudah diluar jalur, seperti mereka yang menganalisa tujuh
macam perbedaan tersebut terkait dengan makna, seperti “halal-haram”,
“janji-ancaman” dan lain sebagainya. Adanya banyak pendapat tersebut
dikarenakan tidak adanya satu teks/nash dari nabi atau sahabat yang menjelaskan
arti “Sab’atu Ahruf” sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi seperti dikutip
oleh az-Zarkasyi dalam kitab “al-Burhan” :
وقال ابن العربي ):لم يأت في معنى هذا السبع نص ولا أثر واختلف الناس في تعيينها(البرهان في علوم القرآن - (1 / 212)
Artinya : tidak ada satu penjelasanpun yang
menentukan arti dari “sab’atu ahruf” ini. Oleh karena itu para ulama berbeda
pendapat.
Dalam pandangan penulis,
menentukan “sab’atu ahruf” dalam ketiadaan “nash” atau “atsar” hanyalah
ijtihadi saja, bukan merupakan kepastian. Boleh jadi begitu, boleh juga
lainnya. Yang perlu digaris bawahi dalam mengamati arti “sab’atu ahruf” adalah
bahwa nabi mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya: 1. dengan “aujuh
mutaghayirah” (beragam bacaan). Satu bacaan berbeda dengan lainnya dari segi
cara pelafalannya. Perbedaan tersebut adakalanya terkait dengan bahasa, dialek,
atau lainnya. Adakalanya menyebabkan perbedaan makna dan adakalanya tidak. 2.Beragam
bacaan tersebut semuanya “munazzalah” atau diturunkan oleh Allah kepada nabiNya
atau semuanya berasal dari Allah melalui nabiNya. 3.Tujuan dari semuanya adalah untuk memudahkan bagi umatnya.
Para ulama juga berbeda pendapat
tentang eksistensi “sab’atu ahruf” saat ini. Apakah masih eksis atau tinggal
satu huruf yaitu Harf Quraisy. Begitu juga mereka berbeda pendapat tentang eksistensi
sab’atu ahruf pada rasm usmani. Ada yang mengatakan tinggal satu yaitu harf
quraisy. Ada yang mengatakan semuanya masih ada, karena umat islam tidak bisa
menghilangkan bacaan yang pernah diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Mereka
harus mempertahankan eksistensi Qira’at-qira’at tersebut. Ibn al-jazari berpendapat bahwa tulisan
pada mushaf usmani yang ada sajalah yang
masih mencakup al-Ahruf as-Sab’ah. Hal itu tidak mengikut
sertakan bacaan yang telah di nasakh. Menurut pendapat penulis apa yang dikatakan
oleh Ibn al-Jazari cukup beralasan mengingat ragam bacaan yang terdapat pada
qira’ah tujuh atau sepuluh masih bisa dibayangkan unsur “taysir” atau
kemudahannya seperti bacaan idgham atau imalah dan lain sebagainya. Bisa
dikatakan bahwa bacaan yang ada pada Qira’at Tujuh dan Sepuluh adalah sebagian
dari al-Ahruf as-Sab’ah yang dahulu pernah diajarkan oleh nabi kepada para
sahabatnya. Nabi berkata :
إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف
فاقرءوا ما تيسر منه. الإنصاف للباقلاني - (1 / 28)
Artinya : sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas
tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya.
Perkataan nabi ini menjelaskan bahwa umat islam tidak
wajib membaca semua varian bacaan, tapi mereka diperbolehkan memilih dari
beberapa varian bacaan yang ada sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka.
Perkataan nabi ini memberikanpemahaman
bahwa mempertahankan keseluruhan al-Ahruf as-Sab’ah adalah tidaklah wajib. Betapapun demikian,
bacaan yang mutawatir perlu dilestarikan untuk menjaga keaslian dan ke
otentikan Al-Qur’an.
II.Masa Perkembangan.
Masa perkembangan qira’at ditengarai dengan tiga hal yaitu :
a. Berpencarnya sahabat nabi di berbagai pelosok
negeri islam untuk mengajarkan Al-Qur’an dan ajaran islam pada umumnya.
b. Munculnya
komunitas Al-Qur’an pada setiap negeri.
c. Munculnya
Ahli-Ahli Al-Qur’an pada setiap negeri.
Berikut uraiannya. Fase pertama
dari masa perkembangan qira’at dimulai dari berpencarnya para sahabat nabi ke
beberapa negeri islam disusul dengan terbentuknya komunitas ahli qira’at di
negeri-negeri tersebut. Seperti Abu Musa
al-Asy’ari datang ke kota basrah dan
menyebarkan Al-Qur’an di negeri tersebut. Ibn Mas’ud ke Kufah,
Abud Darda’ ke kota Syam, dan lain sebagainya. Di kota kota tersebut mereka mengajarkan Al-Qur’an kepada kaum muslimin
setempat. Bacaan yang mereka ajarkan adalah apa yang telah mereka terima dari
nabi.
Setelah mushhaf al-Imam selesai ditulis pada masa Khalifah Usman, bacaan yang
sesuai dengan mushhaf tersebut langsung di sosialisasikan kepada publik.
Fase
berikutnya adalah fase munculnya komunitas Al-Qur’an pada setiap negeri.
Pada fase ini muncul para Imam-Imam Qira’at pada setiap
negeri-negeri Islam. Para pakar Qira’at pada masa lalu seperti : di Madinah
muncul nama Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz dll.
Di Mekah muncul nama : Ubaid bin Umair, ‘Atha’, Thawus dan lain lainnya. Di
Kufah muncul nama- nama Aswad bin Yazid, ‘Alqamah, Masruq dan lain lainnya. Di
Bashrah muncul ‘Amir bin Abd Qais, Yahya bin Ya’mur, Nashr bin ‘Ashim dan lain
lainnya. Di Syam muncul nama –nama Mughirah bin Abi Syhihab, Khulaid bin Sa’d
dan lain lainnya.
Fase ketiga dari fase
perkembangan adalah fase munculnya ahli-ahli qira’at. Pada fase
ini muncul generasi baru yang mempunyai perhatian lebih serius lagi terhadap
bacaan yang sampai kepada mereka . Maka muncullah nama- nama ahli qira’at yang
terkenal pada setiap negeri seperti : Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’, Nafi’ di
madinah. Abdullah bin Katsir, Humaid bin Qais dan lain lainnya di Mekkah.
Ashim, Hamzah, Kisa’i dan lain lainnya di kufah. Abu ‘Amr bin al-‘Ala’, Ya’qub,
Isa bin Umar dan lain lainnya di Basrah. Di Syam muncul Abdullah bin ‘Amir,
Yahya bin al-harits adz-Dzimmari dan lain lainnya. Mekekalah generasi yang
akhirnya mampu menjadikan Ilmu Qir’at lebih kokoh lagi.
III.Masa Penulisan (tadwin) Ilmu
Qira’at.
Pada
perkembangan berikutnya, dan sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman
lainnya, Ilmu Qira’at memasuki tahap pentadwinan. Sebagian peneliti mengatakan
bahwa pentadwinan Ilmu Qira’at dimulai pada akhir abad pertama hijriyah.
Disebutkan bahwa Yahya bin Ya’mur (w 90 h) murid dari Abul Aswad ad-Du’ali
adalah orang pertama yang menulis Ilmu Qira’at. Lalu berturut turut muncul
kitab –kitab qira’at lainnya seperti yang di lakukan oleh Abdullah bin Amir ( w
118 h), Aban bin Taghlib al-Kufi (w 141 h), Muqatil bin Sulaiman (w 150 h) Abu
‘Amr bin al-‘Ala’ al Bashri (w 156 h), Hamzah bin habib az-Zayyat (w 156 h),
harun bin Musa al-A’war (w 170 h), al-Akhfasy al-Kabir (w 177 h), al-Kisa’I (w
189 h), Ya’qub al-Hadrami (w 205 h), Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (w 224 h),
Abu Umar, Hafsh bin Umar ad-Duri (w 246 h), Abu Hatim as-Sijistani (w 255 h),
dan lain lainnya. Sebagian mengatakan bahwa Abu Ubaid lah sebenarnya orang yang
pertama kali menulis kitab Ilmu Qira’at.
Dia telah menghimpun bacaannya 25 Imam. Termasuk
didalamnya Imam Tujuh yang terkenal itu.
IV.Pembakuan Qira’at Sab’ah.
Penulisan Ilmu
Qira’at pada abad pertama, kedua dan ketiga lebih cenderung kepada penghimpunan
riwayat dalam qira’at yang sampai kepada mereka tanpa melihat kwalitas dari
periwayatan yang ada. Terlebih pada kitab qira’at yang menghimpun banyak Imam
dan riwayat. Boleh jadi pada riwayat
yang dihimpun ada riwayat yang tidak masuk dalam kriteria riwayat yang sahih. Dari sinilah tersebar riwayat
riwayat tersebut di tengah masyarakat. Melihat gejala yang demikian ini seorang
ahli qira’at dari Baghdad yang bernama Ibn Mujahid Ahmad bin Musa bin al-Abbas al-Baghdadi (w 324 h) berinsiatif untuk
menghimpun Qira’at yang mewakili setiap
negeri islam yang betul- betul merepresentasikan qira’at yang mutawatir.
Sehingga masyarakat bisa lega dan tenang. Karena apa yang ada pada kitab ini
betul-betul qira’at yang disepakati keasahihannya oleh para ulama qira’at pada
masa itu. Sebagai contoh, bacaan Ibn Katsir adalah bacaan yang disepakati oleh
penduduk Mekah pada saat itu. Di Syam bacaan yang paling masyhur adalah bacaan
Ibn ‘Amir, dan seterusnya. Ibnu Mujahid
menulis kitab “as-Sab’ah” yang
menghimpun bacaannya tujuh Imam Qira’at yang terkenal. Mereka adalah : 1.Nafi’ bin
Abi an-najud dari Madinah. 2. Abdullah
bin Katsir (w 120 h) dari Mekah. 3. Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ al-Bashri (w 154 h) dari Basrah.
4. Abdullah bin
‘Amir (w 118 h) dari Syam. 5. ‘Ashim bin Abi an-Najud (w 127 h). 6. Hamzah bin
Habib az-Zayyat (w 156 h) dan 7. ‘Ali bin Hamzah al-Kisa’i (w 189 h), ketiganya
dari Kufah.
Setelah
kemunculan Kitab “as-Sab’ah”, para ulama menyikapinya berbeda. Ada yang pro dan
ada yang tidak setuju. yang pro menindak lanjuti dengan mengadakan penelitian
tentang segala aspek riwayat dan bacaan
yang bermuara kepada Imam Tujuh tersebut. Lalu muncul kitab –kitab yang
membicarakan bacaan Imam Tujuh tersebut. Sementara itu penulisan Ilmu Qira’at masih terus berlangsung.
Ada yang menghimpun bacaannya Imam Tujuh dan adapula yang menghimpun bacaan
Imam Lima.Imam Delapan Imam Sembilan dan lebih dari itu.
V.Dari Imam Ibn Mujahid (w
324 h) sampai Ibn al-Jazari (w 833 h).
Apa yang
dilakukan oleh Imam Ibn Mujahid ternyata mendapatkan respons yang sangat positif
dari komunitas qira’at pada masanya dan masa setelahnya. Salah satu yang
meresopons prakarsa Ibn Mujahid adalah Imam Abu ‘Amr ad-Dani (w 444 h). ad-Dani
mempunyai ambisi yang sangat tinggi untuk menghimpun riwayat yang bermuara pada
Imam Tujuh. Kitabnya “Jami’ul Bayan Fil Qira’at as-Sab’ “ merupakan kitab
tentang Qira’ah Sab’ah yang paling luas cakupannya dalam periwayatan. Ada lebih
dari 500 riwayat dan Thariq yang bermuara pada Imam Tujuh. Melihat cakupannya
yang demikian banyak, ad-Dani meringkas periwayatan dari Imam Tujuh menjadi dua
perawi saja dari setiap Imam. Hal itu bisa dilihat dalam kitabnya “at-Taysir” .
Dalam kitab “at-Taysir” Imam Nafi’ mempunyai dua perawi yaitu : Qalun dan
Warsy. Imam Ibn Katsir dengan perawinya : al-Bazzi dan Qunbul. Imam Abu ‘Amr
al-bashri dengan perawinya : ad-Duri dan as-Susi. Imam Ibn ‘Amir dengan
perawinya : Hisyam dan Ibn Dzakwan. Imam ‘Ashim dengan perawinya : Syu’bah dan
Hafsh. Imam Hamzah dengan perawinya : Khalaf dan Khallad. Imam Kisa’I
denganperawinya : Abu al-harits dan ad-Duri al-Kisa’i. Boleh dikata bahwa abad
ke lima hijriyah adalah masa penyederhanaan rawi-rawi qira’at.
Apa yang ditulis oleh ad-Dani ditindak lanjuti oleh
Imam Syathibi (w 591 h) dengan menazhamkan materi kitab “at-taysir” kedalam
satu karya master Piecenya yaitu “Hirzul Amani wa wajhuttahani” . Nazham yang
sangat memukau banyak kalangan ini
berisi 1171 bait. Nazham ini
cepat mendapat sambutan yang sangat antusias dari para pakar Ilmu Qira’at.
