Selasa, 20 September 2011

QIRA'AT DAN TARANNUM


QIRA’AT DAN TARANNUM
SEBAGAI MEDIA DAKWAH ISLAM

Oleh : Ahsin Sakho Muhammad

s
aat ini manusia memasuki dan di tengah era globalisasi, dimana hubungan antar manusia tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Informasipun mengalir dengan sangat deras ke seluruh pelosok dunia dalam hitungan detik. Hubungan antar bangsa berjalan dengan intensnya. Hal itu menyebabkan terjadinya benturan budaya, adat istiadat, keyakinan agama dan lain-lainnya. Dari benturan-benturan ini terjadilah apa yang dinamakan dengan kondisi saling mempengaruhi. Di era globalisasi dan komunikasi ini, mereka yang bisa mengemas sesuatu menjadi menarik, merekalah yang bisa mempengaruhi yang lain. Ini di satu sisi
Di sisi lain, kondisi demikian juga berdampak pada menguatnya kecenderungan terkikisnya dan menipisnya nilai-nilai keagamaan, serta nilai nilai lokal (lokal wisdom). Dalam hal budaya, kita melihat kecenderungan masyarakat muslim yang meniru perilaku bangsa-bangsa yang maju, dalam berbagai hal, mulai dari seni musik, mode, makanan dan gaya hidup lainnya. Kehidupan modern mengakibatkan perobahan gaya hidup menjadi materialis, hedonis, egois, rasionalis dan lain sebagainya.  Umat Islam terlihat gagap dan gamang di tengah kemajuan yang demikian pesat.
Menghadapi hal-hal demikian maka masyarakat muslim masa kini memerlukan sebuah strategi da’wah Islam yang bisa membawa umat agar mereka tetap “istiqamah” dengan keislamannya. Umat Islam juga perlu mengemas agar dakwah Islamiyah tetap diminati diminati oleh masyarakat kontemporer. Sehingga Islam tetap eksis di manapun dan sampai kapan pun, shalih likulli zaman wa makan.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan menjadi rujukan utama dalam memahami Islam, perlu di sosialisasikan kepada masyarakat dengan baik dan dengan metode pendekatan yang baik pula. Tujuan akhirnya adalah bagaimana Al-Qur’an menjadi sebuah kitab “hidayah” dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Banyak hal yang perlu diungkap dalam Al-Qur’an agar bisa menjadi barometer mengukur kebenaran dan kebaikan. Diantara metode yang cukup menarik adalah melalui pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan “tarannum” atau melagukan bacaan Al-Qur’an. Melagukan bacaan Al-Qur’an akan bisa mengimbangi masyarakat modern yang gandrung akan musik dan seni kontemporer saat ini.  
 Jika pada masa lalu, kaum muslimin sudah terbiasa dengan satu macam bacaan saja yaitu bacaan Imam ‘Ashim, riwayat Hafsh, maka pada saat ini, terlebih setelah masa golobalisi,  masyarakat mengenal adanya bacaan lain selain Hafsh yaitu bacaan yang ada pada Qira’at Tujuh dan Qira’at Sepuluh. Kedua macam bacaan ini akhirnya menjadi trend yang cukup menarik untu di pelajari.

ILMU QIRA’AT
Ilmu Qira’at adalah salah satu cabang Ulum al-Qur’an yang mempunyai posisi sangat penting dalam kajian ilmu keislaman. Bagaimana tidak? Ilmu Qira’at adalah ilmu yang paling konsen dalam meneliti keabsahan teks Al-Qur’an, baik dari segi pengucapan maupun dari segi tulisan. Jika sebuah teks Al-Qur’an dianggap valid baik dari segi ucapan maupun tulisan, maka teks tersebut sudah bisa dianalisa oleh ahli-ahli keislaman yang lain. Pakar tafsir akan meneliti dari segi kandungan maknanya, pakar sastra akan meneliti dari segi kekuatan sastranya, sementara para ahli hukum Islam (fuqaha) akan meneliti dari kandungan hukum dan apa yang bisa di istinbath-kan dari ayat-ayat hukum. Pakar gramatika bahasa Arab akan meneliti segi nahwu-sharaf (Gramatika-Morfologi) untuk dijadikan rumusan kaidah umum dalam kedua ilmu tersebut.
Untuk meneliti keabsahan sebuah teks Al-Qur’an diperlukan rangkaian penelitian yang cukup mendalam yang mencakup segi kesahihan sanadnya, kesesuaiannya dengan kaedah-kaedah bahasa arab dan kesesuaianya dengan Rasm Usmani. Tiga hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang betul-betul ahli dalam bidangnya.
Pada saat ini Ilmu Qira’at kembali dikaji oleh banyak kalangan. Bisa dikatakan bahwa Ilmu Qira’at telah hidup kembali, setelah demikian lama tertidur. Banyak institusi pendidikan agama Islam yang mengkhususkan diri mengajarkan Ilmu Qira’at, seperti di Kulliyyatul Qur’an di Islamic University Madinah Saudi Arabia, Kulliyyatul Qur’an di Jami’ah al-Azhar cabang Thantha, Mesir. Lalu Jami’ah Ulum al-Qur’an di Sudan, belum lagi Program Studi Ilmu Qira’at yang ada pada konsentrasi ilmu-ilmu kequr’anan pada sebuah perguruan tinggi, belum lagi pada lembaga-lembaga swasta dan perorangan dan lain sebagainya. Sementara itu banyak bacaan Al-Qur’an dengan berbagai macam riwayat dari Imam Tujuh (al-Qurra’ as-Sab’ah) atau Imam sepuluh (al-Qurra’ al-‘Asyrah) telah banyak beredar. Begitu juga kitab-kitab mengenai Ilmu Qira’at telah banyak terbit. Kitab-kitab klasik tentang Ilmu Qira’at terutama yang dijadikan pedoman atau landasan oleh Imam Ibn al-Jazari dalam kitabnya “an-Nasyr fil Qira’at al-‘Asyr” yang tadinya masih berupa manuskrip (makhthuthat) telah banyak di tahqiq oleh kalangan akademis dan pada akhirnya terbit dan beredar dipasaran.
Pada sisi lain, sudah banyak kaset yang beredar yang berisi rekaman para qari’/qari’ah yang membaca dengan ragam bacaan dari qira’at tujuh atau sepuluh, apakah dengan bacaan mujawwad (tarannum, tilawah, dengan lagu) atau murattal (tartil). Ternyata  kemunculan Ilmu Qira’at dengan segala macam variasinya telah membawa citra situasi keislaman yang positif di tengah-tengah masyarakat Islam dewasa ini.
Imam Ibn al-Jazari memberikan definisi Ilmu Qira’at sebagai berikut :
"علم يعرف به كيفية النطق بألفاظ القرآن واختلافها معزوا لناقله "
Artinya : Ilmu yang membahas tata cara mengucapkan lafazh-lafzah Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada perawinya. (Munjid al-Muqri’in h. )
Syekh Abdul Fattah al-Qadli dalam kitabnya “al-Budur az-Zahirah” memberikan definisi yang tidak berbeda dengan Ibn al-Jazari, namun sedikit lebih rinci lagi. Beliau mengatakan:
علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرآنية وطريق أدائها اتفاقا واختلافا مع عزو كل وجه لناقله .
Artinya : Ilmu Qira’at ialah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan dan melafazhkan  kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik yang disepakati (oleh ahli qira’at) atau yang diperselisihkan, dengan selalu menisbatkan semua bacaan tersebut kepada para perawinya masing-masing. (al-Budur az-Zahirah :  )
Dari definisi diatas ada beberapa hal yang bisa dikemukakan disini syaitu :
Pertama : Ilmu Qira’at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur’an dari segi cara pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di balik teks-teks Al-Qur’an.  Ilmu Qira’at sangat mengandalkan oral (lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti idgham, iqlab, ikhfa’, izhar dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Hal ini  berbeda dengan membaca teks lain selain Al-Qur’an, seperti membaca teks hadis nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Qur’an. Dengan demikian Ilmu Qira’at sangat terkait dengan tathbiq (praktik) membaca. Mungkin banyak orang yang mengerti teori Ilmu Qira’at, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jazari dalam “Thayyibah an-Nasyr”:
                      وليس بينه وبين تركه     الا رياضة امرئ بفكه
Artinya : hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang dengan ilmu qira’at adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan mulutnya (mempraktikkan bacaan).
Kedua : Ilmu Qira’at sangat terkait dengan “arabisme” . Hal ini tidak bisa disangkal lagi karena Al-Qur’an diturunkan di Jazirah arab, kepada nabi yang berbangsa arab, dan kaum yang juga berbangsa arab. Bahasa yang digunakan juga berbahasa arab. Maka cara pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an juga mengacu kepada cara orang arab melafalkan kalimat-kalimat arab. Bagi bangsa yang non arab, pada saat melafalkan Al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang arab yang fasih membaca, lalu dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang qari’/qari’ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur’an secara tepat, seakan-akan dia adalah orang arab. Tidak kelihatan lagi “laknah a’jamiyyah”nya atau aksen ‘ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang arab yang mampu membaca Al-Qur’an dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyukh al-Qurra’.
Ketiga : Ilmu Qira’at adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given (sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh( pakar Ilmu Qira’at)  ke syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi Muhammad S.A.W. Hal ini berbeda dengan IlmuTafsir tugasnya yang menganalisa teks-teks Al-Qur’an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk  kepada hadis  nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-Qur’an yang telah disepakati,  walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa di tolelir dan bisa diterima.  Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira’at yang sama sekali tidak mentolelir adanya  perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa di toleleir jika  betul-betul berasal dari nabi. Imam Syathibi berkata dalam “hirzil Amani” :
              وما لقياس فى القراءة مدخــــل   فدونـك ما فيه الرضا متكفلا     
Artinya : tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu qira’at. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira’at.
Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira’at, maka Al-Qur’an masih tetap dalam orsinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira’at.
Keempat  : Ilmu Qira’at sangat terkait dengan Rasm Mushaf Usmani  karena setiap bacaan harus selalu mengacu kepada Mushaf Al-Qur’an yang telah mendapatkan persetujuan dan ijma’  para sahabat nabi pada masa penulisan mushaf pada zaman Usman bin Affan atau mushaf yang sesuai dengan rasm usmani.
Lintasan Sejarah Ilmu Qira’at
Ilmu Qira’at sebagaimana ilmu ilmu keislaman lainnya mengalami pasang surut. Hal itu dimulai dari masa pertumbuhan kemudian masa keemasan dan masa kejayaan lalu masa stagnasi atau kemunduran dan masa kebangkitan kembali dan masa pencerahan. Berikut ini dikemukakan masa masa tersebut.
1.Masa Pertumbuhan.
Masa ini dimulai dari masa nabi Muhammad S.A.W yaitu ketika nabi mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya baik ketika masih berada di Mekah maupun setelah beliau hijrah ke Madinah. Nabi mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya melalui beberapa cara :
Pertama : membaca dengan tartil. Hal ini sesuai dengan firman  Allah:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (4) [المزمل : 4]
Tentang hal ini salah seorang sahabat nabi yaitu Ibn Abbas menceritakan :
عن ابن عباس أنه قال كان رسول الله {صلى الله عليه وسلم} يعلمنا التشهد كما يعلمنا السورة من القرآن  )الجمع بين الصحيحين البخاري ومسلم (- (2 / 94)