Tidak kurang 50 kitab yang mensyarahi kitab ini. Ilmu Qira’at sab’ah bisa
menyebar ke pelosok negeri karena kitab ini.
Perkembanagn
Ilmu Qira’at tidak terhenti sampai disini. Karena ternyata Imam Ibn al-jazari
(w 833 h) yang telah mendapatkan banyak pengalaman dalam menimba Ilmu Qira’at
mampu meyakinkan banyak kalangan untuk menerima kehadiran qira’at sepuluh yaitu
qira’at tujuh ditambah dengan qira’at tiga Imam lainnya yaitu Imam Abu Ja’far
Yazid bin al-Qa’qa’ (w 130 h), Ya’qub al-Hadlrami (w 205 h) dan Khalaf bin
Hisyam al-Bazzar (w 229 h). Ibn al-Jazari menulis beberapa kitab tentang qira’at
antara lain :
1.Kitab Nazham yang bertajuk
“ad-Durrah al-Mudli’ah fil Qira’at al-Mutammimah lil’Asyrah”. Kitab ini terdiri
dari 241 bait yang berisi tentang bacaan
Imam Tiga yaitu :Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq al-Hadlrami dan Khalaf bin Hisyam al-Bazzar atau disebut juga dengan Khalaf al-‘asyir.
Jalur periwayatan yang dianut Ibn al-Jazari dalam kitab “ad-Durrah mengikuti jalur
periwayatan Imam Syathibi yaitu hanya mengikut sertakan dua perawi dari setiap
Imam dan satu “Thariq’ dari setiap perawi. Kecuali riwayat “Idris” dari Khalaf
al-‘Asyir yang mempunyai dua (2) thariq. (Lihat Muqaddimah Thayybah an-Nasyr
oleh Tamim az-Zu’bi). Perawi yang
disertakan adalah perawi “Magharibah”
. jumlah Thariq yang ada pada kitab “ad-Durrah” adalah 21 Thariq.
2.Kitab “Tahbir at-Taysir” yang
menghimpun sepuluh bacaan Imam sepuluh dengan mengikuti perawi dan thariq yang
ada pada nazham “Syathibiyyah” yaitu setiap Imam diikuti oleh dua perawi dan
setiap perawi diiukti oleh satu thariq saja yaitu thariq para perawi magharibah
(Mesir). Para ulama menyebut qira’at sepuluh yang ada pada kitab ini sebagai “al-Qira’at
al-‘Asyr ash-Shughra”
3.Kitab “an-Nasyr fil Qira’at al-‘Asyr”. Kitab ini mendapatkan apresisasi yang demikian tinggi
dari banyak kalangan karena kepiawaian Ibn al-Jazari dalam mentahqiq bacaan yang
ada pada sekitar 40 kitab yang menjadi rujukannya, melalui jalur-jalur
periwayatan yang demikian rumit. Jumlah thariq yang dipakai dalam kitab ini
adalah 80 thariq, karena setiap Imam dari Imam Sepuluh mempunyai dua perawi,
setiap perawi mempunyai dua thariq dan setiap thariq mempunyai dua thariq lagi
yaitu thariq Masyriqiyyah (Iraq) dan Maghribiyyah (Mesir). Dari jumlah 80
thariq diatas masih mempunyai akar thariq dibawahnya yang jumlahnya sekitar 980
thariq (Lihat Muqaddimah Thayyibah
an-Nasyr oleh amim az-Zu’bi hal.2).
4.Kitab bernazham yaitu “Thayyibah an-Nasyr” yang terdiri dari 1015
bait. Kitab ini merupakan ringkasan dari
kitab “an-Nasyr” mendapatkan pujian dari banyak kalangan. Dalam kitab
“Thayyibah an-nasyr” Imam Ibn al-jazari menghimpun banyak riwayat melebihi dari
riwayat yang ada pada “Syathibiyyah”. Semuanya mutawatir. Karena banyaknya
riwayat yang terhimpun dalam kitab ini, ulama menyebutnya dengan “al-Qiraat
al-‘Asyr al-Kubra”. Masyarakat Qira’at menunggu sampai empat abad
lamanya semenjak masa Imam Syathibi (w 591 h) sampai masa Imam Ibn al-Jazari
untuk bisa menerima kehadiran qira’at sepuluh sebagai bacaan yang mutawatir.
Perkembangan Ilmu Qira’at
Pada Masa Kini.
Setelah lama Ilmu Qira’at tidak mendapatkan perhatian
dari banyak kalangan, pada saat ini Ilmu Qira’at kembali bangkit. Hal itu bisa
dilihat dari beberapa hal : yaitu :
Pertama : banyaknya institusi pendidikan yang
memfokuskan pada bidang ini seperti:
1.Kulliyyatul Qur’an di madinah Saudi Arabia.
2.Jami’atu Ulum al-Qur’an dan
Studi Islam di al-Khurthum Sudan
3.Di situs “Multaqa Ahl
al-Hadis” disebutkan bahwa di Mesir ada sekitar 24 Ma’had al-Qira’at antara
lain Kulliyyatul Qur’an di Thantha Kairo Mesir. Ma’had al-Qira’at di Dasuq Mesir. Ma’had al-Qira’at di Khazandarah
(Ibtisamah) Syubra Kairo Mesir dan lain –lainnya.
4.Kulliyyatul Qur’an di Yaman.
5.Program Studi Ulum al-Qur’an
di Jami’ah Ummil Qura.
6.Institul Ilmu al-Qur’an (IIQ)
di Jakarta yang berdiri pada tahun 1977. Institut PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu
Al-Qur’an) di jakarta yang berdiri pada tahun 1971. UNSIQ (Universitas Sains
Ilmu Al-Qur’an) di Wonosobo Jawa Tengah. STAIPIQ di Padang Sumatra Barat. PIQ
(Pesantren Ilmu Al-Qur’an) di Malang Jawa Timur, Dan lain lainnya.
Disamping itu banyak kalangan
yang mengajarkan Ilmu Qira’at secara
privat di masjid-masjid, seperti di
Syria, Turki dan lain lainnya.
Kedua : banyaknya Makhthuthat
tentang Ilmu Qira’at yang ditahqiq oleh mahasiswa program Magister maupun
Doktor di Institusi pendidikan tinggi di Saudi atau di Mesir dan lain lainnya. Hampir semua kitab yang dijadikan
rujukan oleh Imam Ibn al-jazari yang masih berupa “makhththat” kini telah di
cetak. Begitu juga kitab-kitab yang berkaitan dengan qira’at, seperti kitab
–kitab al-Hujjah fil qira’at karya Ibn Khalawaih, Ibn Zanjalah, Abu ‘Ali
al-Farisi dan lain lainnya.
Ketiga : banyaknya kitab –kitab
yang ditulis untuk mengkaji Ilmu Qira’at dalam berbagai aspeknya, seperti yang
di tulis oleh Abdushabur Syahin dalam kitabnya : Ilmul Qira’at fi Dlau’ Ilm
al-Lughah al-Hadits. Abduh ar-Rajhi menyusun kitab “al-Qira’at wa al-Lahajat. Dan lain
lainnya.
Keempat : banyaknya rekaman kaset yang merekam bacaan
qira’at sab’ah dan ‘asyrah seperti yang di lakukan oleh mujamma’ malik Fahd di
madinah Saudi yang merekan riwayat Hafsh, Qalun, Warsy dan ad-Duri. Syekh Mu’ashrawi ketua Lajnah Mura’ah
al-Mashahif di Al-Azhar Mesir, Syekh Rasyid dan lain sebagainya.
Dari pemaparan diatas bisa kita katakan bahwa generasi masa
kini terutama komunitas ahli qira’at merasa perlu mempelajari Ilmu Qira’at
sebagai rasa tanggung jawab mereka untuk terus menjaga kemurnian al-Qur’an baik
dari segi bacaannya dengan ragam bacaan yang mutawatir, atau tulisannya atau
isinya. Kaum muslimin perlu merasa bangga bahwa mereka masih mempunyai satu
kitab suci yang menjadi pegangan hidup mereka. Barometer kebaikan, keadilan,
kebenaran dari tindakan manusia ada di dalam al-Qur’an. Mas’alahnya sekarang
bukan pada al-Qur’annya tapi pada mereka yang menawarkan dan mensosialisasikan
al-Qur’an kepada masyarakat. Jika pembawa al-Qur’an bisa mencerminkan nilai
yang ada di dalam al-Qur’an, bisa mengemas isi kandungan al-Qur’an dengan baik
dan sesuai dengan dinamika masyarakat modern, dengan tanpa mengorbankan
nilai-nilainya yang abadi, maka diharapkan
bahwa al-Qur’an kembali bersinar dan memancarkan cahayanya di tengah –tengah
masyarakat.
BAGIAN KEDUA : TARANNUM.
Pengertian : Tarannum sebagaimana dikatakan oleh Ibn
Faris ialah : melagukan suaranya.
(رنم) الراء والنون والميم أُصَيلٌ صحيح في الأصوات. يقال ترنَّمَ، إذا
رجَّع صوتَه. )معجم مقاييس اللغة لابن فارس –(
(2 / 445)
Artinya : akar kata yang terdiri dari huruf
(Ra’-Nun-Mim) merupakan akar kata yang asli, digunakan untuk melagukan suara.
Istilah lain yang disamping istilah Tarannum yang
digunakan untuk melagukan adalah :
1.at-Taghanni dari “al-Ghina’yaitu lagu yang bisa
menyenangkan hati atau membikin hati riang gembira. Abul ‘Abbas sebagaimana
yang dikutip oleh Labib Sa’id dalam kitabnya “at-Taghanni bil Qur’an”
mengatakan bahwa lagu (ghina’) dikatan demikian, karena orang yang
mendengarkannya merasa cukup (yastaghni) dengannya dari banyak perkataan.
وقال أبو العباس: ويقال إن الغناء إنما
سمى غناء، لأنه يستغنى به صاحبه عن كثير من الأحاديث، ويفر إليه منها، ويؤثره
عليها ) التغني بالقرآن (- (1 / 6)
Dalam
melagukan sesuatu, seorang harus mengetahui situasi dan kondisinya. Dalam
situasi perang, lagu yang cocok adalah lagu yang menggelorakan semangat juang. Pada saat adanya kematian seseorang,
atau ingat kepada kampung halaman lagu yang cocok adalah yang sendu. Pada saat
riang gembira, lagu yang cocok adalah yang lagu yang mempunyai nada riang dan
seterusnya.
2.at-Talhin atau al-Lahn. Labib Sa’id dalam kitabnya diatas
mengutip pendapat Sajaqli Zadah mengatakan:
وقال ساجقلى زاده: وبالحملة، ان اللحن
يجئ بمعنين: (أحدهما) الخطأ في القراءات (والآخر) الصوت الحسن المطرب )التغني
بالقرآن - (1 / 7)
bahwa ungkapan “al-Lahn” digunakan untuk dua
pengertian : pertama : kesalahan dalam membaca (al-Khatha’ fi al-Qira’at).
Kedua : suara yang bagus, merdu yang menyenangkan, menghibur (ash-Shaut
al-Hasan al-Muthrib ) (Lihat. At-Taghanni bil Qur’an, dalam al-Maktabah
asy-Syamilah).
3.at-Tarji’ atau melagukan sesuatu. Dikatakan demikian karena seorang yang sedang melagu dia
akan mebolak balikkan dan melenggak lenggokkan suaranya. Ibn faris berkata : ترنم اذا رجع صوته dia
bersenandung ketika melenggang lenggokkan suaranya. (Lih. Mu’jam Maqayis, pada
kosa kata : R-N-M) .
4.at-Tathrib dari ath-Tharb yaitu bersenandung.
Kegembiraan. Senang. Ibn Faris dalam
“Mu’jam Maqayis” mengatakan bahwa akar kata yang terdiri dari : Tha’-Ra’-Ba’
mempunyai arti : خِفّة تُصيب الرَّجُلَ من شدةِ سرور أو غيره perasaan riang gembira pada seseorang .
akar kata tersebut juga berarti وطرَّب في صوته، إذا مدَّه memanjangkan suara. Alat musik
disebut juga dengan Alat ath-Tharb karena bisa menggembirakan dan menyenangkan.
Melagukan Bacaan al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang bahasanya sangat
Indah. Tidak ada seorangpun yang mampu mendatangkan semisal Al-Qur’an. Jika
keindahan bahasa dibacakan oleh seseorang yang mempunyai suara yang indah
dengan selalu memerhatikan hukum-hukum ilmu Tajwid akan memberikan pengaruh
yang demikian mendalam bagi para pendengarnya. Namun dalam menanggapi persoalan
ini yaitu melagukan bacaan al-Qur’an, para ulama sebagaimana dikemukakan oleh
Syekh ‘Ali as-Shabuni dalam kitabnya “Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam”,
terbagi menjadi dua pendapat.
Pertama: mereka yang menolak dan tidak setuju
melagukan bacaan Al-Qur’an. Inilah pendapat ulama dari Madzhab Maliki dan
Hambali. Pendapat ini dipegangi oleh Sahabat Anas bin Malik, Sa’id bin
al-Mausayyab, Sa’id bin Jubair, al-asim bin Muhammad, al-Hasan al-Bashri dan
Ibrahim an-Nakh’i dan lain lainnya.
Kedua : mereka yang setuju melagukan bacaan
Al-Qur’an yaitu ulama dari madhab Syafi’i dan Hanafi. Pendapat ini dipegangi
oleh Umar bin al-Khaththab, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdurrahman bin al-Aswad
bin Zaid, Abu Ja’far ath-Thabari, Abu bakar bin al-‘Arabi dan lain lainnya.
Berikut ini alasan masing-masing.
Mereka yang tidak setuju memberikan beberapa alasan
antara lain:
Pertama : hadis nabi :
حديث : « أقرءوا القرآن بلحون العرب
وأصواتهم ، وإيّاكم ولحونَ أهل الكتاب والفسق ، فإنه يجيءُ من بعدي أقوام يرجّعُون
بالقرآن ترجّع الغناء والنوح ، لا يجاوز حناجرهُمْ ، مفتونةٌ قلوبُهم وقلوبُ الذين
يعجبهم شأنُهم »
Artinya : bacalah al-Qur’an dengan
“lahn” (bacaan, langgam) orang arab dan suara mereka. Jauhilah olehmu (melagukan
al-Qur’an) dengan lagunya ahli kitab dan orang fasik. Akan datang setelahku
orang-orang yang akan melagukan al-Qur’an sebagaimana penyanyi berlagu, berdendang dan berteriak teriak. Bacaan
mereka hanya terhenti di tenggorokan mereka. Hati mereka terkena fitnah begitu
juga hati orang yang memuji mereka.
Dari hadis ini disebutkan bagaimana
nabi memberikan peringatan terhadap mereka yang melagukan bacaan al-Qur’an
seperti penyanyi.
Kedua : nabi pernah berkata
mengomentari mereka yang membaca al-Qur’an dengan berlagu :
حديث : « يتخذون القرآن مزامير ، يقدّمون
أحدهم ليس بأقرئهم ولا أفضلهم ليغنّيَهم غناءً » .
Artinya : mereka (pembaca al-Qur’an)
menjadikan al-Qur’an seperti seruling. Mereka mengajukan (sebagai Imam salat)
orang yang bukan ahli membaca al-Qur’an dan
bukan orang yang terpilih, dia melagukan al-Qur’an seperti bernyanyi.
Ketiga : diriwayatkan ada seorang
sahabat yang melakukan azan (bang) dengan berlagu, lalu nabi menegurnya dengan mengatakan
:
حديث : « إنّ الأذانَ سهلٌ سمحٌ ، فإن كان
أذانُك سهلاً سمحاً وإلاَّ فلا تؤذّن »
Artinya : azan itu mudah, gampang.
Jika azanmu itu mudah dan gampang, lakukanlah, jika tidak, jangan kau lakukan.
Keempat : Ketika orang berlagu
ketika membaca al-Qur’an, bisa jadi dia akan melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kaedah ilmu tajwid seperti memanjangkan bacaan yang
semestinya pendek, melunakkan hamzah yang semestinya dibaca keras, membaca satu
huruf dengan beberapa huruf. Hal ini jelas tidak boleh terjadi.
Kelima : dengan melagukan bacaan
bisa jadi unsur “tadabbur” atau menghayati arti kandungan al-Qur’an menjadi
hilang karena pembaca akan banyak konsentrasi pada lagu.
Keenam : Imam Malik pernah ditanya
tentang hukumnya orang yang melagukan bacaan al-Qur’an diwaktu salat, beliau
menjawab : aku tidak menyukainya dan berkata :
إنما هو غناء يتغنّون به ليأخذوا عليه
الدراهم
Artinya : itulah nyanyian, mereka bernyanyi yang tujuannya mencari uang.
Ketujuh : Imam Ahmad ditanya tentang melagukan
bacaan al-Qur’an. Beliau menjawab : itu adalah bid’ah, tidak boleh didengarkan.
Kedelapan: Ibn Khaldun salah satu penganut madzhab
maliki berkata :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 243)
وقد أنكر مالك رحمه الله تعالى القراءة بالتلحين، وأجازها
الشافعي رضي الله تعالى عنه. وليس المراد تلحين الموسيقى الصناعي، فإنه لا ينبغي
أن يختلف في حظره، إذ صناعة الغناء مباينة للقرآن بكل وجه، لأن القراءة والأداء
تحتاج إلى مقدار من الصوت لتعيين أداء الحروف من حيث إتباع الحركات في مواضعها،
ومقدار المد عند من يطلقة أو يقصره، وأمثال ذلك. والتلحين أيضاً يتعين له مقدار من
الصوت لا يتم إلا به من أجل التناسب الذي قلناه في حقيقة التلحين. فاعتبار أحدهما
قد يخل بالأخر إذا تعارضا. وتقديم التلاوة متعين فراراً من تغيير الرواية المنقولة
في القرآن، فلا يمكن اجتماع التلحين والأداء المعتبر في القرآن بوجه. وإنما المراد
عن اختلافهم التلحين البسيط الذي يهتدي إليه صاحب المضمار بطبعه كما قدمناه، فيردد
أصواته ترديداً على نسب يدركها العالم بالغناء وغيره، ولا ينبغبي ذلك بوجه كما
قاله مالك. هذا هو محل الخلاف. والظاهر تنزية القرآن عن هذا كله كما ذهب إليه
الإمام رحمه الله تعالى، لأن القرآن هو محل خشوع بذكر الموت وما بعده وليس مقام
التذاذ بإدراك الحسن من الأصوات. وهكذا كانت قراءة الصحابة رضي الله عنهم كما في
أخبارهم.
Secara jelas Ibn Khaldun mengatakan bahwa Imam Malik
tidak setuju membaca al-Qur’an dengan “Talhin” atau tarannum. Sementara Imam
Syafi’i membolehkannya. Karena –alasan Ibn Khaldun- antara tilawah dan talhin
mempunyai karakter yang berbeda. Tilawah mengharuskan seseorang membacakan
huruf-huruf dan kalimat kalimat al-Qur’an sesuai dengan alur periwayatan,
sementara dalam “talhin”seorang juga harus menjaga notasi musiknya, sehingga
jika di praktikkan pada tilawah akan mengakibatkan distorsi pada tilawah.
Inilah yang membahayakan. Tilawah mengharuskan seseorang untuk membaca dengan
khusyu’, sementara talhin lebih mengutamakan nada dan not lagu. Betapapun demikian Ibn Khaldun masih
membolehkan membaca al-Qur’an dengan “at- Talhin al-Basith” atau talhin yang
sederhana yang tidak merobah hukum tajwid.(Ibid).
Dalil Madzhab Kedua :
Pertama : hadis nabi :
( من لم يتغنّ بالقرآن فليس منا)
(رواه أبو داود بإسناد جيد(
Artinya : barang siapa yang tidak
melagukan al-Qur’an, dia bukan dari golonganku (tidak mengikuti perilakuku).
Para ulama banyak mengartikan kata
“yataghanna” dengan membaguskan bacaan.
Ibn Jarir ath-Thabari berkata :
التغني بالقرآن - (1 / 23)
والمعروف في كلام العرب أن التغني إنما هو الغناء الذى هو حسن
الصوت بالترجيع.
Artinya : yang masyhur pada perkataan orang arab,
ungkapan “Taghanni” ialah melagukan, dengan membaguskan bacaan dengan berlagu.
Imam al-Khaththabi memberikan
latar belakang akan munculnya hadis tersebut. Dia berkata :
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري -
الغنيمان - (2 / 460)
وقال الخطابي: (( إن العرب كانت تولع
بالغناء والنشيد في أكثر أحوالها، فلما نزل القرآن أحب أن يكون هجيراهم مكان
الغناء، فقال: ليس منا من لم يتغن بالقرآن )) (4).
Artinya : orang arab sangat gandrung dengan nyanyian
pada banyak kesempatan. Pada saat al-Qur’an
turun, nabi menginginkan agar kebiasaan itu digantikan dengan melagukan bacaan
al-Qur’an. Nabi berkata : barangsiapa yang tidak melagukan bacaan al-Qur’an,
maka dia bukan termasuk dalam kelompokku.
Kedua : nabi pernah berkata :
زاد المعاد - (1 / 466)
مَا أَذِنَ اللّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيّ حَسَنِ الصّوْتِ
يَتَغَنّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
Artinya : Allah tidak antusias mendengarkan sesuatu
sebagaimana antusiasNya mendengarkan seorang nabi yang mempunyai suara yang
bagus, melagukan al-Qur’an, memperdengarkan bacaannya.
Ketiga : hadis nabi :
فتح الباري - ابن حجر - (9 / 69)
)الله أشد أذنا إلى الرجل الحسن الصوت بالقرآن من صاحب القينة إلى
قينته (رواه أحمد وبن ماجة والحاكم وصححه من حديث فضالة بن عبيد
Artinya : Allah sangat senang mendengarkan bacaan
seorang yang mempunyai suara yang bagus dalam membaca al-Qur’an dari pada
kesenangan seorang yang mempunyai budak mendengarkan budaknya bernyanyi.
Keempat : ketika nabi
pulang dari perjanjian Hudaibiyah nabi pernah membaca surah “al-Fath” dengan
melagukannya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
قال الإمام أحمد (1) حدثنا وَكِيع،
حدثنا شُعْبَة، عن معاوية بن قرة قال: سمعت عبد الله بن مغفل يقول: قرأ رسول الله صلى
الله عليه وسلم عام الفتح في مسيره سورة الفتح على راحلته فرجَّع فيها -قال
معاوية: لولا أني أكره أن يجتمع الناس علينا لحكيت لكم قراءته، أخرجاه من حديث
شعبة به (2)) تفسير ابن كثير - (7 / 325)
Artinya : nabi membaca surah al-Fath diatas untanya
dalam perjalanan, nabi membacanya dengan melagukannya. Mu’awiyah berkata : jika
saja aku tidak senang melihat orang menegerumuniku, aku akan menirukan
bacaannya .
Kelima : nabi berkata :
وروى الحاكم وغيره «حسنوا القرآن
بأصواتكم فإن الصوت الحسن يزيد القرآن حسناً»
Artinya : indahkanlah al-Qur’an dengan
suaramu, karena suara yang bagus menjadikan al-Qur’an lebih indah.
Keenam : hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan
lainnya :
وروى عبد الرزاق وغيره «لكل شيء حلية
وحلية القرآن الصوت الحسن، قالوا فإن لم يكن حسن الصوت؟ قال حسنه ما استطاع». دليل
الفالحين لطرق رياض الصالحين - (6 / 322)
Artinya : setiap sesuatu ada
hiasannya, hiasan al-Qur’an adalah suara yang bagus (indah). Sahabat bertanya :
jika suaranya tidak bagus ? nabi menjawab : diusahakan bagus semampunya.
Ketujuh : Ibn Jarir meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطّابِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ أَنّهُ كَانَ
يَقُولُ لِأَبِي مُوسَى : ذَكّرْنَا رَبّنَا فَيَقْرَأُ أَبُو مُوسَى
وَيَتَلَاحَنُ وَقَالَ مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَتَغَنّى بِالْقُرْآنِ غِنَاءَ أَبِي
مُوسَى فَلْيَفْعَل
زاد المعاد - (1 / 466)
Artinya : Umar berkata kepada Abu Musa al-Asy’ari :
ingatkanlah diriku akan Allah. Abu Musa lalu membaca al-Qur’an dan
melagukannya. Umar berkata : barangsiapa ingin membaca al-Qur’an dengan berlagu
sebagaimana Abu Musa lakukan , maka lakukanlah.
Kedelapan: diriwayatkan
bahwa sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir terkenal sebagai sahabat yang mempunyai suara
yang bagus dalam membaca al-Qur’an. Umar bin al-Khaththab pernah menyuruhnya
membaca satu surah dari al-Qur’an. Lalu ‘Uqbah membaca al-Qur’an. Umar kemudian
menangis dan berkata :
وَقَالَ مَا كُنْتُ أَظُنّ أَنّهَا نَزَلَتْ )زاد المعاد - (1 / 466)
Artinya : aku tidak menyangka bahwa surah ini turun.