Artinya :nabi mengajarkan kepada kami lafazh-lafzah “tasyahhud” sebagaimana beliau menajarkan kepada kami Al-Qur’an.
Dalam hadis ini Ibn Abbas memberikan informasi  kepada kita tentang cara nabi mengajarkan “tasyahhud” yaitu sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur’an. Pemahaman kita pada riwayat ini bahwa nabi mengucapkan beberapa kalimat lalu ditirukan oleh para sahabatnya. Jika sudah bisa ditirukan dengan baik dan benar maka nabi melanjutkan bacaannya, dan begitu seterusnya.  
Pada riwayat lain sebagaimana diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik dijelaskan bagaimana nabi memerhatikan aspek tartil dalam membaca Al-Qur’an.
عَن قَتَادَةَ ، قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسًا ، عَن قِرَاءَةِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ مَدًّا. مصنف ابن أبي شيبة - (10 / 524)

Artinya : berkata Qatadah: aku bertanay kepada Anas tentang cara nabi membaca Al-Qur’an. Maka sahabat Anas menjawab : beliau (nabi) memanjangkan suaranya dengan jelas.
Ummi Salamah, isteri nabi juga mengemukakan hal yang sama. Beliau berkata :
عَن أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : كَانَت قِرَاءَةُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} فَذَكَرَتْ حَرْفًا حَرْفًا. مصنف ابن أبي شيبة - (10 / 524)
Artinya : nabi membaca  “alhamdulillahi rabbil ‘alamin” secara jelas, huruf demi huruf.
Apa yang dilakukan nabi sejalan dengan perintah Allah kepada nabiNya agar membaca Al-Qur’an dengan “tartil” yaitu pelan, sehingga jelas huruf-hurufnya. Dengan bacaan tartil akan bisa melakukan “tadabbur” (menghayati) terhadap ayat –ayat Al-Qur’an
Kedua : nabi mengajarkan Al-Qur’an sedikit demi sedikit. Hal itu bisa dipahami dari perkataan Abu Abdurrahman as-Sulami :
وقال أبو عبد الرحمن السلمي: حدثنا الذين كانوا يقرئوننا أنهم كانوا يستقرئون من النبي صلى الله عليه وسلم، فكانوا إذا تعلموا عشر آيات لم يخلفوها حتى يعملوا بما فيها من العمل، فتعلمنا القرآن والعمل جميعا (3) . تفسير ابن كثير - (1 / 8)
Artinya : Abu Abdirrahman berkata : guru-guru kami meminta nabi membacakan Al-Qur’an  kepada mereka.  Jika mereka telah belajar 10 ayat, mereka tidak beranjak ke ayat berikutnya sampai mereka bisa mengamalkan isinya. Dengan demikian kami bisa mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya sekaligus.
Ketiga : mengajarkan berbagai macam bacaan.
Nabi mempunyai pandangan yang jauh kedepan dalam hal berda’wah dan mensosialisasikan Al-Qur’an kepada para sahabatnya. Nabi melihat bahwa orang arab terdiri dari berbagai macam puak (kabilah) yang mempunyai berbagai macam dialek. Disamping itu nabi menginginkan agar Al-Qur’an bisa dibaca oleh semua kalangan, mulai dari anak kecil, yang buta huruf sampai orang tua. Dalam sebuah hadis disebutkan :
عن أبى ابن كعب رضي الله عنه قال : لقى رسول الله صلى الله عليه وسلم جبريل فقال يا جبريل إنى بعثت إلى أمة أميين : منهم العجوز، والشيخ الكبير، والغلام، والجارية، والرجل، الذى لم يقرأ كتاباً قط، قال : يا محمد إن القرآن أنزل على سبعة أحرف"(3) .
Artinya : nabi bertemu Jibril, lalu beliau berkata : hai Jibril, aku diutus kepada umat yang ummi (buta huruf), diantara mereka ada yang sudah tua, anak-anak, dan orang yang tidak bisa membaca sama sekali. Jibril berkata : hai Muhammad, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf.
Banyak sahabat yang meriwayatkan hadis yang semisal dengan hadis diatas. Abdushabur Syahin dalam kitanya “Tarikh al-Qur’an” menyebutkan bahwa ada 25 sahabat yang meriwayatkan. Sedangkan jumlah sanad dari 25 sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut ada 46 sanad. Dari jumlah tersebut yang mempunyai kwalitas “Dla’if” berjumlah 8 sanad, selainnya yang berjumlah 38 sanad berkwalitas sahih. Dilihat dari sisi ini Syahin menggolongkan hadis ini kedalam hadis yang mutawatir.(Lihat tarikh al-Qur’an, h.56)  .
Banyak ulama yang berbeda pendapat dalam memahami hadis diatas. Secara garis besar bisa terbagi menjadi dua pendapat. Pertama : yang mengatakan bahwa hadis tersebut termasuk “mutasyabihat” atau yang sukar dipahami maknanya. Kedua :  yang mengatakan bahwa hadis tersebut bisa dipahami maknanya.
Mereka yang bisa memahami maksud hadis tersebut berbeda dalam memahami kata “tujuh” pada hadis tersebut. Ada yang memaknai sebagai bilangan yang pasti yaitu antara bilangan “delapan” dan “enam”. Dan adapula yang memaknai angka tersebut sebagai kiasan dari sesuatu yang banyak, sebagaimana bilangan tujuh puluh untuk bilangan banyak pada hitungan “puluhan” sebagaimana firman Allah :
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ [التوبة : 80]
Atau bilangan tujuh ratus untuk bilangan ratusan sebagaimana firman Allah :
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261) [البقرة : 261]
Jika yang dimaksud dengan bilangan “tujuh” adalah kiasan untuk arti banyak, maka pengertian hadis tersebut adalah bahwa Al-Qur’an bisa dibaca dengan banyak ragam bacaan dan semuanya berasal dari Allah.
Sementara mereka yang berpendapat bahwa bilangan tujuh adalah “haqiqatul ‘adad” juga berbeda pendapat didalam menentukan tujuh huruf tersebut.
Ada yang berpendapat “tujuh” bahasa” sebagaimana yang diutarakan oleh Abu “ubaid al-Qasim bin Sallam” (w 224 H) dengan arti bahwa tujuh bahasa tersebut adalah induk dari bahasa-bahasa arab yang masyhur seperti : Quraisy, Hudzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin, Sa’d bin Bakr. Satu bahasa terkadang lebih banyak digunakan dari yang lainnya, tapi tidak sampai keluar dari tujuh bahasa tersebut. Mereka pun berbeda pendapat dalam menentukan  tujuh bahasa tersebut.
Ada yang berpendapat bahwa maksud dengan “sab’atu ahruf” adalah “sab’ Qira’at”( tujuh bacaan). Artinya ada beberapa kalimat al-Qur’an yang dibaca dengan satu bacaan saja. Ada juga yang dibaca dengan dua, tiga, tapi  maksimal sampai tujuh aneka bacaan.
Ada yang memaknai bahwa maksud dengan sab’atu ahruf adalah “sab’atu Aujuh” atau tujuh macam perbedaan dalam cara pengucapan. Contohnya antara “mufrad dan jama’, antara mudzakkar dan muannats, antara taqdim dan ta’khir dan lain sebagainya. Mereka yang mengikuti pendapat inipun, seperti analisa Ibn al-Jazari(w 833 H) berbeda dengan analisa dan abul Fadl ar-Razi. Ar-Razi mengatakan bahwa tujuh macam perbedaan itu seperti : 1. Perbedaan bentuk isim seperti mufrad-tatsniyah-Jama’ antara Tadzkir-Ta’nits. 2. Perbedaan bentuk fi’il seperti Madli-mudlari’-Amar. 3.Perbedaan I’rab seperti : Rafa’-Nashab-Jazm. 4.Naqsh-Ziyadah (penambahan dan pengurangan huruf). 5.Taqdim-Ta’khir.6.Ibdal (mengganti huruf).7.Perbedaan dialek seperti : Imalah-Fath, Tarqiq-Tafkhim, Idgham-Izhar dlsb. (al-Itqan : 1/131). Sementara Ibn al-Jazari mengatakan bahwa 7 macam perbedaan itu adalah : 1.Perbedaan harakat tanpa merobah makna dan bentuk kalimat seperti : ( البخل ) ( يحسب ). 2.Perbedaan huruf yang menyebabkan perbedaan makna  bukan bentuk kalimat (shurah)  seperti :( فتلقى آدم من ربه كلمات )   .3.Perbedaan huruf yang menyebabkan perbedaan makna, tapi tidak dalam bentuk kalimatnya(shurah)  seperti :  ( هنالك تبلوا – تتلوا ) ( ننجيك – ننحيك ) .4.Perbedaan huruf  yang tidak merobah makna seperti : ( الصراط – السراط ). 5.Perobahan huruf dan makna seperti : ( فامضوا الى ذكر الله – فاسعوا ) ( أشد منكم – منهم  قوة )  6.Taqdim-Ta’khir seperti : ( فيقلتون ويقتلون ).7.Tambahan dan pengurangan huruf seperti :. ( ووصى – وأوصى ) (an-Nasyr : 1/38). Ibn al-Jazari memandang bahwa perbedaan dari segi bacaan : Imalah-Fath, Idgham-Izhar, Raum-Isymam, Tafkhim-Tarqiq, tahqiq-tashil-Ibdal-Naql, Mad-Qashr, bukan perbedaan yang hakiki.
Masih banyak lagi ulama yang memberikan komentar terhadap hadis diatas. Imam Sayuthi menyebutkan sampai 36 pendapat. Dari ke 36 pendapat tersebut ada yang lebih mendekati kepada “ruh an-nash” ada yang sudah diluar jalur, seperti mereka yang menganalisa tujuh macam perbedaan tersebut terkait dengan makna, seperti “halal-haram”, “janji-ancaman” dan lain sebagainya. Adanya banyak pendapat tersebut dikarenakan tidak adanya satu teks/nash dari nabi atau sahabat yang menjelaskan arti “Sab’atu Ahruf” sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi seperti dikutip oleh az-Zarkasyi dalam kitab “al-Burhan” :
وقال ابن العربي  ):لم يأت في معنى هذا السبع نص ولا أثر واختلف الناس في تعيينها(البرهان في علوم القرآن - (1 / 212)
Artinya : tidak ada satu penjelasanpun yang menentukan arti dari “sab’atu ahruf” ini. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat.
Dalam pandangan penulis, menentukan “sab’atu ahruf” dalam ketiadaan “nash” atau “atsar” hanyalah ijtihadi saja, bukan merupakan kepastian. Boleh jadi begitu, boleh juga lainnya. Yang perlu digaris bawahi dalam mengamati arti “sab’atu ahruf” adalah bahwa nabi mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya: 1. dengan “aujuh mutaghayirah” (beragam bacaan). Satu bacaan berbeda dengan lainnya dari segi cara pelafalannya. Perbedaan tersebut adakalanya terkait dengan bahasa, dialek, atau lainnya. Adakalanya menyebabkan perbedaan makna dan adakalanya tidak. 2.Beragam bacaan tersebut semuanya “munazzalah” atau diturunkan oleh Allah kepada nabiNya atau semuanya berasal dari Allah melalui nabiNya. 3.Tujuan dari semuanya  adalah untuk memudahkan bagi umatnya.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang eksistensi “sab’atu ahruf” saat ini. Apakah masih eksis atau tinggal satu huruf yaitu Harf Quraisy. Begitu juga mereka berbeda pendapat tentang eksistensi sab’atu ahruf pada rasm usmani. Ada yang mengatakan tinggal satu yaitu harf quraisy. Ada yang mengatakan semuanya masih ada, karena umat islam tidak bisa menghilangkan bacaan yang pernah diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Mereka harus mempertahankan eksistensi Qira’at-qira’at tersebut.  Ibn al-jazari berpendapat bahwa tulisan pada mushaf usmani yang ada sajalah yang  masih mencakup al-Ahruf as-Sab’ah. Hal itu tidak mengikut sertakan bacaan yang telah di nasakh.  Menurut pendapat penulis apa yang dikatakan oleh Ibn al-Jazari cukup beralasan mengingat ragam bacaan yang terdapat pada qira’ah tujuh atau sepuluh masih bisa dibayangkan unsur “taysir” atau kemudahannya seperti bacaan idgham atau imalah dan lain sebagainya. Bisa dikatakan bahwa bacaan yang ada pada Qira’at Tujuh dan Sepuluh adalah sebagian dari al-Ahruf as-Sab’ah yang dahulu pernah diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Nabi berkata :
إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرءوا ما تيسر منه. الإنصاف للباقلاني - (1 / 28)
Artinya : sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya.
Perkataan nabi ini menjelaskan bahwa umat islam tidak wajib membaca semua varian bacaan, tapi mereka diperbolehkan memilih dari beberapa varian bacaan yang ada sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka. Perkataan nabi ini  memberikanpemahaman bahwa mempertahankan keseluruhan al-Ahruf as-Sab’ah adalah tidaklah wajib.  Betapapun demikian, bacaan yang mutawatir perlu dilestarikan untuk menjaga keaslian dan ke otentikan Al-Qur’an.
II.Masa Perkembangan.
Masa perkembangan qira’at ditengarai dengan tiga hal yaitu :
a. Berpencarnya sahabat nabi di berbagai pelosok negeri islam untuk mengajarkan Al-Qur’an dan ajaran islam pada umumnya.
b. Munculnya komunitas Al-Qur’an pada setiap negeri.
c. Munculnya Ahli-Ahli Al-Qur’an pada setiap negeri.
Berikut uraiannya. Fase pertama dari masa perkembangan qira’at  dimulai dari berpencarnya para sahabat nabi ke beberapa negeri islam disusul dengan terbentuknya komunitas ahli qira’at di negeri-negeri tersebut.  Seperti Abu Musa al-Asy’ari datang ke  kota basrah dan menyebarkan Al-Qur’an di negeri tersebut. Ibn Mas’ud ke Kufah, Abud Darda’ ke kota Syam, dan lain sebagainya. Di kota kota tersebut mereka mengajarkan Al-Qur’an kepada kaum muslimin setempat. Bacaan yang mereka ajarkan adalah apa yang telah mereka terima dari nabi. Setelah mushhaf al-Imam selesai ditulis pada masa Khalifah Usman, bacaan yang sesuai dengan mushhaf tersebut langsung di sosialisasikan kepada publik.
Fase berikutnya adalah fase munculnya komunitas Al-Qur’an pada setiap negeri. Pada fase ini  muncul para Imam-Imam Qira’at pada setiap negeri-negeri Islam. Para pakar Qira’at pada masa lalu seperti : di Madinah muncul nama Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin Zubair, Umar bin Abdul Aziz dll. Di Mekah muncul nama : Ubaid bin Umair, ‘Atha’, Thawus dan lain lainnya. Di Kufah muncul nama- nama Aswad bin Yazid, ‘Alqamah, Masruq dan lain lainnya. Di Bashrah muncul ‘Amir bin Abd Qais, Yahya bin Ya’mur, Nashr bin ‘Ashim dan lain lainnya. Di Syam muncul nama –nama Mughirah bin Abi Syhihab, Khulaid bin Sa’d dan lain lainnya.