Kesembilan : Ibn Qayyim berkata dalam memberikan
argumentasi terhadap mereka yang mendukung :
زاد المعاد - (1 / 470)
وَلِأَنّ تَزْيِينَهُ وَتَحْسِينَ الصّوْتِ بِهِ وَالتّطْرِيبَ
بِقِرَاءَتِهِ أَوْقَعُ فِي النّفُوسِ وَأَدْعَى إلَى الِاسْتِمَاعِ
وَالْإِصْغَاءِ إلَيْهِ فَفِيهِ تَنْفِيذٌ لِلَفْظِهِ إلَى الْأَسْمَاعِ
وَمَعَانِيهِ إلَى الْقُلُوبِ وَذَلِكَ عَوْنٌ عَلَى الْمَقْصُودِ وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ
الْحَلَاوَةِ الّتِي تُجْعَلُ فِي الدّوَاءِ لِتُنْفِذَهُ إلَى مَوْضِعِ الدّاءِ
وَبِمَنْزِلَةِ الْأَفَاوِيهِ وَالطّيبِ الّذِي يُجْعَلُ فِي الطّعَامِ لِتَكُونَ
الطّبِيعَةُ أَدْعَى لَهُ قَبُولًا وَبِمَنْزِلَةِ الطّيبِ وَالتّحَلّي وَتَجَمّلِ
الْمَرْأَةِ لِبَعْلِهَا لِيَكُونَ أَدْعَى إلَى مَقَاصِدِ النّكَاحِ . قَالُوا :
وَلَا بُدّ لِلنّفْسِ مِنْ طَرَبٍ وَاشْتِيَاقٍ إلَى الْغِنَاءِ فَعَوّضَتْ عَنْ
طَرَبِ الْغِنَاءِ بِطَرَبِ الْقُرْآنِ كَمَا عَوّضَتْ عَنْ كُلّ مُحَرّمٍ
وَمَكْرُوهٍ بِمَا هُوَ خَيْرٌ لَهَا مِنْهُ وَكَمَا عَوّضَتْ عَنْ
الِاسْتِقْسَامِ بِالْأَزْلَامِ بِالِاسْتِخَارَةِ الّتِي هِيَ مَحْضُ التّوْحِيدِ
وَالتّوَكّلِ وَعَنْ السّفَاحِ بِالنّكَاحِ وَعَنْ الْقِمَارِ بِالْمُرَاهَنَةِ
بِالنّصَالِ وَسِبَاقِ الْخَيْلِ وَعَنْ السّمَاعِ الشّيْطَانِيّ بِالسّمَاعِ
الرّحْمَانِيّ الْقُرْآنِيّ وَنَظَائِرُهُ كَثِيرَةٌ جِ
Artinya (terjemahan bebas) : melagukan bacaan
al-Qur’an akan lebih membekas di dalam hati pendengarnya. Hal tersebut bisa
mengantarkan pada maksud tujuan dari al-Qur’an. Melagukan bacaan al-Qur’an bisa
disamakan dengan “halawah” (pemanis) pada jamu agar bisa sampai ke tempat
penyakit, atau penyedap satu makanan agar bisa digandrungi. Perempuan juga perlu dihiasi agar bisa lebih
disenangi oleh suaminya. Jiwa manusia juga menyenangi keindahan. Kesenangan
mendengarkan nyanyian bisa tergantikan dengan bacaan al-Qur’an yang merdu.
Begitu juga dengan hal-hal yang haram, islam menggantikannya dengan hal-hal
yang halal, seperti mengundi nasib digantikan dengan salat istikharah dan
tawakkal, perjudian dengan musabaqah, perzinahan dengan nikah dan lain
sebagainya.
Tarjih :
Dari dua pedapat yang dikemukakan
diatas dan dalil –dalil yang dikemukakannya, maka pendapat kedua kelihatannya
lebih rajih dari pada yang pertama, mengingat kuatnya dalilnya dengan catatan bahwa
membaca al-Qur’an dengan lagu (tarannum) tidak sampai mengorbankan unsur
tajwid. Unsur tajwid harus dikedepankan karena itu merupakan suatu kewajiban
(dlaruriyyat), sementara melagukan bacaan adalah bersifat “kamaliyat”atau
kesempurnaan bacaan saja.
SENI MEMBACA AL-QUR’AN.
Apa
yang dikemukakan diatas tentang kebolehan membaca al-Qur’an dengan tarannum
pada masa nabi, sahabat dan tabi’in adalah tarannum dalam konteks masa tersebut
yaitu melagukan bacaan sesuai dengan karakter suara pembaca. Pada saat ini
lagu-lagu dalam hal pembacaan al-Qur’an telah mengalami perkembangan yang
demikian pesat. Pada saat ini para qari’/qari’ah ketika membaca al-Qur’an
memilih beberapa lagu seperti : Bayyati, Husaini, Shaba, Hijaz, Rast, Sikah, Jiharkah,
Nahawand. Maqamat tersebut kemudian
terbagi lagi menjadi beberapa tangga (salalim) ada salalil an-Nuzul (rendah)
dan Salalim Shu’ud (naik) , seperti : awal maqam, jawab dan jawab al
jawab. Pada lagu Shaba terdapat beberapa
tangga seperti : ‘Asyiran, ‘Ajam dan Isti’arah. Pada maqam Hijaz ada Hijaz Kaar
dan Hijaz Kaar-Kuurd.
Berikut ini tabel untuk mengetahui maqam-maqam
tarannum dengan merujuk kepada qashidah :
أملاه : الحاجة مارية ألفة عند زياتنا لمصرللالتقاء بشيخ الهلباوى عام 2009
القصائد الشعرية لمعرفة المقامات
|
أسماء المقامات
|
الرقم
|
صلوا على من به الهدى
بدأت ببسم الله فى النظم أولا تبارك رحمانا رحيما وموئلا
|
بياتى : قرار :
نوى :
|
1
|
وثنيت صلى الله ربى على الرضا محمد المهدى الى الناس مرسلا
|
شورى : نوى
|
|
وعترته ثم الصحابة ثم
من تلاهم على الاحسان بالخير وبلا
وثلثت أن الحمد
لله دائما وماليس مبدوءا به
أجذم العـــلا
وبعد فجبل الله
فينا كتابه وجاهد به حبل العدا متحبــــــــــلا
|
حسينى
جواب الجواب :
شورى / جواب الجواب :
|
2
|
وان كتاب الله
أوثق شافع وأغنى غناء واهبا
متفضـــــــــلا
|
صبا : أول المقام :
|
3
|
وخير جليس لا يمل
حديثه وترداده يزداد فيه
تجمــــــــــــــلا
|
عشيران :
|
|
وحيث الفتى يرتاع فى ظلماته
من القبر يلقاه سنا متهلـــــــــــلا
|
عجم :
|
|
هنالك يهنيه مقيلا وروضة
ومن أجله /فى ذروى العز يجتلا/
(بوستانيكار/ بستانجار)
|
استعارة
|
|
ولدار هجرته دعاه
ربه فأجاب دعوته وسار
مؤيـــــــــــــــدا
|
حجاز / أول المقام :
|
4
|
ووقاه مولاه بكل عنايـــــة
وأباد كل معاند قد
ألحـــــــــــــدا
|
حجاز كار :
|
|
سرت به الأنصار
عند قدومه فأسرت أـحبابا وأكمد حسدا
|
حجاز كار كور :
|
|
الليل من حولى
هدوء قاتل والذكريات تمور فى وجدانـــى
ويهدنى ألمى فأنشد
راحتى فى بضع أيات
من القـــــــرآن
|
نهاوند : / أصلى :
|
5
|
والنفس بين جوانحى
شفافة دب الخشوع بها
فهز كيانــــى
قد عشت أومن بالاله
ولم أذق الا أخيرا لذة
الايمـــــــــــــــــا ن
لذة الايمان .
بيمناك بجر عتى البيــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــان
فهلل وبشر بدين الاله
نبى الهدى أنت نبع
الضيــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاء
نبى الهدى أنت سيف
السمــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاء
محمد يا فرحة العالمين
محمد يا كوكب الحائريـــــــــن
أشرق فانا غدونـــــــــا
........... سكارى
وصلين ربنا
وسلمن على محمـــــــــــــــــد
جـــــــــــــــــــا ءنا مبشرا بالعلا
وتابعيهم أولى النهى
الكرماء
|
جواب الجواب :
جواب
قفلة مهور
نكريس
عشـــــــــــــــــــاق
|
|
أشرق النور فى
العوالم لما بشرتها بأحمد
الأنبـــــاء
باليتيم الأمى
والبشـــــــر الموحى اليه
قوة الله ان تولت
ضعيــــــفا بقيت فيه من رأســـه
الأقوياء
أشرف المرسليـــــــــــــــــن
أياته النطق مبينــــــــــــــــا وفوقه
الفصحـــــــــــــــــــــــاء
جاء للناس والســــــــــرائر فوضى لم يؤلف شتاتهــــن لواء
|
عشـــــــــــــق – رست
رست - نوى
رست على النوى
شبير
زنجـــــــــــــــــران
ألوان
|
|
الله زاد محمــــــــــــــــــــدا تعظيما وحباه فضلا من لدنه عليما
واختصه فى المرسلين كليـــــــما ذا رأفة بالمؤمنين رحيــــــما
|
جهاركاه
|
6
|
يامن يرجى فى
القيامــــــــــة حيث لا أم ترجى فى
النجاة ولا أب
يافارج الكرب العظــــــــــام وواهب المنن
الجســـــــــــــــــــــــــام
اليك منـــــــــــــــــــــــــك المأرب اليك منـــــــــــــــــــــــك المأرب
مولاى كتبت رحمة
الناس عليك فضلا وكرم
فالمرجع والمأل والكـــــــــــــــــل اليك عرب وعجــــــــــــــــــم
فارحم ذلى ووقفتى بين
يديــــــــك أن زل قدم -----
قــــــــادم
|
سيكاه أصلى
سيكاه جواب
سيكاه رمل
سيكاه عراقى
قفلة ميزان
|
7
|
Pertanyaannya adalah apakah pada
masa nabi para pembaca Al-Qur’an sudah menggunakan kaedah-kaedah dalam maqamat
tersebut ? jawabannya : tidak. Mereka hanya
mengandalkan kepada intuisi dan perasaan masing-masing saja. Walaupun demikian
jika bacaan mereka di timbang dengan “maqamat” yang ada maka bisa diketahui
maqam apa yang mereka praktekkan.
Perbedaan
yang paling mendasar antara masa nabi dan masa sekarang dalam seni membaca
al-Qur’an adalah bahwa membaca al-Qur’an dengan lagu-lagu pada masa lalu dilakukan tanpa menggunakan urutan maqamat
dengan berbagai tangga lagu. Tapi meluncur begitu saja
tanpa ada unsur “tashannu’” atau dibuat buat. Jadi kelihatan bersahaja dan
orsinil. Tidak demikian dengan masa sekarang, dimana seorang qari’ akan
menggunakan berbagai maqamat dengan salalimnya.
Seorang
qari’/qari’ah yang mahir adalah seorang yang mempunyai kapasitas berikut ini :
Pertama : mampu membaca
al-Qur’an sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu tajwid dengan peringkat fashahah
yang tinggi. Jangan sampai mengorbankan tajwid untuk lagu dan tarannum. Seperti
tidak boleh memanjangkan mad thabi’I melebihi dari semestinya, begitu juga
dengan bacaan ghunnah,hanya untuk kepentingan qari’/qari’ah dalam melagukan
satu bacaan. Kaedah bacaan Al-Qur’an harus diikuti, bukan sebaliknya, Al-Qur’an
mengikuti tarannum, seperti kata pepatah :
(القرآن يخدم ولا يخدم )
Artinya : Al-Qur’an itu harus di khidmah oleh
pembacanya, bukan mengkhidmah kepada
pembacanya.
Kedua : meramu berbagai
macam maqamat beserta salalimnya dengan serasi, jangan sampai terjadi apa yang
disebut “fals” atau “nasyaz” .
Ketiga : menggunakan
maqamat yang sesuai dengan isi kandungan ayat suci al-Qur’an. Jika isinya
tentang neraka dan jenis siksaannya, maka maqam yang digunakan adalah maqam
yang sendu dan sedih. Jika tentang sorga dan kenikmatan yang ada di dalamnya,
maqam yang digunakan adalah maqam yang riang gembira, bukan sebaliknya. Dengan
demikian, pendengar akan terhanyut oleh pembaca Al-Qur’an. Apa yang dilakukan
oleh Syekh Muhammad Rif’at (1882-1950) yang dijuluki sebagai “Shahib ash-Shaut
adz-Dzahabi”(suara emas) atau “Shaut
al-Malaikah”(suara malaikat) atau “The Greatest Reciter” betul-betul
mencerminkan seorang qari’ yang profesional, yang mampu menggugah pendengarnya
dengan alunan suaranya. Kita bisa mendengarkan Syekh Rif’at membaca surah
Yusuf, bagaimana dramatika kehidupan nabi Yusuf, dari mulai kecil, pada saat
dimasukkan ke dalam perigi, kisah cintanya isteri pembesar Mesir (Zulaikha’)
kepadanya, sampai menjadi pembesar Mesir, sampai pertemuannya kembali dengan
ayahnya dan saudara-saudaranya. Semuanya dikemas dwengan sangat indah dan
mengharukan. Begitu juga pada saat
membaca surah Thaha yang bercerita tentang pertarungan antara nabi Musa dan Fir’aun
yang berlangsung secara menegangkan. Begitu juga saat membaca surah Maryam yang
bercerita tentang kisah kehidupan siti Maryam dan nabi Isa yang memilukan. Hal
serupa dilakukan juga oleh Syekh Abul ‘Ainain Syu’aisya’, Mushthafa Isma’il,
Ahmad Nu’aina’ dan Qari’-qari besar lainnya. Jika mereka membaca al-Qur’an seakan mereka
sedang menyuguhkan sebuah drama kehidupan yang sangat indah dan menawan. Inilah
unsur da’wah yang sangat efektif yang perlu diperhatikan.
Keempat : seorang
qari’/qari’ah yang mahir adalah mereka yang membaca dengan ikhlas, khusyu’,
menghayati arti ayat yang dia baca,
mampu menghadirkan nilai-nilai samawi dalam bacaannya.
Kelima : seorang qari’/qari’ah
yang mahir juga adalah seorang yang mampu mengkolaborasikan satu kelompok ayat
dengan kelompok ayat lainnya yang sesuai
dengan situasi dan kondisi dimana dia membaca. Antara satu surah atau satu
kelompok ayat dan surah atau kelompok ayat yang dibaca berikutnya mempunyai
hubungan yang erat. Sebagai contoh : dalam situasi “tahadduts bin ni’mah” karena
keberhasilan terhadap sesuatu yang dicita-citakan seperti lulus sekolah dan
sebagainya, bacaan alam nasyrah, al-Kautsar, an-Nashr, surah Ibrahim ayat 6 dan
seterusnya, Ibrahim ayat 31-34 dirasa
tepat.
Keenam : dia juga di
tuntut untuk pandai memilih waqaf dan ibtida’nya. Menghentikan bacaan bukan pada tempat waqaf,
atau memulai (ibtida’) setelah waqaf
yang tidak pas akan membuyarkan keindahan satu bacaan.
Ketujuh : pembaca
al-Qur’an yang baik adalah mereka yang tahu kaedah bacaan pada riwayat yang dia
gunakan, apakah riwayat Hafsh dari ‘Ashim, atau Qalun dari Nafi’, riwayat Duri
Abi ‘Amr dari Abu ‘Amr al-Bashri dan
lain sebagainya. Ketidak tahuan terhadap kaedah umum setiap rawi akan
menyebabkan “talfiq” atau percampuran dalam qira’ah. Hal ini bagi
ahli qira’at adalah sesuatu yang terlarang.
Pada saat sekarang lagu-lagu sudah menjadi bagian dari satu
disiplin ilmu yang bisa di pelajari melalui satu metode. Metode tersebut seperti dengan mengingat ingat satu qashidah
syi’riyyah. Sebuah maqam tertentu seperti maqam Bayyati dikaitkan dengan satu
qashidah, sehingga bagi seorang yang akan memabaca ayat dengan maqam bayyati,
dia tinggal mengingat qashidah tersebut. Begitu juga dengan maqam ghina’
lainnya.
Harus diakui bahwa maqamat
al-ghina al-‘arabi adalah bagian dari ilmu musik. Sedangkan ilmu musik sendiri
adalah bagian dari filsafat. Dan filsafat adalah hasil dari kerja otak manusia.
Walaupun demikian jika sebuah olah pikir manusia manakala tidak bertentangan
dengan kaedah-kaedah dasar agama bisa ditoleransi.
Dalam kaitannya dengan masuknya
tarannum dalam pembacaan ayat suci al-Qur’an, Musthafa Shadiq ar-Rafi’i
mengemukakan hal ini dalam bukunya : “I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah
an-Nabawiyyah”. Demikian ringkasannya:
Pada masa awal islam pembacaan
al-Qur’an dilakukan dengan bersahaja melalui beberapa cara baca : baik dengan
nada pelan (tahqiq) atau sedang (tadwir) atau sedikit cepat (hadr) semuanya
dilakukan dengan bersahaja, mengalir begitu saja dari seorang pembaca al-Qur’an. Lalu pada abad ke
dua hijriyah seorang yang bernama Ubaidullah bin Bakrah mulai menggunakan
“Lahn” (lagu) dengan nada sedih. Kemudian cucunya Abdullah bin Umar bin
Ubaidillah melanjutkan tradisi kakeknya, diteruskan oleh al-Ibadli, lalu Sa’id
bin al-‘Allaf dan saudaranya. Sa’id inilah yang dikagumi oleh Khalifah Harun
ar-Rasyid karena seni bacanya. Setelah itu datang sedorang bernama
“al-Haytsam”. Aban. Ibn A’yan dan lainnya melanjutkan tradisi membaca Al-Qur’an
dengan tarannum di masjid-masjid atau di beberapa majlis. Tradisi inilah yang
akhirnya terus berlangsung di beberapa negara islam
hingga kini.
Sementara Ibn Khaldun dalam
“Mukadimah”nya menjelaskan persoalan masuknya seni musik kepada kehidupan orang
arab. Dia menjelaskan bahwa pada awalnya orang arab masih tetap dalam
“badawah”nya (keasliannya sebagai bangsa nomaden). Pada saat permulaan islam
seni musik lebih menonjol pada orang non arab (‘ajam) terutama orang Parsi dan
Romawi. Kemudian pada saat kaum muslimin menguasai negeri-negeri yang di kuasai
Persia dan Romawi, terjadilah akulturasi budaya. Seni musik yang sudah banyak digandrungi oleh
orang Parsi dan Romawi, sedikit demi sedikit mulai memasuki arena kehidupan
orang arab. Seni musik-demikian kata Ibn Khaldun- adalah termasuk arena
“kamaliyyat”(kesempurnaan gaya hidup). Yaitu setelah satu masyarakat sudah
melampaui batas-batas kebutuhan primer dan sekunder. Seni musik-kata Ibn
Khaldun lagi- memasuki wilayah kehidupan orang arab melalui “mawali” (budak
atau kelompok masyarakat yang berjanji setia dengan salah satu kabilah arab).
Orang arab yang pada saat itu merasakan hasil perjuanagn para pendahulu, mulai bersahabat
dengan seni musik dari kaum “’ajam”. Tentang hal tersebut Ibn Khaldun berkata :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 244)
فلما جاءهم الترف وغلب عليهم الرفه بما حصل لهم من غنائم الأمم
صاروا إلى نضارة العيش ورقة الحاشية واستحلاء الفراغ. وافترق المغنون من الفرس
والروم فوقعوا إلى الحجاز وصاروا موالي للعرب، وغنوا جميعاً بالعيدان والطنابير
والمعازف والزمامير، وسمع العرب تلحينهم للأصوات ولحنوا عليها أشعارهم.
Artinya : setelah orang arab merasakan kemakmuran
dan kesejahteraan, karena mereka mendapatkan keberuntungan melalui pampasan
perang dari negeri yang mereka taklukkan, keadaan kehidupan mereka mejadi berobah.
Mereka hidup dalam kemewahan. Penyanyi dan seniman dari Parsi dan Romawi mulai
bertebaran sampai masuk ke tanah Hijaz (Mekah dan Madinah). Mereka menjadi
sekutu beberapa Kabilah Arab. Mereka
menyanyikan dengan alat-alat musik seperti biola, tambur, seruling, terompet
dan lain sebagainya. Orang-orang arab mendengarkan alunan suara mereka dan
bagaimana mereka mendendangkan syair-syair.
Ibn Khaldun lalu melanjutkan
bahwa seni musik memasuki wilayah madinah. Disinilah muncul ahli musik di Madinah
semacam : Nasyith al-Farisi, Thuwais, Sa’ib, Ha’ir, maula dari Abdullah bin
Ja’far. Mereka mendengarkan syair-syair orang arab dan mendendangkannya
sehingga mereka dikenal luas dikalangan masyarakat. Lalu muncul generasi ahli
musik dari orang arab sendiri semacam Ma’bad, Ibn Suraij, dan koleganya. Seni
bernyanyi terus berlnjut sampai mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah.
Dari sini muncul nama Ibrahim al-mahdi, Ibrahim al-maushili, Ishak al-maushili
dan anaknya Hammad. (ibid.).
Sementara itu Abul faraj al-Ashbihani
dalam kitabnya “al-Aghani” menjelaskan tentang masuknya unsur “Ghina’
al-Farisi” ke dalam masyarakat arab sebagai berikut :
الأغاني - (3 / 273)
أخبار ابن مسجح ونسبه
سعيد بن مسجح أبو عثمان مولى بني جمح وقيل إنه
مولى بني نوفل بن الحارث بن عبد المطلب مكي أسود مغن متقدم من فحول المغنين
وأكابرهم وأول من صنع الغناء منهم ونقل غناء الفرس إلى غناء العرب ثم رحل إلى
الشأم وأخذ ألحان الروم والبربطية والأسطوخوسية وانقلب إلى فارس فأخذ بها غناء
كثيرا وتعلم الضرب ثم قدم إلى الحجاز وقد أخذ محاسن تلك النغم وألقى منها ما
استقبحه من النبرات والنغم التي هي موجودة في نغم غناء الفرس والروم خارجة عن غناء
العرب وغنى على هذا المذهب فكان أول من أثبت ذلك ولحنه وتبعه الناس بعد
Artinya : Sa’id bin Musajjih seorang “Maula” Bani
Naufal bin al-harits bin Abdul Muththalib, penduduk Mekah, kulitnya hitam,
seorang penyanyi kenamaan, orang pertama penggubah lagu dan orang pertama yang
mentransfer lagu-lagu Parsi kedalam syair-syair arab. Dia melanglang buana ke
Syam, mempelajarai lagu-lagu bangsa Romawi, Barbathi, Asthukhusi, kemudian
balik lagi ke Parsi, mempelajari banyak lagu orang parsi. Dia mempelajari juga
bermain alat musik, lalu kembali ke tanah Hijaz (Mekah-Madinah). Dia ambil
notasi lagu-lagu Parsi dan Romawi yang
baik dan indah dan membuang notasi yang tidak pas. Lalu dia cangkokkan kedalam
“Ghina’ Arabi”. Dialah orang pertama yang melakukan hal ini, lalu diikuti oleh
yang lain.
Pada bagian lain dalam judul
“kepindahan lagu-lagu Persia ke Arab” al-Ashbihani mengatakan bahwa Ibn
Musajjih pernah mendengarkan nyanyian orang parsi pada saat mereka membangun
Ka’bah pada masa Abdullah bin Zubair, lalu dia tertarik . Dia berkata :
الأغاني - (3 / 274)
قال إسحاق وأخبرني ابن الكلبي عن أبي مسكين قال : كان سعيد بن مسجح
أسود مولدا يكنى أبا عيسى مولى لبني جمح فرأى الفرس وهم يعملون الكعبة لابن الزبير
ويتغنون بالفارسية فاشتق غناءه على ذلك
Artinya : Sa’id bin Musajjih adalah
seorang yang berkulit hitam, dijuluki Abu ‘Isa. Seorang “Maula” Bani Jumah. Dia
melihat orang Persia yang sedang membangun Ka’bah pada masa Ibn Zubair
melagukan lagu-lagu Persia. Dia sangat tertarik akan lagu-lagu tersebut.
Pada
bagian lain al-Ashbihani mengatakan :
أخبرني محمد بن خلف بن المرزبان والحسين
بن يحيى قالا حدثنا حماد بن إسحاق عن أبيه عن هشام بن المرية أن أول من غنى هذا
الغناء العربي بمكة ابن مسجح مولى بني مخزوم وذلك أنه مر بالفرس وهم يبنون المسجد
الحرام فسمع غناءهم بالفارسية فقلبه في شعر عربي وهو الذي علم ابن سريج والغريض
وكان ابن مسجح مولدا أسود يكنى بأبي عيسى
Artinya : dari Hisyam bin al-Murriyyah : orang pertama
yang mendendangkan lagu arab ini di Mekah adalah Ibn Musajjih, seorang “maula”
dari Bani Makhzum. Hal itu terjadi karena pada satu saat dia melihat orang
Parsi sedang membangun Masjid al-haram, dia mendengarkan mereka bernyanyi
dengan bahsa Persia, lalu dia praktekkan legu-lagu tersebut kedalam sya’ir
arab. Dialah orang yang mengajarkan Ibn Suraij, al-Ghuraidl.
Apa yang dikatakan oleh Ibn
Khaldun memang benar adanya. Indikasinya adalah bahwa nama –nama maqamat dalam
lagu bernuansa Parsi seperti : Sikah, Jiharkah, Rast, Nahawand, dan lain
sebagainya. Indikator lainnya adalah bahwa tanah Romawi dan Parsi pada saat
islam datang telah mempunyai peradaban yang lebih maju dari tanah Hijaz. Salah
satu bentuk peradaban adalah majunya tingkat kehidupan pada hal yang bersifat Primer (dlaruriyyat), Sekunder
(hajiyyat) dan Kamaliyyat. Musik adalah
masuk dalam persoalan Kamaliyyat. Di tanah arab, mas’alah seni lagu sebenarnya
sudah ada tapi masih dalam koridor yang sedrhana yaitu sebatas nyanyian lokal
untuk bersenandung ketika naik unta dalam perjalanan, tapi pengetahuan mereka
belum sampai kepada satu disiplin ilmu musik.
BAGIAN KETIGA : PERANAN QIRA’AT DAN
TRANNUM DALAM PEMBAHARUAN DA’WAH
Tidak bisa di pungkiri lagi bahwa
islam adalah satu-satunya agama yang di ridlai
Allah. Islam memuat ajaran-ajaran yang bisa memberikan pencerahan kepada
umat manusia, karena al-Qur’an di
turunkan oleh Allah untuk menjadi “hudan” kepada seluruh umat manusia, walaupun
hanya mereka yang bertaqwa saja yang mampu menemukan nilia-nilai hidayah
tersebut. Keberadaan nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman dan keberadaan
al-Qur’an sebagai “hudan linnas” selaras dengan kandungan ajaran islam yang
mencakup segala aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, maupun berbangsa dan
bernegara. Ajaran islam juga meliputi hal dunyawi dan ukhrawi. Islam juga
menyangkut hal yang berkait dengan akidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak. Kaum
muslimin dituntut untuk terus giat menyebarkan agama islam ke seluruh penjuru
dunia sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing dengan metode dan cara
yang bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk mengikuti petunjuk al-Qur’an.