Fase ketiga dari fase perkembangan adalah fase munculnya ahli-ahli qira’at. Pada fase ini muncul generasi baru yang mempunyai perhatian lebih serius lagi terhadap bacaan yang sampai kepada mereka . Maka muncullah nama- nama ahli qira’at yang terkenal pada setiap negeri seperti : Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’, Nafi’ di madinah. Abdullah bin Katsir, Humaid bin Qais dan lain lainnya di Mekkah. Ashim, Hamzah, Kisa’i dan lain lainnya di kufah. Abu ‘Amr bin al-‘Ala’, Ya’qub, Isa bin Umar dan lain lainnya di Basrah. Di Syam muncul Abdullah bin ‘Amir, Yahya bin al-harits adz-Dzimmari dan lain lainnya. Mekekalah generasi yang akhirnya mampu menjadikan Ilmu Qir’at lebih kokoh lagi.
III.Masa Penulisan (tadwin) Ilmu Qira’at.
        Pada perkembangan berikutnya, dan sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman lainnya, Ilmu Qira’at memasuki tahap pentadwinan. Sebagian peneliti mengatakan bahwa pentadwinan Ilmu Qira’at dimulai pada akhir abad pertama hijriyah. Disebutkan bahwa Yahya bin Ya’mur (w 90 h) murid dari Abul Aswad ad-Du’ali adalah orang pertama yang menulis Ilmu Qira’at. Lalu berturut turut muncul kitab –kitab qira’at lainnya seperti yang di lakukan oleh Abdullah bin Amir ( w 118 h), Aban bin Taghlib al-Kufi (w 141 h), Muqatil bin Sulaiman (w 150 h) Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ al Bashri (w 156 h), Hamzah bin habib az-Zayyat (w 156 h), harun bin Musa al-A’war (w 170 h), al-Akhfasy al-Kabir (w 177 h), al-Kisa’I (w 189 h), Ya’qub al-Hadrami (w 205 h), Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam (w 224 h), Abu Umar, Hafsh bin Umar ad-Duri (w 246 h), Abu Hatim as-Sijistani (w 255 h), dan lain lainnya. Sebagian mengatakan bahwa Abu Ubaid lah sebenarnya orang yang pertama kali menulis kitab Ilmu Qira’at.  Dia telah menghimpun bacaannya 25 Imam. Termasuk didalamnya Imam Tujuh yang terkenal itu.
IV.Pembakuan Qira’at Sab’ah.
Penulisan Ilmu Qira’at pada abad pertama, kedua dan ketiga lebih cenderung kepada penghimpunan riwayat dalam qira’at yang sampai kepada mereka tanpa melihat kwalitas dari periwayatan yang ada. Terlebih pada kitab qira’at yang menghimpun banyak Imam dan riwayat.  Boleh jadi pada riwayat yang dihimpun ada riwayat yang tidak masuk dalam kriteria riwayat  yang sahih. Dari sinilah tersebar riwayat riwayat tersebut di tengah masyarakat. Melihat gejala yang demikian ini seorang ahli qira’at dari Baghdad yang bernama Ibn Mujahid Ahmad bin Musa bin al-Abbas  al-Baghdadi (w 324 h) berinsiatif untuk menghimpun Qira’at yang  mewakili setiap negeri islam yang betul- betul merepresentasikan qira’at yang mutawatir. Sehingga masyarakat bisa lega dan tenang. Karena apa yang ada pada kitab ini betul-betul qira’at yang disepakati keasahihannya oleh para ulama qira’at pada masa itu. Sebagai contoh, bacaan Ibn Katsir adalah bacaan yang disepakati oleh penduduk Mekah pada saat itu. Di Syam bacaan yang paling masyhur adalah bacaan Ibn ‘Amir, dan seterusnya.   Ibnu Mujahid  menulis kitab “as-Sab’ah” yang menghimpun bacaannya tujuh Imam Qira’at yang terkenal. Mereka adalah : 1.Nafi’ bin Abi an-najud dari Madinah. 2.  Abdullah bin  Katsir (w 120 h) dari Mekah. 3. Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ al-Bashri (w 154 h) dari Basrah. 4.  Abdullah bin ‘Amir (w 118 h) dari Syam. 5. ‘Ashim bin Abi an-Najud (w 127 h). 6. Hamzah bin Habib az-Zayyat (w 156 h) dan 7. ‘Ali bin Hamzah al-Kisa’i (w 189 h), ketiganya dari Kufah.
Setelah kemunculan Kitab “as-Sab’ah”, para ulama menyikapinya berbeda. Ada yang pro dan ada yang tidak setuju. yang pro menindak lanjuti dengan mengadakan penelitian tentang segala aspek riwayat dan bacaan  yang bermuara kepada Imam Tujuh tersebut. Lalu muncul kitab –kitab yang membicarakan bacaan Imam Tujuh tersebut. Sementara itu  penulisan Ilmu Qira’at masih terus berlangsung. Ada yang menghimpun bacaannya Imam Tujuh dan adapula yang menghimpun bacaan Imam Lima.Imam Delapan Imam Sembilan dan lebih dari itu.  
V.Dari Imam Ibn Mujahid (w 324 h) sampai Ibn al-Jazari (w 833 h).
Apa yang dilakukan oleh Imam Ibn Mujahid ternyata mendapatkan respons yang sangat positif dari komunitas qira’at pada masanya dan masa setelahnya. Salah satu yang meresopons prakarsa Ibn Mujahid adalah Imam Abu ‘Amr ad-Dani (w 444 h). ad-Dani mempunyai ambisi yang sangat tinggi untuk menghimpun riwayat yang bermuara pada Imam Tujuh. Kitabnya “Jami’ul Bayan Fil Qira’at as-Sab’ “ merupakan kitab tentang Qira’ah Sab’ah yang paling luas cakupannya dalam periwayatan. Ada lebih dari 500 riwayat dan Thariq yang bermuara pada Imam Tujuh. Melihat cakupannya yang demikian banyak, ad-Dani meringkas periwayatan dari Imam Tujuh menjadi dua perawi saja dari setiap Imam. Hal itu bisa dilihat dalam kitabnya “at-Taysir” . Dalam kitab “at-Taysir” Imam Nafi’ mempunyai dua perawi yaitu : Qalun dan Warsy. Imam Ibn Katsir dengan perawinya : al-Bazzi dan Qunbul. Imam Abu ‘Amr al-bashri dengan perawinya : ad-Duri dan as-Susi. Imam Ibn ‘Amir dengan perawinya : Hisyam dan Ibn Dzakwan. Imam ‘Ashim dengan perawinya : Syu’bah dan Hafsh. Imam Hamzah dengan perawinya : Khalaf dan Khallad. Imam Kisa’I denganperawinya : Abu al-harits dan ad-Duri al-Kisa’i. Boleh dikata bahwa abad ke lima hijriyah adalah masa penyederhanaan rawi-rawi qira’at.
Apa yang ditulis oleh ad-Dani ditindak lanjuti oleh Imam Syathibi (w 591 h) dengan menazhamkan materi kitab “at-taysir” kedalam satu karya master Piecenya yaitu “Hirzul Amani wa wajhuttahani” . Nazham yang sangat memukau banyak kalangan ini  berisi 1171 bait. Nazham  ini cepat mendapat sambutan yang sangat antusias dari para pakar Ilmu Qira’at. Tidak kurang 50 kitab yang mensyarahi kitab ini. Ilmu Qira’at sab’ah bisa menyebar ke pelosok negeri karena kitab ini. 
Perkembanagn Ilmu Qira’at tidak terhenti sampai disini. Karena ternyata Imam Ibn al-jazari (w 833 h) yang telah mendapatkan banyak pengalaman dalam menimba Ilmu Qira’at mampu meyakinkan banyak kalangan untuk menerima kehadiran qira’at sepuluh yaitu qira’at tujuh ditambah dengan qira’at tiga Imam lainnya yaitu Imam Abu Ja’far Yazid bin al-Qa’qa’ (w 130 h), Ya’qub al-Hadlrami (w 205 h) dan Khalaf bin Hisyam al-Bazzar (w 229 h).  Ibn al-Jazari menulis beberapa kitab tentang qira’at antara lain :
1.Kitab Nazham yang bertajuk “ad-Durrah al-Mudli’ah fil Qira’at al-Mutammimah lil’Asyrah”. Kitab ini terdiri dari  241 bait yang berisi tentang bacaan Imam Tiga yaitu :Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq al-Hadlrami  dan Khalaf bin Hisyam al-Bazzar  atau disebut juga dengan Khalaf al-‘asyir. Jalur periwayatan yang dianut Ibn al-Jazari dalam kitab “ad-Durrah mengikuti jalur periwayatan Imam Syathibi yaitu hanya mengikut sertakan dua perawi dari setiap Imam dan satu “Thariq’ dari setiap perawi. Kecuali riwayat “Idris” dari Khalaf al-‘Asyir yang mempunyai dua (2) thariq. (Lihat Muqaddimah Thayybah an-Nasyr oleh Tamim az-Zu’bi). Perawi yang  disertakan adalah perawi  “Magharibah” . jumlah Thariq yang ada pada kitab “ad-Durrah” adalah 21 Thariq.
2.Kitab “Tahbir at-Taysir” yang menghimpun sepuluh bacaan Imam sepuluh dengan mengikuti perawi dan thariq yang ada pada nazham “Syathibiyyah” yaitu setiap Imam diikuti oleh dua perawi dan setiap perawi diiukti oleh satu thariq saja yaitu thariq para perawi magharibah (Mesir). Para ulama menyebut qira’at sepuluh yang ada pada kitab ini sebagai “al-Qira’at al-‘Asyr ash-Shughra”
3.Kitab “an-Nasyr fil Qira’at al-‘Asyr”. Kitab ini  mendapatkan apresisasi yang demikian tinggi dari banyak kalangan karena kepiawaian Ibn al-Jazari dalam mentahqiq bacaan yang ada pada sekitar 40 kitab yang menjadi rujukannya, melalui jalur-jalur periwayatan yang demikian rumit. Jumlah thariq yang dipakai dalam kitab ini adalah 80 thariq, karena setiap Imam dari Imam Sepuluh mempunyai dua perawi, setiap perawi mempunyai dua thariq dan setiap thariq mempunyai dua thariq lagi yaitu thariq Masyriqiyyah (Iraq) dan Maghribiyyah (Mesir). Dari jumlah 80 thariq diatas masih mempunyai akar thariq dibawahnya yang jumlahnya sekitar 980  thariq (Lihat Muqaddimah Thayyibah an-Nasyr oleh amim az-Zu’bi hal.2).
4.Kitab bernazham  yaitu “Thayyibah an-Nasyr” yang terdiri dari 1015 bait. Kitab ini  merupakan ringkasan dari kitab “an-Nasyr” mendapatkan pujian dari banyak kalangan. Dalam kitab “Thayyibah an-nasyr” Imam Ibn al-jazari menghimpun banyak riwayat melebihi dari riwayat yang ada pada “Syathibiyyah”. Semuanya mutawatir. Karena banyaknya riwayat yang terhimpun dalam kitab ini, ulama menyebutnya dengan “al-Qiraat al-‘Asyr al-Kubra”. Masyarakat Qira’at menunggu sampai empat abad lamanya semenjak masa Imam Syathibi (w 591 h) sampai masa Imam Ibn al-Jazari untuk bisa menerima kehadiran qira’at sepuluh sebagai bacaan yang mutawatir.
Perkembangan Ilmu Qira’at Pada Masa Kini.
Setelah lama Ilmu Qira’at tidak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan, pada saat ini Ilmu Qira’at kembali bangkit. Hal itu bisa dilihat dari beberapa hal : yaitu :
Pertama : banyaknya institusi pendidikan yang memfokuskan pada bidang ini seperti:
1.Kulliyyatul Qur’an di madinah Saudi Arabia. 
2.Jami’atu Ulum al-Qur’an dan Studi Islam di al-Khurthum Sudan
3.Di situs “Multaqa Ahl al-Hadis” disebutkan bahwa di Mesir ada sekitar 24 Ma’had al-Qira’at antara lain Kulliyyatul Qur’an di Thantha Kairo Mesir. Ma’had al-Qira’at di Dasuq  Mesir. Ma’had al-Qira’at di Khazandarah (Ibtisamah) Syubra Kairo Mesir dan lain –lainnya.
4.Kulliyyatul Qur’an di Yaman.
5.Program Studi Ulum al-Qur’an di Jami’ah Ummil Qura.
6.Institul Ilmu al-Qur’an (IIQ) di Jakarta yang berdiri pada tahun 1977. Institut PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) di jakarta yang berdiri pada tahun 1971. UNSIQ (Universitas Sains Ilmu Al-Qur’an) di Wonosobo Jawa Tengah. STAIPIQ di Padang Sumatra Barat. PIQ (Pesantren Ilmu Al-Qur’an) di Malang Jawa Timur, Dan lain lainnya.
Disamping itu banyak kalangan yang mengajarkan  Ilmu Qira’at secara privat di masjid-masjid,  seperti di Syria, Turki dan lain lainnya.
Kedua : banyaknya Makhthuthat tentang Ilmu Qira’at yang ditahqiq oleh mahasiswa program Magister maupun Doktor di Institusi pendidikan tinggi di Saudi atau di Mesir dan lain  lainnya. Hampir semua kitab yang dijadikan rujukan oleh Imam Ibn al-jazari yang masih berupa “makhththat” kini telah di cetak. Begitu juga kitab-kitab yang berkaitan dengan qira’at, seperti kitab –kitab al-Hujjah fil qira’at karya Ibn Khalawaih, Ibn Zanjalah, Abu ‘Ali al-Farisi dan lain lainnya.
Ketiga : banyaknya kitab –kitab yang ditulis untuk mengkaji Ilmu Qira’at dalam berbagai aspeknya, seperti yang di tulis oleh Abdushabur Syahin dalam kitabnya : Ilmul Qira’at fi Dlau’ Ilm al-Lughah al-Hadits. Abduh ar-Rajhi menyusun  kitab “al-Qira’at wa al-Lahajat. Dan lain lainnya.
Keempat  : banyaknya rekaman kaset yang merekam bacaan qira’at sab’ah dan ‘asyrah seperti yang di lakukan oleh mujamma’ malik Fahd di madinah Saudi yang merekan riwayat Hafsh, Qalun, Warsy dan ad-Duri.  Syekh Mu’ashrawi ketua Lajnah Mura’ah al-Mashahif di Al-Azhar Mesir, Syekh Rasyid dan lain sebagainya.
          Dari pemaparan diatas bisa kita katakan bahwa generasi masa kini terutama komunitas ahli qira’at merasa perlu mempelajari Ilmu Qira’at sebagai rasa tanggung jawab mereka untuk terus menjaga kemurnian al-Qur’an baik dari segi bacaannya dengan ragam bacaan yang mutawatir, atau tulisannya atau isinya. Kaum muslimin perlu merasa bangga bahwa mereka masih mempunyai satu kitab suci yang menjadi pegangan hidup mereka. Barometer kebaikan, keadilan, kebenaran dari tindakan manusia ada di dalam al-Qur’an. Mas’alahnya sekarang bukan pada al-Qur’annya tapi pada mereka yang menawarkan dan mensosialisasikan al-Qur’an kepada masyarakat. Jika pembawa al-Qur’an bisa mencerminkan nilai yang ada di dalam al-Qur’an, bisa mengemas isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan sesuai dengan dinamika masyarakat modern, dengan tanpa mengorbankan nilai-nilainya yang abadi, maka  diharapkan bahwa al-Qur’an kembali bersinar dan memancarkan cahayanya di tengah –tengah masyarakat.
BAGIAN KEDUA : TARANNUM.
Pengertian : Tarannum sebagaimana dikatakan oleh Ibn Faris ialah : melagukan suaranya.
 (رنم) الراء والنون والميم أُصَيلٌ صحيح في الأصوات. يقال ترنَّمَ، إذا رجَّع صوتَه. )معجم مقاييس اللغة لابن فارس –( (2 / 445)
Artinya : akar kata yang terdiri dari huruf (Ra’-Nun-Mim) merupakan akar kata yang asli, digunakan untuk melagukan suara.
Istilah lain yang disamping istilah Tarannum yang digunakan untuk melagukan adalah :
1.at-Taghanni dari “al-Ghina’yaitu lagu yang bisa menyenangkan hati atau membikin hati riang gembira. Abul ‘Abbas sebagaimana yang dikutip oleh Labib Sa’id dalam kitabnya “at-Taghanni bil Qur’an” mengatakan bahwa lagu (ghina’) dikatan demikian, karena orang yang mendengarkannya merasa cukup (yastaghni) dengannya dari banyak perkataan.    
وقال أبو العباس: ويقال إن الغناء إنما سمى غناء، لأنه يستغنى به صاحبه عن كثير من الأحاديث، ويفر إليه منها، ويؤثره عليها  ) التغني بالقرآن (- (1 / 6)