Ada berbagai macam cara berda’wah
kepada orang lain. ada da’wah yang billisan atau dengan ucapan seperti ceramah
atau tabligh, mengaji, dan lain sebagainya. Ada da’wah dengan akhlak yang
mulia. Ada da’wah dengan tindakan yang positif seperti membagikan santunan untuk
fakir miskin, santunan sosial, berderma, melakukan aktifitas sosial seperti
perbaikan sarana umum dan lain sebagainya. Ada juga da’wah melalui sya’ir/satera
sebagaimana yang dilakukan oleh shabat Hassan bin Tsbait penya’ir rasulullah.
Semua itu telah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya. Da’wah yang diharapkan
adalah da’wah dengan penuh hikmah sebagaimana sabda Allah :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ
هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
(125) [النحل : 125]
Artinya : serulah (manusia)
kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baikdan bantalah mereka dengan
jalan yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan Nya dan Dialah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapatkan
petunjuk.
Pada saat ini da’wah melalui al-Qur’an begitu efektif melalui
beberapa hal yaitu :
Pertama : penyebaran al-Qur’an/mushaf, atau mushaf
yang disertai terjemah.
Kedua : penyebaran tafsir-tafsir al-Qur’an.
Ketiga : membaca al-Qur’an dengan seni bacanya. Baik
dengan tartil seperti kebanyakan para murattil yang masyhur dari Mesir, Saudi
Arabia atau Syria, seperti Syekh : Abdul Bari Muhammad, Mahmud Abdul Hakam,
Khalil al-Hushari, al-Minsyawi, Sudais, Syurayyim, Ayyub, al-Akhdlar, Jabir,
al-Ghamidi atau dengan mujawwad seperti kebanyakan para qari’ Mesir, Indonesia,
malaysia, Iran dan lain sebagainya.
Untuk hal terakhir ini kaum
muslimin sepakat bahwa membaca al-Qur’an dengan bacaan yang benar, suara yang
bagus, lagu yang tepat adalah metode yang cukup efektif dalam berda’wah. Suara yang bagus dan merdu adalah sebuah
keindahan dalam hidup. Allah sendiri adalah Zat yang menyenangi keindahan. Nabi bersabda :
أسماء الله الحسنى - (2 / 17)
روي الإمام مسلم من حديث عَبْدِ اللهِ
بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النبي صلى الله عليه وسلم أنه قَال : ( إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الجَمَال )
Artinya : Allah adalah Zat Indah, menyenangi keindahan.
Allah
adalah Zat yang Indah baik ZatNya, SifatNya maupun perilakunya (af’alnya). Alam
yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia semuanya indah. Langit yang
membiru, air laut yang membiru, hijau daun yang menyegarkan pandangan mata,
buah-buahan yang beraneka warna, kiau burung yang merdu, gemerisik tangkai
tangkai pohon yang beradu yang mengeluarkan suara yang menarik dan lain
sebagainya. Dalam al-Qur’an, Allah menggambarkan keindahan sorga dan seisinya,
semuanya serba indah dan menawan. Permainan warna dalam sorga yang dilukiskan
dalam al-Qur’an juga cukup membuat kita penasaran. Pada saat menggambarkan
pakaian ahli sorga Allah menjelaskan bahwa pakaian mereka dari sutera yang
hijau, sebagaimana pada ayat :
عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْر
[الإنسان : 21]
Warna air yang ada pada gelas-gelas ahli sorga adalah
putih yang melezatkan, sebagaimana firman Allah.
يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ
مَعِينٍ (45) بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ (46) [الصافات : 45 ، 46]
Kemudian warna kulit bidadari sorga adalah putih semi
kuningyang demikian menawan, sebagaimana firman Allah :
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ
عِينٌ (48) كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ (49) [الصافات : 48 ، 49]
Kemudian ketika bercerita tentang warna lembu yang
diminta nabi Musa kepada bani Israil adalah kuning langsat yang menawan bagi para pelihatnya,
sebagaimana firman Allah :
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ
لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ
لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ (69)
[البقرة : 69]
Begitu juga ketika Allah bercerita tentang berbagai
macam warna gunung-gunung. Ada yang hitam pekat dan ada gunung yang bergaris
putih dan merah yang beraneka macam warnanya sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا
وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ
سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ
كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ غَفُورٌ (28) [فاطر : 27 ، 28]
Tentang suara
yang bagus, Ibn Katsir meriwayatkan dari az-Zuhri dalam menafsirkan ayat : يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ (fathir : ) yang artinya :
Disamping itu,
pada saat Allah menggambarkan pertamanan sorga, Allah memberikan gambaran yang
sangat imajinatif tentang pertamana sorga. Semuanya indah dan semaunya menawan.
Al-Qur’an
sendiri adalah kitab yang kemukjizatan tersebsarnya adalah terletak pada
sasteranya yang sangat menawan dan penuh keindahan. Tidak ada sorangpun yang sn
ggup mengalahkan bahasa Al-Qur’an.
Ibn Khaldun sendiri berkata bahwa
lagu yang bagus akan bisa memikat mereka yang mendengarkannya, perkara yang
sulit akan menjadi mudah : berkata Ibn Khaldun :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 138)
أن النفس عند سماع النغم والأصوات يدركها الفرح والطرب بلا شك،
فيصيب مزاج الروح نشوة يستسهل بها الصعب، ويستميت في ذلك الوجه الذي هو فيه. وهذا
موجود حتى في الحيوانات العجم، بانفعال الإبل بالحداء، والخيل بالصفير والصريخ كما
علمت. ويزيد ذلك تأثيراً إذا كانت الأصوات متناسبة كما في الغناء.
Artinya : hati
pasti akan merasa riang dan gembira ketika mendengarkan alunan lagu dan suara
yang merdu. Jiwa akan kembali merasa semarak dan tergugah, yang menyebabkan
sesuatu yang sukar menjadi terasa mudah. Seorang akan terdorong untuk melakukan
sesuatu yang dia inginkan dengan kemauan yang keras. Hal ini bisa kita lihat juga pada hewan-hewan.
Seekor unta akan tergugah ketika mendengarkan alunan tembang, begitu juga kuda
akan mengembik karena kegirangan ketika mendengarkan alunan musik yang padu.
Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam “Fath
al-bari” juga mengatakan hal serupa. Ibn hajar berkata :
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري -
الغنيمان - (2 / 278)
قال الحافظ: (( ولا شك أن النفوس تميل
إلى سماع القراءة بالترنم أكثر من ميلها لمن لا يترنم؛ لأن للتطريب تأثيراً في رقة
القلب، وإجراء الدمع. ولا خلاف بين السلف في استحباب تحسين الصوت بالقراءة، وتقديم
حسن الصوت على غيره.
Artinya : Ibn hajar berkata: tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa perasaan manusia
akan lebih tertarik mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang disertai dengan
“tarannum” jika dibandingkan dengan bacaan tanpa tarannum, karena berlagu akan
lebih membekas di dalam hati, bahkan bisa meneteskan air mata. Dan tidak
diperselisihkan diantara ulama salaf bahwa membaca Al-Qur’an dengan suara bagus
adalah sesuatu yang disunnahkan dan mengedepankan orang yang mempunyai suara
yang bagus dari pada yang tidak demikian.
Bisa kita lihat dari bacaan imam
di masjid al-haram Mekah baik pada saat salat fardlu atau salat tarawih yang
ditayangkan secara “Live” di TV Cable. Demikian juga bacaan qari’/qari’ah yang melantunkan suara merdunya
pada radio suara al-Qur’an baik di Mesir, Kuwait, Saudi Arabia dan lain lainnya.
Bahkan radio suara inggris yang dipancarkan ke dunia arab, merasa perlu memutar
kaset bacaan qari-qari’ mesir pada awal siarannya. Mereka yakin bahwa bacaan
al-Qur’an.
Untuk itu langkah-langkah untuk
menjadikan Ilmu Qira’at dan Tarannum bisa digunakan untuk menjadi media da’wah
adalah sebagai berikut :
Pertama : menjadikan bacaan tarannum sebagai metode
cara membaca pada tingkat anak-anak, dimulai pada tingkat Taman Kanak-Kanak.
Tarannum yang diajarkan berupa bacaan tartil dengan satu sampai dua maqam saja
secara simultan, sehingga anak-anak mampu membaca al-Qur’an dengan maqam-maqam
tersebut. Bacaan yang diajarkan adalah bacaan yang sudah mempraktikkan Ilmu
Tajwid.
Kedua : Pada tingkat remaja dan dewasa diajarkan
materi tarannum dengan berbagai macam maqam (Bayyati, Husaini, Hijaz, nahawand,
Sikah, Jiharkah, dan Rast) melalui metode pembelajaran tarannum yang sudah
banyak beredar luas di masyarakat, baik melalui kaset, video, atau praktik
langsung dari seorang qari’/qari’ah. Disamping itu diajarkan ilmu tajwid
praktis yang menyangkut keseluruhan persoalan yang ada pada Ilmu Tajwid dimulai
dari : Makharijul Huruf, Shifatul Huruf, al-Ahkam, Mad-Qashr, al-Maqthu’ wal
maushul, waqaf dan Ibtida’, bacaan-bacaan yang gharibah dan lain sebagainya.
Ketiga : diperlukan juga pembelajaran tingkat lanjut
yaitu mengajarkan Ilmu Qira’at baik Qira’at Sab’ah atau al-‘Asyrah ash-Shugra
atau al-Kubra, jika ada guru yang mumpuni tentang mas’alah tersebut.
Keempat: diperlukan adanya apresiasi masyarakat dan
negara dalam membina qari’/qari’ah melalui berbagai macam cara, seperti
memnberikan kesempatan kepada para qari’/qari’ah untuk tampil pada acara-acara
resmi atau kemasyarakatan, pemberian reward berupa bea siswa, dan lain sebagainya.
Penutup.
Setelah
kita berbicara panjang lebar te ntang QIRA’AT
dan TARANNUM, tibalah saatnya kita mengkahiri tulisan ini dengan
menegaskan bahwa islam yang merupakan misi Allah untuk manusia di bumi ini
perlu di sebarkan melalui berbagai macam cara dan metode. Kitab suci Al-Qur’an
adalah sebuah kitab suci yang menjadi sumber utama ajaran islam. Al-Qur’an
adalah sebuah kitab suci yang indah dari semua sisi. Baik dari sisi redaksi
maupun dari sisi maknanya. Oleh karena
itu Al-Qur’an perlu di sosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai macam
metode. Salah satu cara yang efektif
adalah melalu sosialisasi pembacaan Al-Qur’an dengan menggalakkan Ilmu Tarannum
. Dengan tarannum seseorang bisa menghantarkan bacaan yang indah kepada
masyarakat. Pada saat masyarakat modern gandrung dengan lagu-lagu dari negeri
barat dengan berbagai macam model dan coraknya, dan mereka mempunyai selera
yang tinggi terhadap seni bernyanyi, menjadikan kita merasa perlu mengimbangi
hal tersebut dengan mengetengahkan cara “tarannum” dalam membaca
Al-Qur’an. Keberadaan institusi yang mengajarkan ilmu tarannum,
akan menciptakan generasi yang bisa mengharumkan Al-Qur’an. Untuk selanjutnya masyarakat akan cinta kepada Al-Qur’an. Kecintaan
masyarakat kepada Al-Qur’an akan menjadikan mereka gemar mempelajari Al-Qur’an,
dan mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk selanjutnya bisa
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, untuk pribadi, masyarakat,
bernegara dan berbangsa. Inilah yang kita inginkan bersama.
Pesantren Dar al-Qur’an Arjawinangun Cirebon
Jawa barat Indonesia.
Syawwal 1431/ September 2010.
Refferensi :
1.Thayyibatun Nasyr : Ibn
al-Jazari
2.Hirzul Amani wa wajhuttahani
: Syathibi
3.an-Nasyr fil Qira’at al-‘Asyr
: Ibn al-jazari
4.al-Aghani : Abul Faraj
al-Ashbihani
5.Tafsir Ayat al-Ahkam : Ali
ash-Shabuni
6.Syarh Shahih al-Bukhari :
ghunaiman.
7.Muqaddimah : Ibn Khaldun
Dalam membaca Al-Qur’an nabi menyuruh para
sahabatnya untuk membaca Al-Qur’an dengan sebaik baiknya. Yaitu bacaan yang
sesuai dengan kaidah kaidah ilmu Tajwid yaitu memerhatikan makhraj setiap
huruf, sifatnya dan hukum-hukumnya.
sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Nabi juga pernah berkata :
دليل الفالحين لطرق رياض الصالحين - (6
/ 322)
(أن النبي قال: من لم يتغنّ
بالقرآن فليس منا) أي من أهل هدينا وطريقنا (رواه أبو داود بإسناد جيد معنى يتغن:
يحسن صوته بالقرآن) وروى الطبراني «حسن الصوت زينته القرآن» وروى الحاكم وغيره
«حسنوا القرآن بأصواتكم فإن الصوت الحسن يزيد القرآن حسناً» وروى عبد الرزاق وغيره
«لكل شيء حلية وحلية القرآن الصوت الحسن، قالوا فإن لم يكن حسن الصوت؟ قال حسنه ما
استطاع».