Dalam melagukan sesuatu, seorang harus mengetahui situasi dan kondisinya. Dalam situasi perang, lagu yang cocok adalah lagu yang menggelorakan semangat juang. Pada saat adanya kematian  seseorang, atau ingat kepada kampung halaman lagu yang cocok adalah yang sendu. Pada saat riang gembira, lagu yang cocok adalah yang lagu yang mempunyai nada riang dan seterusnya.
2.at-Talhin atau al-Lahn. Labib Sa’id dalam kitabnya diatas mengutip pendapat Sajaqli Zadah mengatakan:
وقال ساجقلى زاده: وبالحملة، ان اللحن يجئ بمعنين: (أحدهما) الخطأ في القراءات (والآخر) الصوت الحسن المطرب )التغني بالقرآن - (1 / 7)

bahwa ungkapan “al-Lahn” digunakan untuk dua pengertian : pertama : kesalahan dalam membaca (al-Khatha’ fi al-Qira’at). Kedua : suara yang bagus, merdu yang menyenangkan, menghibur (ash-Shaut al-Hasan al-Muthrib ) (Lihat. At-Taghanni bil Qur’an, dalam al-Maktabah asy-Syamilah).
3.at-Tarji’ atau melagukan sesuatu. Dikatakan demikian karena seorang yang sedang melagu dia akan mebolak balikkan dan melenggak lenggokkan suaranya. Ibn faris berkata :  ترنم اذا رجع صوته  dia bersenandung ketika melenggang lenggokkan suaranya. (Lih. Mu’jam Maqayis, pada kosa kata : R-N-M) .
4.at-Tathrib dari ath-Tharb yaitu bersenandung. Kegembiraan. Senang.  Ibn Faris dalam “Mu’jam Maqayis” mengatakan bahwa akar kata yang terdiri dari : Tha’-Ra’-Ba’ mempunyai arti :   خِفّة تُصيب الرَّجُلَ من شدةِ سرور أو غيره    perasaan riang gembira pada seseorang . akar kata tersebut juga berarti    وطرَّب في صوته، إذا مدَّه memanjangkan suara. Alat musik disebut juga dengan Alat ath-Tharb karena bisa menggembirakan dan menyenangkan.
Melagukan Bacaan al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang bahasanya sangat Indah. Tidak ada seorangpun yang mampu mendatangkan semisal Al-Qur’an. Jika keindahan bahasa dibacakan oleh seseorang yang mempunyai suara yang indah dengan selalu memerhatikan hukum-hukum ilmu Tajwid akan memberikan pengaruh yang demikian mendalam bagi para pendengarnya. Namun dalam menanggapi persoalan ini yaitu melagukan bacaan al-Qur’an, para ulama sebagaimana dikemukakan oleh Syekh ‘Ali as-Shabuni dalam kitabnya “Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam”, terbagi menjadi dua pendapat.
Pertama: mereka yang menolak dan tidak setuju melagukan bacaan Al-Qur’an. Inilah pendapat ulama dari Madzhab Maliki dan Hambali. Pendapat ini dipegangi oleh Sahabat Anas bin Malik, Sa’id bin al-Mausayyab, Sa’id bin Jubair, al-asim bin Muhammad, al-Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakh’i dan lain lainnya.
Kedua : mereka yang setuju melagukan bacaan Al-Qur’an yaitu ulama dari madhab Syafi’i dan Hanafi. Pendapat ini dipegangi oleh Umar bin al-Khaththab, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Abdurrahman bin al-Aswad bin Zaid, Abu Ja’far ath-Thabari, Abu bakar bin al-‘Arabi dan lain lainnya.
Berikut ini alasan masing-masing.
Mereka yang tidak setuju memberikan beberapa alasan antara lain:
Pertama : hadis nabi : 
حديث : « أقرءوا القرآن بلحون العرب وأصواتهم ، وإيّاكم ولحونَ أهل الكتاب والفسق ، فإنه يجيءُ من بعدي أقوام يرجّعُون بالقرآن ترجّع الغناء والنوح ، لا يجاوز حناجرهُمْ ، مفتونةٌ قلوبُهم وقلوبُ الذين يعجبهم شأنُهم »
Artinya : bacalah al-Qur’an dengan “lahn” (bacaan, langgam) orang arab dan suara mereka. Jauhilah olehmu (melagukan al-Qur’an) dengan lagunya ahli kitab dan orang fasik. Akan datang setelahku orang-orang yang akan melagukan al-Qur’an sebagaimana penyanyi berlagu,  berdendang dan berteriak teriak. Bacaan mereka hanya terhenti di tenggorokan mereka. Hati mereka terkena fitnah begitu juga hati orang yang memuji mereka.
Dari hadis ini disebutkan bagaimana nabi memberikan peringatan terhadap mereka yang melagukan bacaan al-Qur’an seperti penyanyi.
Kedua : nabi pernah berkata mengomentari mereka yang membaca al-Qur’an dengan berlagu :
حديث : « يتخذون القرآن مزامير ، يقدّمون أحدهم ليس بأقرئهم ولا أفضلهم ليغنّيَهم غناءً » .
Artinya : mereka (pembaca al-Qur’an) menjadikan al-Qur’an seperti seruling. Mereka mengajukan (sebagai Imam salat) orang yang bukan ahli membaca al-Qur’an dan  bukan orang yang terpilih, dia melagukan al-Qur’an seperti bernyanyi.
Ketiga : diriwayatkan ada seorang sahabat yang melakukan azan (bang) dengan berlagu, lalu nabi menegurnya dengan mengatakan :
حديث : « إنّ الأذانَ سهلٌ سمحٌ ، فإن كان أذانُك سهلاً سمحاً وإلاَّ فلا تؤذّن »
Artinya : azan itu mudah, gampang. Jika azanmu itu mudah dan gampang, lakukanlah, jika tidak, jangan kau lakukan.
Keempat : Ketika orang berlagu ketika membaca al-Qur’an, bisa jadi dia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kaedah ilmu tajwid seperti memanjangkan bacaan yang semestinya pendek, melunakkan hamzah yang semestinya dibaca keras, membaca satu huruf dengan beberapa huruf. Hal ini jelas tidak boleh terjadi.
Kelima : dengan melagukan bacaan bisa jadi unsur “tadabbur” atau menghayati arti kandungan al-Qur’an menjadi hilang karena pembaca akan banyak konsentrasi pada lagu.
Keenam : Imam Malik pernah ditanya tentang hukumnya orang yang melagukan bacaan al-Qur’an diwaktu salat, beliau menjawab : aku tidak menyukainya dan berkata :
إنما هو غناء يتغنّون به ليأخذوا عليه الدراهم
Artinya : itulah nyanyian, mereka bernyanyi  yang tujuannya mencari uang.
Ketujuh : Imam Ahmad ditanya tentang melagukan bacaan al-Qur’an. Beliau menjawab : itu adalah bid’ah, tidak boleh didengarkan.
Kedelapan: Ibn Khaldun salah satu penganut madzhab maliki berkata :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 243)
وقد أنكر مالك رحمه الله تعالى القراءة بالتلحين، وأجازها الشافعي رضي الله تعالى عنه. وليس المراد تلحين الموسيقى الصناعي، فإنه لا ينبغي أن يختلف في حظره، إذ صناعة الغناء مباينة للقرآن بكل وجه، لأن القراءة والأداء تحتاج إلى مقدار من الصوت لتعيين أداء الحروف من حيث إتباع الحركات في مواضعها، ومقدار المد عند من يطلقة أو يقصره، وأمثال ذلك. والتلحين أيضاً يتعين له مقدار من الصوت لا يتم إلا به من أجل التناسب الذي قلناه في حقيقة التلحين. فاعتبار أحدهما قد يخل بالأخر إذا تعارضا. وتقديم التلاوة متعين فراراً من تغيير الرواية المنقولة في القرآن، فلا يمكن اجتماع التلحين والأداء المعتبر في القرآن بوجه. وإنما المراد عن اختلافهم التلحين البسيط الذي يهتدي إليه صاحب المضمار بطبعه كما قدمناه، فيردد أصواته ترديداً على نسب يدركها العالم بالغناء وغيره، ولا ينبغبي ذلك بوجه كما قاله مالك. هذا هو محل الخلاف. والظاهر تنزية القرآن عن هذا كله كما ذهب إليه الإمام رحمه الله تعالى، لأن القرآن هو محل خشوع بذكر الموت وما بعده وليس مقام التذاذ بإدراك الحسن من الأصوات. وهكذا كانت قراءة الصحابة رضي الله عنهم كما في أخبارهم.
Secara jelas Ibn Khaldun mengatakan bahwa Imam Malik tidak setuju membaca al-Qur’an dengan “Talhin” atau tarannum. Sementara Imam Syafi’i membolehkannya. Karena –alasan Ibn Khaldun- antara tilawah dan talhin mempunyai karakter yang berbeda. Tilawah mengharuskan seseorang membacakan huruf-huruf dan kalimat kalimat al-Qur’an sesuai dengan alur periwayatan, sementara dalam “talhin”seorang juga harus menjaga notasi musiknya, sehingga jika di praktikkan pada tilawah akan mengakibatkan distorsi pada tilawah. Inilah yang membahayakan. Tilawah mengharuskan seseorang untuk membaca dengan khusyu’, sementara talhin lebih mengutamakan nada dan not lagu.  Betapapun demikian Ibn Khaldun masih membolehkan membaca al-Qur’an dengan “at- Talhin al-Basith” atau talhin yang sederhana yang tidak merobah hukum tajwid.(Ibid).
Dalil Madzhab Kedua :
Pertama :  hadis nabi :
( من لم يتغنّ بالقرآن فليس منا) (رواه أبو داود بإسناد جيد(
Artinya : barang siapa yang tidak melagukan al-Qur’an, dia bukan dari golonganku (tidak mengikuti perilakuku).