التيسير بشرح الجامع الصغير ـ للمناوى -
(2 / 640)
ليس منا من لم يتغن بالقرآن ) أي لم
يحسن صوته به لان التطريب به ادعى لقبوله ووقعه في القلوب لكن شرطه أن لا يزيد ولا
ينقص حرفا ( خ عن أبي هريرة حم دحب ك عن سعد ) بن أبي وقاص ( د عن أبي لبابة بن
عبد المنذر ) واسمه بشير ( ك عن ابن عباس وعن عائشة )
Artinya : barangsiapa yang
tidak melagukan Al-Qur’an, dia bukan dari golongan kami.
Para ulama memberikan
penafsiran terhadap arti hadis tersebut. Sebagian ulama membarikan pengertian
bahwa yang dimaksuda dengan kata “Yataghanna” adalah membaguskan bacaan,
menyenandungkan dan melagukannya, karena naluri manusia adalah senang mendengarkan
suara yang merdu yang bersenandung. Jika satu bacaan dilagukan dengan suara
yang bagus, lagu yang merdu, pendengar akan lebih tertarik lagi.
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري -
الغنيمان - (2 / 460)
وقال الخطابي: (( إن العرب كانت تولع
بالغناء والنشيد في أكثر أحوالها، فلما نزل القرآن أحب أن يكون هجيراهم مكان
الغناء، فقال: ليس منا من لم يتغن بالقرآن )) (4).
معارج القبول - (1 / 291)
ليس منا من لم يتغن بالقرآن 1 وله وللنسائي
وابن ماجه بإسناد جيد عن البراء بن عازب رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم زينوا القرآن بأصواتكم 2 وفي الصحيحين عن جبير بن مطعم رضي الله عنه
قال سمعت رسول صلى الله عليه و سلم يقرأ في المغرب بالطور فما سمعت أحدا أحسن صوتا
أو قراءة منه 3 الحديث ولابن ماجه عن جابر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم إن من أحسن الناس صوتا بالقرآن الذي إذا سمعتموه يقرأ حسبتموه
يخشى الله 4 ولأبي عبيد عن حذيفة بن اليمان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
إقرأوا القرآن بلحون العرب وأصواتها وإياكم ولحون أهل الفسق وأهل الكتابين وسيجيء
قوم من بعدي يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والرهبانية والنوح لا يجاوز حناجرهم
مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم 5 وفي الصحيحين عن أبي موسى رضي الله عنه
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يا أبا موسى لقد أوتيت مزمارا من مزامير آل
موسوعة الرد على الصوفية - (186 / 484)
كان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول : يا
أبا موسى،ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، ومر النبي صلى الله عليه وسلم بأبي موسى
وهو يقرأ : فجعل يستمع لقراءته، وقال : ( لقد أوتي هذا مزمارًا من مزامير داود ) ،
وقال : ( يا أبا موسى،لقد مررت بك البارحة وأنت تقرأ فجعلت أستمع لقراءتك ) فقال :
لو علمت أنك تستمع لقراءتي لحبرته لك تحبيرًا . أي : حسنته لك تحسينًا .
وقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( ليس منا
من لم يتغن بالقرآن ) ، ( زينوا القرآن بأصواتكم ) وقال : ( لله أشد أذنا للرجل
حسن الصوت، من صاحب القينة إلى قينته ) وقوله : ( ما أذن الله أذنا ) أي سمع
سمعًا، ومنه قوله : { وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ } [ الانشقاق : 2 ] أي
سمعت، والآثار في هذا كثيرة .
تفسير آيات الأحكام - (1 / 609)
وقد اختلفت فيه آراء الأئمة الفقهاء ،
تبعاً لاختلاف الصحابة والتابعين ، ونحن نذكر مذاهبهم مع أدلة كلّ فريق بشيء من
التفصيل ، فنقول ومن الله نستمدّ العون :
مذاهب الفقهاء في القراءة بالتلحين :
أولاً : مذهب ( المالكية والحنابلة ) :
كراهة القراءة بالتلحين ، وهو منقول عن ( أنس بن مالك ) و ( سعيد بن المسيّب ) و (
سعيد بن جبير ) و ( القاسم بن محمد ) و ( الحسن البصري ) و ( إبراهيم النخعي ) و (
ابن سيرين ) .
ثانياً : مذهب ( الحنفيّة والشافعية ) :
جواز القراءة بالتلحين ، وهو منقول عن : ( عمر بن الخطاب ) و ( ابن عباس ) و ( ابن
مسعود ) و ( عبد الرحمن بن الأسود بن زيد ) وقد ذهب إليه من المفسرين ( أبو جعفر
الطبري ) و ( أبو بكر بن العربي ) .
أدلة المذهب الأول :
أ- حديث : « أقرءوا القرآن بلحون العرب
وأصواتهم ، وإيّاكم ولحونَ أهل الكتاب والفسق ، فإنه يجيءُ من بعدي أقوام يرجّعُون
بالقرآن ترجّع الغناء والنوح ، لا يجاوز حناجرهُمْ ، مفتونةٌ قلوبُهم وقلوبُ الذين
يعجبهم شأنُهم » .
فقد نعى عليه السلام على من يرجّع بالقرآن
ترجيع الغناء والنوح على نحو ما يفعله أكثر قرّاء هذا العصر .
ب- حديث : « يتخذون القرآن مزامير ،
يقدّمون أحدهم ليس بأقرئهم ولا أفضلهم ليغنّيَهم غناءً » .
ج - حديث : « إنّ الأذانَ سهلٌ سمحٌ ، فإن
كان أذانُك سهلاً سمحاً وإلاَّ فلا تؤذّن » قالوا : فقد كره النبي صلى الله عليه
وسلم أن يطرب المؤذن في أذانه ، فدلّ ذلك على أنه يكره التطريب في القراءة بطريق
الأولى .
د- وقالوا أيضاً : إن التغنّي والتطريب
يؤدي إلى أن يزاد على القرآن ما ليس منه ، وذلك لأنه يقتضي مدّ ما ليس بممدود ،
وهمز ما ليس بمهموز ، وجعل الحرف الواحد حروفاً كثيرة وهو لا يجوز ، هذا إلى أن
التلحين من شأنه أن يلهي النفوس بنغمات الصوت ، ويصرفها عن الاعتبار والتدبر
لمعاني القرآن الكريم .
وقد سئل ( مالك ) عن الألحان في الصلاة
فقال : لا تعجبني ، وقال : إنما هو غناء يتغنّون به ليأخذوا عليه الدراهم .
وروي عن الإمام ( أحمد ) أنه كان يقول :
قراءة الألحان ما تعجبني ، والقراءة بها بدعة لا تسمع .
وسئل : ما تقول في القراءة بالألحان؟ فقال للسائل
: ما اسمك؟ قال : محمد ، قال له : أيسرّك أن يقال لك : يا موحامد ممدوداً؟
أدلة المذهب الثاني :
واستدل المجيزون للقراءة بالتلحين وهم (
الحنفية والشافعية ) بأدلة نوجزها فيما يلي :
أ- حديث : تفسير آيات الأحكام - (1 / 610)
« زينوا القرآن بأصواتكم » .
ب- حديث : « ليس منّا من لم يتغنّ بالقرآن
» .
ج - حديث عبد الله بن مغفّل قال : ( لقد
أعطيتَ مزماراً من مزامير آل داود ) فقال له أبو موسى : ( لو علمت أنك تسمع
لحبّرته لك تحبيراً ) .
ه - حديث : « ما أذِنَ الله لشيء أذنَه
لنبي حسن الصوت يتغنى بالقرآن » .
و- وقالوا أيضاً : إنّ الترنّم بالقرآن
والتطريب بقراءته من شأنه أن يبعث على الاستماع والإصغاء ، وهو أوقع في النفس ،
وأنفذ في القلب وأبلغ في التأثير .
وقد روى الطبري : عن عمر بن الخطاب أنه كان
يقول لأبي موسى الأشعري : ذكّرنا ربنا ، فيقرأ أبو موسى ويتلاحن فيقول عمر : من
استطاع أن يتغنى بالقرآن غناء أبي موسى فليفعل .
وكان ابن مسعود : تعجبه قراءة ( علقمة
الأسود ) - وكان حسن الصوت - فكان يقرأ له علقمة ، فإذا فرغ قال له : زدني فداك
أبي وأمي .
هذه خلاصة موجزة لأدلة الفريقين ، وأنت إذا
أمعنت النظر وجدت أن الخلاف بينهم يكان يكون ( شكلياً ) لا ( جوهرياً ) فالفقهاء
جميعاً متفقون على حرمة قراءة القرآن بالأنغام ، التي لا تراعى فيها أحكام التجويد
، كمدّ المقصور ، وقصر الممدود ، وترقيق المفخّم ، وتفخيم المرقق ، وإظهار ما
ينبغي إدغامه ، وإخفاء ما ينبغي إظهاره . . . إلخ ، والتي يكون الغرض منها (
التطريب ) وإظهار جمال الصوت فحسب دون تقيّد بالأحكام وآداب التلاوة ، كما يفعله
بعض الجهلة من قراء هذا العصر ، فإن هذا لا يشك أحد في تحريمه .
أما إذا كان المراد ب ( التلحين ) هو تحسين
الصوت بالقراءة وإخراج الحروف سليمة من مخارجها ، دون تعقر أو تمطيط ، مع تطبيق
أحكام التجويد ومراعاة الوقوف والمدود فإن هذا لا يقول أحد بتحريمه ، لأن الصوت
الحسن يزيد في جمال القرآن ، وله أثر في نفس الإنسان ، وقد استمع النبي عليه
الصلاة والسلام إلى قراءة بعض أصحابه ، فأعجب بحسن صوته حتى قال لأبي موسى الأشعري
: « لقد أعطيتَ مزماراً من مزامير آل داود » والله الموفق والهادي إلى سواء السبيل
.
Hadis diatas mengindikasikan
bahwa melagukan bacaan Al-Qur’an adalah sesuatu yang dihimbau, karena
(
النشر في القراءات العشر - (1 / 16)
(فممن كان بالمدينة) ابن المسيب، وعروة، وسالم، وعمر بن عبد
العزيز،النشر في القراءات العشر - (1 / 17)
وسليمان وعطاء إبنا يسار، ومعاذ بن الحارث المعروف بمعاذ القارئ،
وعبد الرحمن بن هرمز الأعرج،وابن شهاب الزهري، ومسلم بن جندب، وزيد بن أسلم
(وبمكة) عبيد بن عمير، وعطاء، وطاووس، ومجاهد، وعكرمة، وأبن أبي مليكة (وبالكوفة)
علقمة، والأسود، ومسروق، وعبيدة وعمرو بن شرحبيل، والحارث بن قيس، والربيع بن
خثيم، وعمرو بن ميمون، وأبو عبد الرحمن السلمي، وزر بن حبيش، وعبيد بن نضيلة، وأبو
زرعة ابن عمرو بن جرير، وسعيد بن جبير، وإبراهيم النخعي، والشعبي،. (وبالبصرة)
عامر بن عبد قيس، وأبو العالية، وأبو رجاء، ونصر بن عاصم، ويحيى بن يعمر، ومعاذ،
وجابر بن زيد، والحسن، وابن سيرين، وقتادة (وبالشام) المغيرة بن أبي شهاب المخزومي
صاحب عثمان بن عفان في القراءة وخليد بن سعد صاحب أبي الدرداء. ثم تجرد قوم
للقراءة والأخذ واعتنوا بضبط القراءة، أتم عناية حتى صاروا في ذلك أئمة يقتدى بهم
ويرحل إليهم ويؤخذ عنهم، أجمع أهل بلدهم على تلقي قراءتهم بالقبول ولم يختلف عليهم
فيها اثنان ولتصديهم للقراءة نسبت إليهم (فكان بالمدينة) أبو جعفر يزيد بن القعقاع
ثم شيبة بن نصاح ثم نافع بن أبي نعيم (وكان بمكة) عبد الله بن كثير وحميد بن قيس
الأعرج ومحمد بن محيصن (وكان بالكوفة) يحيى ابن وثاب وعاصم بن أبي النجود وسليمان
الأعمش ثم حمزة ثم الكسائي (وكان بالبصرة) عبد الله ابن أبي إسحق وعيسى بن عمر
وأبو عمرو بن العلاء ثم عاصي الجحدري ثم يعقوب الحضرمي (وكان بالشام) عبد الله بن
عامر وعطية بن قيس الكلابي وإسماعيل بن عبد الله بن المهاجر ثم يحيى بن الحارث
الذماري ثم شريح بن يزيد الحضرمي. النشر في القراءات العشر - (1 / 18)
ثم إن القراء بعد هؤلاء المذكورين كثروا وتفرقوا في البلاد
وانتشروا وخلفهم أمم بعد أمم ، عرفت طبقاتهم، واختلفت صفاتهم، فكان منهم المتقن
للتلاوة المشهور بالرواية والدراية، ومنهم المقتصر على وصف من هذه الأوصاف، وكثر
بينهم لذلك الاختلاف. وقلَّ الضبط، واتسع الخرق، وكاد الباطل يلتبس بالحق، فقام
جهابذة علماء الأمة، وصناديد الأئمة، فبالغوا في الاجتهاد وبينوا الحق المراد
وجمعوا الحروف والقراءات، وعزوا الوجوه والروايات، وميزوا بين المشهور والشاذ،
والصحيح والفاذ، بأصول أصولها، وأركان فصلوها، وهانحن نشير إليها ونعول كما عولوا
عليها فنقول:
الغناء :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 243)
وقد أنكر مالك رحمه الله تعالى القراءة
بالتلحين، وأجازها الشافعي رضي الله تعالى عنه. وليس المراد تلحين الموسيقى
الصناعي، فإنه لا ينبغي أن يختلف في حظره، إذ صناعة الغناء مباينة للقرآن بكل وجه،
لأن القراءة والأداء تحتاج إلى مقدار من الصوت لتعيين أداء الحروف من حيث إتباع
الحركات في مواضعها، ومقدار المد عند من يطلقة أو يقصره، وأمثال ذلك. والتلحين
أيضاً يتعين له مقدار من الصوت لا يتم إلا به من أجل التناسب الذي قلناه في حقيقة
التلحين. فاعتبار أحدهما قد يخل بالأخر إذا تعارضا. وتقديم التلاوة متعين فراراً
من تغيير الرواية المنقولة في القرآن، فلا يمكن اجتماع التلحين والأداء المعتبر في
القرآن بوجه. وإنما المراد عن اختلافهم التلحين البسيط الذي يهتدي إليه صاحب
المضمار بطبعه كما قدمناه، فيردد أصواته ترديداً على نسب يدركها العالم بالغناء
وغيره، ولا ينبغبي ذلك بوجه كما قاله مالك. هذا هو محل الخلاف. والظاهر تنزية
القرآن عن هذا كله كما ذهب إليه الإمام رحمه الله تعالى، لأن القرآن هو محل خشوع
بذكر الموت وما بعده وليس مقام التذاذ بإدراك الحسن من الأصوات. وهكذا كانت قراءة
الصحابة رضي الله عنهم كما في أخبارهم.