Para ulama banyak mengartikan kata “yataghanna” dengan membaguskan bacaan.  Ibn Jarir ath-Thabari berkata :
التغني بالقرآن - (1 / 23)
والمعروف في كلام العرب أن التغني إنما هو الغناء الذى هو حسن الصوت بالترجيع.
Artinya : yang masyhur pada perkataan orang arab, ungkapan “Taghanni” ialah melagukan, dengan membaguskan bacaan dengan berlagu.
Imam al-Khaththabi memberikan latar belakang akan munculnya hadis tersebut. Dia berkata :
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري - الغنيمان - (2 / 460)
وقال الخطابي: (( إن العرب كانت تولع بالغناء والنشيد في أكثر أحوالها، فلما نزل القرآن أحب أن يكون هجيراهم مكان الغناء، فقال: ليس منا من لم يتغن بالقرآن )) (4).
Artinya : orang arab sangat gandrung dengan nyanyian pada banyak kesempatan. Pada saat al-Qur’an turun, nabi menginginkan agar kebiasaan itu digantikan dengan melagukan bacaan al-Qur’an. Nabi berkata : barangsiapa yang tidak melagukan bacaan al-Qur’an, maka dia bukan termasuk dalam kelompokku.
Kedua :  nabi pernah berkata :
زاد المعاد - (1 / 466)
مَا أَذِنَ اللّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيّ حَسَنِ الصّوْتِ يَتَغَنّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ
Artinya : Allah tidak antusias mendengarkan sesuatu sebagaimana antusiasNya mendengarkan seorang nabi yang mempunyai suara yang bagus, melagukan al-Qur’an, memperdengarkan bacaannya.
Ketiga : hadis nabi :
فتح الباري - ابن حجر - (9 / 69)
)الله أشد أذنا إلى الرجل الحسن الصوت بالقرآن من صاحب القينة إلى قينته  (رواه أحمد وبن ماجة والحاكم وصححه من حديث فضالة بن عبيد
Artinya : Allah sangat senang mendengarkan bacaan seorang yang mempunyai suara yang bagus dalam membaca al-Qur’an dari pada kesenangan seorang yang mempunyai budak mendengarkan budaknya bernyanyi.
Keempat : ketika nabi pulang dari perjanjian Hudaibiyah nabi pernah membaca surah “al-Fath” dengan melagukannya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
قال الإمام أحمد (1) حدثنا وَكِيع، حدثنا شُعْبَة، عن معاوية بن قرة قال: سمعت عبد الله بن مغفل يقول: قرأ رسول الله صلى الله عليه وسلم عام الفتح في مسيره سورة الفتح على راحلته فرجَّع فيها -قال معاوية: لولا أني أكره أن يجتمع الناس علينا لحكيت لكم قراءته، أخرجاه من حديث شعبة به (2))  تفسير ابن كثير - (7 / 325)
Artinya : nabi membaca surah al-Fath diatas untanya dalam perjalanan, nabi membacanya dengan melagukannya. Mu’awiyah berkata : jika saja aku tidak senang melihat orang menegerumuniku, aku akan menirukan bacaannya .
Kelima : nabi berkata :
وروى الحاكم وغيره «حسنوا القرآن بأصواتكم فإن الصوت الحسن يزيد القرآن حسناً»
Artinya : indahkanlah al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menjadikan al-Qur’an lebih indah.
Keenam : hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan lainnya :
وروى عبد الرزاق وغيره «لكل شيء حلية وحلية القرآن الصوت الحسن، قالوا فإن لم يكن حسن الصوت؟ قال حسنه ما استطاع». دليل الفالحين لطرق رياض الصالحين - (6 / 322)
Artinya : setiap sesuatu ada hiasannya, hiasan al-Qur’an adalah suara yang bagus (indah). Sahabat bertanya : jika suaranya tidak bagus ? nabi menjawab : diusahakan bagus semampunya.
Ketujuh : Ibn Jarir meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab :
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطّابِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ أَنّهُ كَانَ يَقُولُ لِأَبِي مُوسَى : ذَكّرْنَا رَبّنَا فَيَقْرَأُ أَبُو مُوسَى وَيَتَلَاحَنُ وَقَالَ مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَتَغَنّى بِالْقُرْآنِ غِنَاءَ أَبِي مُوسَى فَلْيَفْعَل زاد المعاد - (1 / 466)
Artinya : Umar berkata kepada Abu Musa al-Asy’ari : ingatkanlah diriku akan Allah. Abu Musa lalu membaca al-Qur’an dan melagukannya. Umar berkata : barangsiapa ingin membaca al-Qur’an dengan berlagu sebagaimana Abu Musa lakukan , maka lakukanlah.
Kedelapan: diriwayatkan bahwa sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir terkenal sebagai sahabat yang mempunyai suara yang bagus dalam membaca al-Qur’an. Umar bin al-Khaththab pernah menyuruhnya membaca satu surah dari al-Qur’an. Lalu ‘Uqbah membaca al-Qur’an. Umar kemudian menangis dan berkata :
وَقَالَ مَا كُنْتُ أَظُنّ أَنّهَا نَزَلَتْ  )زاد المعاد - (1 / 466) 
Artinya : aku tidak menyangka bahwa surah ini turun.
Kesembilan : Ibn Qayyim berkata dalam memberikan argumentasi terhadap mereka yang mendukung :
زاد المعاد - (1 / 470)
وَلِأَنّ تَزْيِينَهُ وَتَحْسِينَ الصّوْتِ بِهِ وَالتّطْرِيبَ بِقِرَاءَتِهِ أَوْقَعُ فِي النّفُوسِ وَأَدْعَى إلَى الِاسْتِمَاعِ وَالْإِصْغَاءِ إلَيْهِ فَفِيهِ تَنْفِيذٌ لِلَفْظِهِ إلَى الْأَسْمَاعِ وَمَعَانِيهِ إلَى الْقُلُوبِ وَذَلِكَ عَوْنٌ عَلَى الْمَقْصُودِ وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْحَلَاوَةِ الّتِي تُجْعَلُ فِي الدّوَاءِ لِتُنْفِذَهُ إلَى مَوْضِعِ الدّاءِ وَبِمَنْزِلَةِ الْأَفَاوِيهِ وَالطّيبِ الّذِي يُجْعَلُ فِي الطّعَامِ لِتَكُونَ الطّبِيعَةُ أَدْعَى لَهُ قَبُولًا وَبِمَنْزِلَةِ الطّيبِ وَالتّحَلّي وَتَجَمّلِ الْمَرْأَةِ لِبَعْلِهَا لِيَكُونَ أَدْعَى إلَى مَقَاصِدِ النّكَاحِ . قَالُوا : وَلَا بُدّ لِلنّفْسِ مِنْ طَرَبٍ وَاشْتِيَاقٍ إلَى الْغِنَاءِ فَعَوّضَتْ عَنْ طَرَبِ الْغِنَاءِ بِطَرَبِ الْقُرْآنِ كَمَا عَوّضَتْ عَنْ كُلّ مُحَرّمٍ وَمَكْرُوهٍ بِمَا هُوَ خَيْرٌ لَهَا مِنْهُ وَكَمَا عَوّضَتْ عَنْ الِاسْتِقْسَامِ بِالْأَزْلَامِ بِالِاسْتِخَارَةِ الّتِي هِيَ مَحْضُ التّوْحِيدِ وَالتّوَكّلِ وَعَنْ السّفَاحِ بِالنّكَاحِ وَعَنْ الْقِمَارِ بِالْمُرَاهَنَةِ بِالنّصَالِ وَسِبَاقِ الْخَيْلِ وَعَنْ السّمَاعِ الشّيْطَانِيّ بِالسّمَاعِ الرّحْمَانِيّ الْقُرْآنِيّ وَنَظَائِرُهُ كَثِيرَةٌ جِ
Artinya (terjemahan bebas) : melagukan bacaan al-Qur’an akan lebih membekas di dalam hati pendengarnya. Hal tersebut bisa mengantarkan pada maksud tujuan dari al-Qur’an. Melagukan bacaan al-Qur’an bisa disamakan dengan “halawah” (pemanis) pada jamu agar bisa sampai ke tempat penyakit, atau penyedap satu makanan agar bisa digandrungi.  Perempuan juga perlu dihiasi agar bisa lebih disenangi oleh suaminya. Jiwa manusia juga menyenangi keindahan. Kesenangan mendengarkan nyanyian bisa tergantikan dengan bacaan al-Qur’an yang merdu. Begitu juga dengan hal-hal yang haram, islam menggantikannya dengan hal-hal yang halal, seperti mengundi nasib digantikan dengan salat istikharah dan tawakkal, perjudian dengan musabaqah, perzinahan dengan nikah dan lain sebagainya.
Tarjih :
Dari dua pedapat yang dikemukakan diatas dan dalil –dalil yang dikemukakannya, maka pendapat kedua kelihatannya lebih rajih dari pada yang pertama, mengingat kuatnya dalilnya dengan catatan bahwa membaca al-Qur’an dengan lagu (tarannum) tidak sampai mengorbankan unsur tajwid. Unsur tajwid harus dikedepankan karena itu merupakan suatu kewajiban (dlaruriyyat), sementara melagukan bacaan adalah bersifat “kamaliyat”atau kesempurnaan bacaan saja.
SENI MEMBACA AL-QUR’AN.
          Apa yang dikemukakan diatas tentang kebolehan membaca al-Qur’an dengan tarannum pada masa nabi, sahabat dan tabi’in adalah tarannum dalam konteks masa tersebut yaitu melagukan bacaan sesuai dengan karakter suara pembaca. Pada saat ini lagu-lagu dalam hal pembacaan al-Qur’an telah mengalami perkembangan yang demikian pesat. Pada saat ini para qari’/qari’ah ketika membaca al-Qur’an memilih beberapa lagu seperti : Bayyati, Husaini, Shaba, Hijaz, Rast, Sikah, Jiharkah, Nahawand.  Maqamat tersebut kemudian terbagi lagi menjadi beberapa tangga (salalim) ada salalil an-Nuzul (rendah) dan Salalim Shu’ud (naik) , seperti : awal maqam, jawab dan jawab al jawab.  Pada lagu Shaba terdapat beberapa tangga seperti : ‘Asyiran, ‘Ajam dan Isti’arah. Pada maqam Hijaz ada Hijaz Kaar dan Hijaz Kaar-Kuurd.
Berikut ini tabel untuk mengetahui maqam-maqam tarannum dengan merujuk kepada qashidah :