مقدمة ابن خلدون - (1 / 244)
وأما قوله صلى الله عليه وسلم: "
لقد أوتي مزماراً من مزامير آل داود، فليس المراد به الترديد والتلحين، إنما معناه
حسن الصوت وأداء القراءة والإبانة في مخارج الحروف والنطق بها. وإذ قد ذكرنا معنى
الغناء، فاعلم أنه يحدث في العمران، إذا توفر وتجاوز حد الضرروي إلى الحاجي، ثم
إلى الكمالي، وتفننوا فيه، فتحدث هذه الصناعة. لأنه لا يستدعيها إلا من فرغ من
جميع حاجاته الضرورية والمهمة من المعاش والمنزل وغيره، فلا يطلبها، إلا الفارغون
عن سائر أحوالهم تفنناً في مذاهب الملذوذات. وكان في سلطان العجم قبل الملة منها
بحر زاخر في أمصارهم ومدنهم. وكان ملوكهم يتخذون ذلك ويولعون به، حتى لقد كان
لملوك الفرس اهتمام بأهل هذه الصناعة، ولهم مكان في دولتهم، وكانوا يحضرون مشاهدهم
ومجامعهم ويغنون فيها. وهذا شأن العجم لهذا العهد في كل أفق من آفاقهم، ومملكة من
ممالكهم.
وأما العرب فكان لهم أولاً فن الشعر،
يؤلفون فيه الكلام أجزاء متساوية على تناسب بينها، في عدة حروفها المتحركة
والساكنة ويفضلون الكلام في تلك الأجزاء تفصيلاً يكون كل جزء منها مستقلاً
بالإدادة، لا ينعطف على الآخر. ويسمونه البيت فيلائم الطبع بالتجزئة أولاً، ثم
بتناسب الأجزاء في المقاطع والمبادىء، ثم بتأدية المعنى المقصود وتطبيق الكلام
عليها. فلهجوا به فامتاز من بين كلامهم بحظ من الشرف ليس لغيره، لأجل اختصاصه بهذا
التناسب. وجعلوه ديواناً لأخبارهم وحكمهم وشرفهم ومحكاً لقرائحهم في إصابة المعاني
وإجادة الأساليب. واستمروا على ذلك. وهذا التناسب الذي من أجل الأجزاء والمتحرك
والساكن من الحروف، قطرة من بحر من تناسب الأصوات، كما هو معروف في كتب الموسيقى.
إلا أنهم لم يشعروا بما سواه، لأنهم حينئذ لم ينتحلوا علماً ولا عرفوا صناعة.
وكانت البداوة أغلب نحلهم. ثم تغنى الحداة منهم في حداء إبلهم، والفتيان في قضاء
خلواتهم، فرجعوا الأصوات وترنموا. وكانوا يسمون الترنم إذا كان بالشعر غناء وإذا
كان بالتهليل أو نوع القراءة تغييراً بالغين المعجمة والباء الموحدة. وعللها أبو
إسحق الزجاج بأنها تذكر بالغابر وهو الباقي، أي بأحوال الآخرة. وربما ناسبوا في
غنائهم بين النغمات مناسبة بسيطة، كما ذكره ابن رشيق آخر كتاب العمدة وغيره.
وكانوا يسمونه السناد، وكان أكثر ما يكون منهم في الخفيف الذي يرقص عليه ويمشي
بالدف والمزمار فيطرب ويستخف الحلوم. وكانوا يسمون هذا الهزج، وهذا البسيط، كله من
التلاحين هو من أوائلها، ولا يبعد أن تتفطن له الطباع من غير تعليم شأن البسائط
كلها من الصنائع.
ولم يزل هذا شأن العرب في بداوتهم
وجاهليتهم. فلما جاء الإسلام، واستولوا على ممالك الدنيا، وحازوا سلطان العجم،
وغلبوهم عليه، وكانوا من البداوة والغضاضة على الحال التي عرفت لهم مع غضارة الدين
وشدته في ترك أحوال الفراغ. وما ليس بنافع في دين ولا معاش، فهجروا ذلك شيئاً ما.
ولم يكن الملذوذ عندهم إلا ترجيع القراءة والترنم بالشعر الذي كان دينهم ومذهبهم.
فلما جاءهم الترف وغلب عليهم الرفه بما حصل لهم من غنائم الأمم صاروا إلى نضارة
العيش ورقة الحاشية واستحلاء الفراغ. وافترق المغنون من الفرس والروم فوقعوا إلى
الحجاز وصاروا موالي للعرب، وغنوا جميعاً بالعيدان والطنابير والمعازف والزمامير،
وسمع العرب تلحينهم للأصوات ولحنوا عليها أشعارهم.
وظهر بالمدينة نشيط الفارسي وطويس وسائب
وحائر مولى عبد الله بن جعفر، فسمعوا شعر العرب ولحنوه وأجادوا فيه وطار لهم ذكر.
ثم أخذ عنهم معبد وطبقته وابن سريج وأنظاره. وما زالت صناعة الغناء تتمزج إلى أن
كملت أيام بني العباس عند إبراهيم بن المهدي، وإبراهيم الموصلي وابنه إسحق وابنه
حماد. وكان من ذلك في دولتهم ببغداد، ما تبعه الحديث بعده به وبمجالسه لهذا العهد،
وأمعنوا في اللهو واللعب، واتخذت آلات الرقص في الملبس والقضبان والأشعار التي
يترنم بها عليه. وجعل صنفاً وحده، واتخذت آلات أخرى للرقص تسمى بالكرج، وهي تماثيل
خيل مسرجة من الخشب، معلقة بأطراف أقبية يلبسها النسوان، ويحاكين بها امتطاء الخيل
فيكرون ويفرون ويتثاقفون، وأمثال ذلك من اللعب المعد للولائم والأعراس وأيام
الأعياد ومجالس الفراغ واللهو.
مقدمة ابن خلدون - (1 / 245)
وكثر ذلك ببغداد وأمصار العراق وانتشر
منها إلى غيرها. وكان للموصليين غلام اسمه زرياب، أخذ عنهم الغناء فأجاد، فصرفوه
إلى المغرب غيرة منه، فلحق بالحكم بن هشام بن عبد الرحمن الداخل أمير الأندلس.
فبالغ في تكرمته، وركب للقائه وأسنى له الجوائز والإقطاعات والجرايات، وأحله من
دولته وندمائه بمكان. فأورث بالأندلس من صناعة الغناء ما تناقلوه إلى أزمان
الطوائف. وطما منها بإشبيلية بحر زاخر، وتناقل منها بعد ذهاب غضارتها إلى بلاد
العدوة بإفريقية والمغرب. وانقسم على أمصارها، وبها الأن منها صبابة على تراجع
عمرانها وتناقص دولها. وهذه الصناعة آخر ما يحصل في العمران من الصنائع لأنها
كمالية في غير وظيفة من الوظائف، إلا وظيفة الفراغ والفرح. وهي أيضاً أول ما ينقطع
من العمران عند اختلاله وتراجعه. والله أعلم.
الأغاني - (3 / 273)
أخبار ابن مسجح ونسبه
سعيد بن مسجح أبو عثمان مولى بني جمح وقيل إنه
مولى بني نوفل بن الحارث بن عبد المطلب مكي أسود مغن متقدم من فحول المغنين
وأكابرهم وأول من صنع الغناء منهم ونقل غناء الفرس إلى غناء العرب ثم رحل إلى
الشأم وأخذ ألحان الروم والبربطية والأسطوخوسية وانقلب إلى فارس فأخذ بها غناء
كثيرا وتعلم الضرب ثم قدم إلى الحجاز وقد أخذ محاسن تلك النغم وألقى منها ما
استقبحه من النبرات والنغم التي هي موجودة في نغم غناء الفرس والروم خارجة عن غناء
العرب وغنى على هذا المذهب فكان أول من أثبت ذلك ولحنه وتبعه الناس بعد
أخبرني محمد بن خلف بن المرزبان والحسين بن يحيى
قالا حدثنا حماد بن إسحاق عن أبيه عن هشام بن المرية أن أول من غنى هذا الغناء
العربي بمكة ابن مسجح مولى بني مخزوم وذلك أنه مر بالفرس وهم يبنون المسجد الحرام
فسمع غناءهم بالفارسية فقلبه في شعر عربي وهو الذي علم ابن سريج والغريض وكان ابن
مسجح مولدا أسود يكنى بأبي عيسى
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري -
الغنيمان - (2 / 278)
قال الحافظ: (( ولا شك أن النفوس تميل
إلى سماع القراءة بالترنم أكثر من ميلها لمن لا يترنم؛ لأن للتطريب تأثيراً في رقة
القلب، وإجراء الدمع. ولا خلاف بين السلف في استحباب تحسين الصوت بالقراءة، وتقديم
حسن الصوت على غيره.
وإنما اختلفوا في التلحين، بين مانع
ومجيز.
والذي يتحصل من الأدلة أن حسن الصوت
بالقراءة مطلوب، فإن لم يكن حسناً فليحسنه ما استطاع، كما قال ابن أبي مليكة، أحد
رواة الحديث، أخرج ذلك عنه أبو داود بإسناد صحيح.
ومن جملة تحسينه: أن يراعي فيه قوانين
النغم، فإن الحسن الصوت يزداد بذلك حسناً، وإن خرج عنها أثر ذلك في حسنه.
وغير الحسن ربما انجبر بمراعاتها، ما لم
يخرج عن شرط الأداء المعتبر عند أهل القراءات، فإن خرج عنها لم يفِ تحسين الصوت
بقبح الأداء.
ولعل هذا مستند من كره القراءة
بالأنغام؛ لأن الغالب على من راعى الأنغام أن لا يراعي الأداء، فإن وجد من
يراعيهما معاً، فلا شك أنه أرجح من غيره، لأنه يأتي بالمطلوب من تحسين الصوت،
ويتجنب الممنوع من حرمة الأداء. والله أعلم ))(2).
__________
(1) فتح الباري )) ( 9/72).
(2) الفتح )) (9/72).
Syukron katsiron, bermanfaat sekali...
BalasHapusKalau boleh tau, Anti dapat materinya darimana? ada bukunya g?
Soalnya Ana juga sedang mencari buku2 yang berkenaan dengan tarannum.
Syukron...
جزاك الله خيرا جز
BalasHapussaya mampir ke blog ini dibawa oleh keyword بدأت ب بسم الله, isinya sangat bermanfaat menambah wawasan tentang perkembangan qiraat dan taranum.
syukron....
BalasHapussyukur kepada Allah, dengan tulisan ini sudah menjadikan ilmu kita bertambah.
BalasHapusAssalamualaikum.. Blogger yg baik. Saya suka...meskipun saya bukan qari. Tapi hal ini sangat membantu saya. Dan ada hal yg ingin saya tanyakan..
BalasHapus1. Apa perbedaan tarannum dengan tausyih?
2. Saya coba memahami .(. Tetapi saya tidak mengerti bagaimana cara kerja tausyih ketika diterapkan dalam ayat,,membuat saya agak bingung.
3. Ada yg menyatakan tentang riwayat penulisan alquran an..jumlah ada 14.
Yg saya ingat...muhaffash, qalun, waras, hadiah...sisa nya saya tidak ingat...mohon di konfirmasi dan penjelasannya...
Terimakasih
Suhaidi.Pontianak kalbar
Ada salah tulis( hadiah). Maksudnya riwayat Hamzah
BalasHapusِAssalamu'alaikum Ustadzah terakhir saya ketemu antum waktu Pembahasan Mushaf Qiroat Warsy, salam kenal alhamdulillah saya menemukan artikel Qiraat dari blog antum. Izin Copas Ustadzah
BalasHapus