أملاه : الحاجة مارية ألفة عند زياتنا لمصرللالتقاء بشيخ الهلباوى عام 2009

القصائد الشعرية لمعرفة المقامات

أسماء المقامات

الرقم


صلوا على من به الهدى    
بدأت ببسم الله فى النظم أولا     تبارك رحمانا رحيما وموئلا
بياتى : قرار :
نوى :

1
وثنيت صلى الله ربى على الرضا      محمد المهدى  الى الناس مرسلا
شورى : نوى



وعترته ثم الصحابة  ثم من       تلاهم على الاحسان بالخير وبلا

وثلثت  أن الحمد لله  دائما      وماليس مبدوءا   به   أجذم العـــلا


وبعد فجبل الله  فينا  كتابه      وجاهد به حبل العدا  متحبــــــــــلا


حسينى 

جواب الجواب :

شورى / جواب الجواب :
2



وان كتاب الله  أوثق  شافع     وأغنى غناء  واهبا  متفضـــــــــلا
صبا : أول  المقام :
3

وخير جليس  لا يمل حديثه     وترداده يزداد فيه تجمــــــــــــــلا
عشيران :


وحيث الفتى يرتاع فى ظلماته   من القبر يلقاه سنا متهلـــــــــــلا
عجم :


هنالك يهنيه مقيلا وروضة      ومن أجله /فى ذروى العز يجتلا/
                                               (بوستانيكار/ بستانجار)

استعارة



ولدار هجرته  دعاه ربه    فأجاب دعوته وسار مؤيـــــــــــــــدا


حجاز / أول المقام :

4
ووقاه مولاه  بكل  عنايـــــة   وأباد كل معاند   قد ألحـــــــــــــدا

حجاز كار :


سرت  به  الأنصار  عند قدومه     فأسرت أـحبابا  وأكمد حسدا


حجاز كار كور :


الليل  من حولى هدوء   قاتل    والذكريات تمور  فى وجدانـــى

ويهدنى  ألمى  فأنشد  راحتى    فى بضع  أيات  من القـــــــرآن


نهاوند  : / أصلى :

5
والنفس بين جوانحى   شفافة     دب الخشوع  بها  فهز كيانــــى

قد عشت أومن بالاله  ولم أذق  الا أخيرا لذة الايمـــــــــــــــــا ن

لذة الايمان .

بيمناك بجر  عتى  البيــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــان

فهلل وبشر بدين الاله

نبى الهدى     أنت نبع الضيــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاء

نبى الهدى   أنت سيف السمــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــاء

محمد يا فرحة العالمين     محمد يا كوكب الحائريـــــــــن

أشرق فانا غدونـــــــــا    ...........                سكارى

وصلين ربنا                 وسلمن على محمـــــــــــــــــد

جـــــــــــــــــــا ءنا         مبشرا  بالعلا
وتابعيهم  أولى النهى الكرماء
جواب الجواب :

جواب

قفلة  مهور

نكريس







عشـــــــــــــــــــاق

 أشرق النور فى العوالم  لما بشرتها    بأحمد   الأنبـــــاء

باليتيم الأمى  والبشـــــــر الموحى  اليه

قوة الله  ان تولت ضعيــــــفا    بقيت فيه من رأســـه الأقوياء

أشرف المرسليـــــــــــــــــن

أياته النطق مبينــــــــــــــــا   وفوقه  الفصحـــــــــــــــــــــــاء

جاء للناس والســــــــــرائر فوضى   لم يؤلف شتاتهــــن لواء

عشـــــــــــــق – رست

رست  -  نوى

رست على النوى

شبير

زنجـــــــــــــــــران

ألوان



الله زاد محمــــــــــــــــــــدا تعظيما   وحباه فضلا من لدنه عليما


واختصه فى المرسلين كليـــــــما   ذا رأفة بالمؤمنين رحيــــــما




جهاركاه


6
يامن يرجى  فى القيامــــــــــة حيث لا  أم ترجى فى النجاة ولا أب

يافارج الكرب العظــــــــــام   وواهب المنن الجســـــــــــــــــــــــــام

اليك منـــــــــــــــــــــــــك المأرب  اليك منـــــــــــــــــــــــك المأرب

مولاى  كتبت رحمة الناس  عليك    فضلا وكرم

فالمرجع والمأل والكـــــــــــــــــل اليك    عرب وعجــــــــــــــــــم

فارحم ذلى  ووقفتى بين يديــــــــك  أن زل قدم ----- قــــــــادم
سيكاه أصلى

سيكاه جواب



سيكاه رمل

سيكاه عراقى  

قفلة ميزان
7



Pertanyaannya adalah apakah pada masa nabi para pembaca Al-Qur’an sudah menggunakan kaedah-kaedah dalam maqamat tersebut ? jawabannya : tidak. Mereka hanya mengandalkan kepada intuisi dan perasaan masing-masing saja. Walaupun demikian jika bacaan mereka di timbang dengan “maqamat” yang ada maka bisa diketahui maqam apa yang mereka praktekkan.
Perbedaan yang paling mendasar antara masa nabi dan masa sekarang dalam seni membaca al-Qur’an adalah bahwa membaca al-Qur’an dengan lagu-lagu pada masa lalu   dilakukan tanpa menggunakan urutan maqamat dengan berbagai tangga lagu. Tapi meluncur begitu saja tanpa ada unsur “tashannu’” atau dibuat buat. Jadi kelihatan bersahaja dan orsinil. Tidak demikian dengan masa sekarang, dimana seorang qari’ akan menggunakan berbagai maqamat dengan salalimnya.
Seorang qari’/qari’ah yang mahir adalah seorang yang mempunyai kapasitas berikut ini :
Pertama : mampu membaca al-Qur’an sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu tajwid dengan peringkat fashahah yang tinggi. Jangan sampai mengorbankan tajwid untuk lagu dan tarannum. Seperti tidak boleh memanjangkan mad thabi’I melebihi dari semestinya, begitu juga dengan bacaan ghunnah,hanya untuk kepentingan qari’/qari’ah dalam melagukan satu bacaan. Kaedah bacaan Al-Qur’an harus diikuti, bukan sebaliknya, Al-Qur’an mengikuti tarannum, seperti kata pepatah :
(القرآن يخدم ولا يخدم )
Artinya : Al-Qur’an itu harus di khidmah oleh pembacanya, bukan mengkhidmah kepada  pembacanya.
Kedua : meramu berbagai macam maqamat beserta salalimnya dengan serasi, jangan sampai terjadi apa yang disebut “fals” atau “nasyaz” .
Ketiga : menggunakan maqamat yang sesuai dengan isi kandungan ayat suci al-Qur’an. Jika isinya tentang neraka dan jenis siksaannya, maka maqam yang digunakan adalah maqam yang sendu dan sedih. Jika tentang sorga dan kenikmatan yang ada di dalamnya, maqam yang digunakan adalah maqam yang riang gembira, bukan sebaliknya. Dengan demikian, pendengar akan terhanyut oleh pembaca Al-Qur’an. Apa yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Rif’at (1882-1950) yang dijuluki sebagai “Shahib ash-Shaut adz-Dzahabi”(suara emas)  atau “Shaut al-Malaikah”(suara malaikat) atau “The Greatest Reciter” betul-betul mencerminkan seorang qari’ yang profesional, yang mampu menggugah pendengarnya dengan alunan suaranya. Kita bisa mendengarkan Syekh Rif’at membaca surah Yusuf, bagaimana dramatika kehidupan nabi Yusuf, dari mulai kecil, pada saat dimasukkan ke dalam perigi, kisah cintanya isteri pembesar Mesir (Zulaikha’) kepadanya, sampai menjadi pembesar Mesir, sampai pertemuannya kembali dengan ayahnya dan saudara-saudaranya. Semuanya dikemas dwengan sangat indah dan mengharukan.  Begitu juga pada saat membaca surah Thaha yang bercerita tentang pertarungan antara nabi Musa dan Fir’aun yang berlangsung secara menegangkan. Begitu juga saat membaca surah Maryam yang bercerita tentang kisah kehidupan siti Maryam dan nabi Isa yang memilukan. Hal serupa dilakukan juga oleh Syekh Abul ‘Ainain Syu’aisya’, Mushthafa Isma’il, Ahmad Nu’aina’ dan Qari’-qari besar  lainnya.  Jika mereka membaca al-Qur’an seakan mereka sedang menyuguhkan sebuah drama kehidupan yang sangat indah dan menawan. Inilah unsur da’wah yang sangat efektif yang perlu diperhatikan.
Keempat : seorang qari’/qari’ah yang mahir adalah mereka yang membaca dengan ikhlas, khusyu’, menghayati arti ayat  yang dia baca, mampu menghadirkan nilai-nilai samawi dalam  bacaannya.

Kelima : seorang qari’/qari’ah yang mahir juga adalah seorang yang mampu mengkolaborasikan satu kelompok ayat dengan kelompok ayat lainnya  yang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana dia membaca. Antara satu surah atau satu kelompok ayat dan surah atau kelompok ayat yang dibaca berikutnya mempunyai hubungan yang erat. Sebagai contoh : dalam situasi “tahadduts bin ni’mah” karena keberhasilan terhadap sesuatu yang dicita-citakan seperti lulus sekolah dan sebagainya, bacaan alam nasyrah, al-Kautsar, an-Nashr, surah Ibrahim ayat 6 dan seterusnya,  Ibrahim ayat 31-34 dirasa tepat.
Keenam : dia juga di tuntut untuk pandai memilih waqaf dan ibtida’nya.  Menghentikan bacaan bukan pada tempat waqaf, atau memulai (ibtida’) setelah waqaf  yang tidak pas akan membuyarkan keindahan satu bacaan.
Ketujuh : pembaca al-Qur’an yang baik adalah mereka yang tahu kaedah bacaan pada riwayat yang dia gunakan, apakah riwayat Hafsh dari ‘Ashim, atau Qalun dari Nafi’, riwayat Duri Abi ‘Amr dari Abu ‘Amr al-Bashri  dan lain sebagainya. Ketidak tahuan terhadap kaedah umum setiap rawi akan menyebabkan “talfiq” atau percampuran dalam qira’ah. Hal ini bagi ahli qira’at adalah sesuatu yang terlarang.
Pada saat sekarang  lagu-lagu sudah menjadi bagian dari satu disiplin ilmu yang bisa di pelajari melalui satu metode. Metode tersebut  seperti dengan mengingat ingat satu qashidah syi’riyyah. Sebuah maqam tertentu seperti maqam Bayyati dikaitkan dengan satu qashidah, sehingga bagi seorang yang akan memabaca ayat dengan maqam bayyati, dia tinggal mengingat qashidah tersebut. Begitu juga dengan maqam ghina’ lainnya.
Harus diakui bahwa maqamat al-ghina al-‘arabi adalah bagian dari ilmu musik. Sedangkan ilmu musik sendiri adalah bagian dari filsafat. Dan filsafat adalah hasil dari kerja otak manusia. Walaupun demikian jika sebuah olah pikir manusia manakala tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah dasar agama bisa ditoleransi.
Dalam kaitannya dengan masuknya tarannum dalam pembacaan ayat suci al-Qur’an, Musthafa Shadiq ar-Rafi’i mengemukakan hal ini dalam bukunya : “I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah an-Nabawiyyah”. Demikian ringkasannya:
Pada masa awal islam pembacaan al-Qur’an dilakukan dengan bersahaja melalui beberapa cara baca : baik dengan nada pelan (tahqiq) atau sedang (tadwir) atau sedikit cepat (hadr) semuanya dilakukan dengan bersahaja, mengalir begitu saja dari  seorang pembaca al-Qur’an. Lalu pada abad ke dua hijriyah seorang yang bernama Ubaidullah bin Bakrah mulai menggunakan “Lahn” (lagu) dengan nada sedih. Kemudian cucunya Abdullah bin Umar bin Ubaidillah melanjutkan tradisi kakeknya, diteruskan oleh al-Ibadli, lalu Sa’id bin al-‘Allaf dan saudaranya. Sa’id inilah yang dikagumi oleh Khalifah Harun ar-Rasyid karena seni bacanya. Setelah itu datang sedorang bernama “al-Haytsam”. Aban. Ibn A’yan dan lainnya melanjutkan tradisi membaca Al-Qur’an dengan tarannum di masjid-masjid atau di beberapa majlis. Tradisi inilah yang akhirnya  terus berlangsung di beberapa negara islam hingga kini.
Sementara Ibn Khaldun dalam “Mukadimah”nya menjelaskan persoalan masuknya seni musik kepada kehidupan orang arab. Dia menjelaskan bahwa pada awalnya orang arab masih tetap dalam “badawah”nya (keasliannya sebagai bangsa nomaden). Pada saat permulaan islam seni musik lebih menonjol pada orang non arab (‘ajam) terutama orang Parsi dan Romawi. Kemudian pada saat kaum muslimin menguasai negeri-negeri yang di kuasai Persia dan Romawi, terjadilah akulturasi budaya. Seni  musik yang sudah banyak digandrungi oleh orang Parsi dan Romawi, sedikit demi sedikit mulai memasuki arena kehidupan orang arab. Seni musik-demikian kata Ibn Khaldun- adalah termasuk arena “kamaliyyat”(kesempurnaan gaya hidup). Yaitu setelah satu masyarakat sudah melampaui batas-batas kebutuhan primer dan sekunder. Seni musik-kata Ibn Khaldun lagi- memasuki wilayah kehidupan orang arab melalui “mawali” (budak atau kelompok masyarakat yang berjanji setia dengan salah satu kabilah arab). Orang arab yang pada saat itu merasakan hasil perjuanagn para pendahulu, mulai bersahabat dengan seni musik dari kaum “’ajam”. Tentang hal tersebut Ibn Khaldun berkata :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 244)
فلما جاءهم الترف وغلب عليهم الرفه بما حصل لهم من غنائم الأمم صاروا إلى نضارة العيش ورقة الحاشية واستحلاء الفراغ. وافترق المغنون من الفرس والروم فوقعوا إلى الحجاز وصاروا موالي للعرب، وغنوا جميعاً بالعيدان والطنابير والمعازف والزمامير، وسمع العرب تلحينهم للأصوات ولحنوا عليها أشعارهم.
Artinya : setelah orang arab merasakan kemakmuran dan kesejahteraan, karena mereka mendapatkan keberuntungan melalui pampasan perang dari negeri yang mereka taklukkan, keadaan kehidupan mereka mejadi berobah. Mereka hidup dalam kemewahan. Penyanyi dan seniman dari Parsi dan Romawi mulai bertebaran sampai masuk ke tanah Hijaz (Mekah dan Madinah). Mereka menjadi sekutu beberapa Kabilah Arab.  Mereka menyanyikan dengan alat-alat musik seperti biola, tambur, seruling, terompet dan lain sebagainya. Orang-orang arab mendengarkan alunan suara mereka dan bagaimana mereka mendendangkan syair-syair.
Ibn Khaldun lalu melanjutkan bahwa seni musik memasuki wilayah madinah. Disinilah muncul ahli musik di Madinah semacam : Nasyith al-Farisi, Thuwais, Sa’ib, Ha’ir, maula dari Abdullah bin Ja’far. Mereka mendengarkan syair-syair orang arab dan mendendangkannya sehingga mereka dikenal luas dikalangan masyarakat. Lalu muncul generasi ahli musik dari orang arab sendiri semacam Ma’bad, Ibn Suraij, dan koleganya. Seni bernyanyi terus berlnjut sampai mencapai puncaknya pada masa Bani Abbasiyah. Dari sini muncul nama Ibrahim al-mahdi, Ibrahim al-maushili, Ishak al-maushili dan anaknya Hammad. (ibid.).
Sementara itu Abul faraj al-Ashbihani dalam kitabnya “al-Aghani” menjelaskan tentang masuknya unsur “Ghina’ al-Farisi” ke dalam masyarakat arab sebagai berikut :
الأغاني - (3 / 273)
أخبار ابن مسجح ونسبه
 سعيد بن مسجح أبو عثمان مولى بني جمح وقيل إنه مولى بني نوفل بن الحارث بن عبد المطلب مكي أسود مغن متقدم من فحول المغنين وأكابرهم وأول من صنع الغناء منهم ونقل غناء الفرس إلى غناء العرب ثم رحل إلى الشأم وأخذ ألحان الروم والبربطية والأسطوخوسية وانقلب إلى فارس فأخذ بها غناء كثيرا وتعلم الضرب ثم قدم إلى الحجاز وقد أخذ محاسن تلك النغم وألقى منها ما استقبحه من النبرات والنغم التي هي موجودة في نغم غناء الفرس والروم خارجة عن غناء العرب وغنى على هذا المذهب فكان أول من أثبت ذلك ولحنه وتبعه الناس بعد
Artinya : Sa’id bin Musajjih seorang “Maula” Bani Naufal bin al-harits bin Abdul Muththalib, penduduk Mekah, kulitnya hitam, seorang penyanyi kenamaan, orang pertama penggubah lagu dan orang pertama yang mentransfer lagu-lagu Parsi kedalam syair-syair arab. Dia melanglang buana ke Syam, mempelajarai lagu-lagu bangsa Romawi, Barbathi, Asthukhusi, kemudian balik lagi ke Parsi, mempelajari banyak lagu orang parsi. Dia mempelajari juga bermain alat musik, lalu kembali ke tanah Hijaz (Mekah-Madinah). Dia ambil notasi lagu-lagu Parsi dan Romawi  yang baik dan indah dan membuang notasi yang tidak pas. Lalu dia cangkokkan kedalam “Ghina’ Arabi”. Dialah orang pertama yang melakukan hal ini, lalu diikuti oleh yang lain.
Pada bagian lain dalam judul “kepindahan lagu-lagu Persia ke Arab” al-Ashbihani mengatakan bahwa Ibn Musajjih pernah mendengarkan nyanyian orang parsi pada saat mereka membangun Ka’bah pada masa Abdullah bin Zubair, lalu dia tertarik . Dia berkata :
الأغاني - (3 / 274)
قال إسحاق وأخبرني ابن الكلبي عن أبي مسكين قال : كان سعيد بن مسجح أسود مولدا يكنى أبا عيسى مولى لبني جمح فرأى الفرس وهم يعملون الكعبة لابن الزبير ويتغنون بالفارسية فاشتق غناءه على ذلك
 Artinya : Sa’id bin Musajjih adalah seorang yang berkulit hitam, dijuluki Abu ‘Isa. Seorang “Maula” Bani Jumah. Dia melihat orang Persia yang sedang membangun Ka’bah pada masa Ibn Zubair melagukan lagu-lagu Persia. Dia sangat tertarik akan lagu-lagu tersebut.
          Pada bagian lain al-Ashbihani mengatakan :
أخبرني محمد بن خلف بن المرزبان والحسين بن يحيى قالا حدثنا حماد بن إسحاق عن أبيه عن هشام بن المرية أن أول من غنى هذا الغناء العربي بمكة ابن مسجح مولى بني مخزوم وذلك أنه مر بالفرس وهم يبنون المسجد الحرام فسمع غناءهم بالفارسية فقلبه في شعر عربي وهو الذي علم ابن سريج والغريض وكان ابن مسجح مولدا أسود يكنى بأبي عيسى
Artinya :  dari Hisyam bin al-Murriyyah : orang pertama yang mendendangkan lagu arab ini di Mekah adalah Ibn Musajjih, seorang “maula” dari Bani Makhzum. Hal itu terjadi karena pada satu saat dia melihat orang Parsi sedang membangun Masjid al-haram, dia mendengarkan mereka bernyanyi dengan bahsa Persia, lalu dia praktekkan legu-lagu tersebut kedalam sya’ir arab. Dialah orang yang mengajarkan Ibn Suraij, al-Ghuraidl.

Apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun memang benar adanya. Indikasinya adalah bahwa nama –nama maqamat dalam lagu bernuansa Parsi seperti : Sikah, Jiharkah, Rast, Nahawand, dan lain sebagainya. Indikator lainnya adalah bahwa tanah Romawi dan Parsi pada saat islam datang telah mempunyai peradaban yang lebih maju dari tanah Hijaz. Salah satu bentuk peradaban adalah majunya tingkat kehidupan pada hal yang  bersifat Primer (dlaruriyyat), Sekunder (hajiyyat) dan  Kamaliyyat. Musik adalah masuk dalam persoalan Kamaliyyat. Di tanah arab, mas’alah seni lagu sebenarnya sudah ada tapi masih dalam koridor yang sedrhana yaitu sebatas nyanyian lokal untuk bersenandung ketika naik unta dalam perjalanan, tapi pengetahuan mereka belum sampai kepada satu disiplin ilmu musik.
  
BAGIAN KETIGA : PERANAN QIRA’AT DAN TRANNUM DALAM PEMBAHARUAN DA’WAH
Tidak bisa di pungkiri lagi bahwa islam adalah satu-satunya agama yang di ridlai  Allah. Islam memuat ajaran-ajaran yang bisa memberikan pencerahan kepada umat manusia, karena  al-Qur’an di turunkan oleh Allah untuk menjadi “hudan” kepada seluruh umat manusia, walaupun hanya mereka yang bertaqwa saja yang mampu menemukan nilia-nilai hidayah tersebut. Keberadaan nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman dan keberadaan al-Qur’an sebagai “hudan linnas” selaras dengan kandungan ajaran islam yang mencakup segala aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,  maupun berbangsa dan bernegara. Ajaran islam juga meliputi hal dunyawi dan ukhrawi. Islam juga menyangkut hal yang berkait dengan akidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak. Kaum muslimin dituntut untuk terus giat menyebarkan agama islam ke seluruh penjuru dunia sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing dengan metode dan cara yang bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk mengikuti petunjuk al-Qur’an.
Ada berbagai macam cara berda’wah kepada orang lain. ada da’wah yang billisan atau dengan ucapan seperti ceramah atau tabligh, mengaji, dan lain sebagainya. Ada da’wah dengan akhlak yang mulia. Ada da’wah dengan tindakan yang positif seperti membagikan santunan untuk fakir miskin, santunan sosial, berderma, melakukan aktifitas sosial seperti perbaikan sarana umum dan lain sebagainya.  Ada juga da’wah melalui sya’ir/satera sebagaimana yang dilakukan oleh shabat Hassan bin Tsbait penya’ir rasulullah. Semua itu telah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya. Da’wah yang diharapkan adalah da’wah dengan penuh hikmah sebagaimana sabda Allah :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125) [النحل : 125]
Artinya : serulah (manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baikdan bantalah mereka dengan jalan yang paling baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih  mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan Dialah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
          Pada saat ini da’wah melalui al-Qur’an begitu efektif melalui beberapa hal yaitu :
Pertama : penyebaran al-Qur’an/mushaf, atau mushaf yang disertai terjemah.
Kedua : penyebaran tafsir-tafsir al-Qur’an.
Ketiga : membaca al-Qur’an dengan seni bacanya. Baik dengan tartil seperti kebanyakan para murattil yang masyhur dari Mesir, Saudi Arabia atau Syria, seperti Syekh : Abdul Bari Muhammad, Mahmud Abdul Hakam, Khalil al-Hushari, al-Minsyawi, Sudais, Syurayyim, Ayyub, al-Akhdlar, Jabir, al-Ghamidi atau dengan mujawwad seperti kebanyakan para qari’ Mesir, Indonesia, malaysia, Iran dan lain sebagainya.
Untuk hal terakhir ini kaum muslimin sepakat bahwa membaca al-Qur’an dengan bacaan yang benar, suara yang bagus, lagu yang tepat adalah metode yang cukup efektif dalam berda’wah.  Suara yang bagus dan merdu adalah sebuah keindahan dalam hidup. Allah sendiri adalah Zat yang menyenangi keindahan. Nabi bersabda :
أسماء الله الحسنى - (2 / 17)
روي الإمام مسلم من حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النبي صلى الله عليه وسلم أنه قَال : ( إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمَال )
Artinya : Allah adalah Zat Indah,  menyenangi keindahan.
          Allah adalah Zat yang Indah baik ZatNya, SifatNya maupun perilakunya (af’alnya). Alam yang dianugerahkan oleh Allah kepada umat manusia semuanya indah. Langit yang membiru, air laut yang membiru, hijau daun yang menyegarkan pandangan mata, buah-buahan yang beraneka warna, kiau burung yang merdu, gemerisik tangkai tangkai pohon yang beradu yang mengeluarkan suara yang menarik dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an, Allah menggambarkan keindahan sorga dan seisinya, semuanya serba indah dan menawan. Permainan warna dalam sorga yang dilukiskan dalam al-Qur’an juga cukup membuat kita penasaran. Pada saat menggambarkan pakaian ahli sorga Allah menjelaskan bahwa pakaian mereka dari sutera yang hijau, sebagaimana pada ayat :
عَالِيَهُمْ ثِيَابُ سُنْدُسٍ خُضْر [الإنسان : 21]
Warna air yang ada pada gelas-gelas ahli sorga adalah putih yang melezatkan, sebagaimana firman Allah.
يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ (45) بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ (46) [الصافات : 45 ، 46]
Kemudian warna kulit bidadari sorga adalah putih semi kuningyang demikian menawan, sebagaimana firman Allah :
وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ عِينٌ (48) كَأَنَّهُنَّ بَيْضٌ مَكْنُونٌ (49) [الصافات : 48 ، 49]
Kemudian ketika bercerita tentang warna lembu yang diminta nabi Musa kepada bani Israil adalah kuning langsat  yang menawan bagi para pelihatnya, sebagaimana firman Allah :
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ (69)  [البقرة : 69]
Begitu juga ketika Allah bercerita tentang berbagai macam warna gunung-gunung. Ada yang hitam pekat dan ada gunung yang bergaris putih dan merah yang beraneka macam warnanya sebagaimana firman Allah : 
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ (27) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (28) [فاطر : 27 ، 28]
Tentang suara yang bagus, Ibn Katsir meriwayatkan dari az-Zuhri dalam menafsirkan ayat : يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ   (fathir :  ) yang artinya :
Disamping itu, pada saat Allah menggambarkan pertamanan sorga, Allah memberikan gambaran yang sangat imajinatif tentang pertamana sorga. Semuanya indah dan semaunya menawan.
Al-Qur’an sendiri adalah kitab yang kemukjizatan tersebsarnya adalah terletak pada sasteranya yang sangat menawan dan penuh keindahan. Tidak ada sorangpun yang sn ggup mengalahkan bahasa Al-Qur’an.
Ibn Khaldun sendiri berkata bahwa lagu yang bagus akan bisa memikat mereka yang mendengarkannya, perkara yang sulit akan menjadi mudah : berkata Ibn Khaldun :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 138)
أن النفس عند سماع النغم والأصوات يدركها الفرح والطرب بلا شك، فيصيب مزاج الروح نشوة يستسهل بها الصعب، ويستميت في ذلك الوجه الذي هو فيه. وهذا موجود حتى في الحيوانات العجم، بانفعال الإبل بالحداء، والخيل بالصفير والصريخ كما علمت. ويزيد ذلك تأثيراً إذا كانت الأصوات متناسبة كما في الغناء.
Artinya : hati pasti akan merasa riang dan gembira ketika mendengarkan alunan lagu dan suara yang merdu. Jiwa akan kembali merasa semarak dan tergugah, yang menyebabkan sesuatu yang sukar menjadi terasa mudah. Seorang akan terdorong untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan dengan kemauan yang keras.  Hal ini bisa kita lihat juga pada hewan-hewan. Seekor unta akan tergugah ketika mendengarkan alunan tembang, begitu juga kuda akan mengembik karena kegirangan ketika mendengarkan alunan musik yang padu. 
Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam “Fath al-bari” juga mengatakan hal serupa. Ibn hajar berkata :
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري - الغنيمان - (2 / 278)
قال الحافظ: (( ولا شك أن النفوس تميل إلى سماع القراءة بالترنم أكثر من ميلها لمن لا يترنم؛ لأن للتطريب تأثيراً في رقة القلب، وإجراء الدمع. ولا خلاف بين السلف في استحباب تحسين الصوت بالقراءة، وتقديم حسن الصوت على غيره.
Artinya : Ibn hajar berkata: tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perasaan manusia  akan lebih tertarik mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang disertai dengan “tarannum” jika dibandingkan dengan bacaan tanpa tarannum, karena berlagu akan lebih membekas di dalam hati, bahkan bisa meneteskan air mata. Dan tidak diperselisihkan diantara ulama salaf bahwa membaca Al-Qur’an dengan suara bagus adalah sesuatu yang disunnahkan dan mengedepankan orang yang mempunyai suara yang bagus dari pada yang tidak demikian.

Bisa kita lihat dari bacaan imam di masjid al-haram Mekah baik pada saat salat fardlu atau salat tarawih yang ditayangkan secara “Live” di TV Cable. Demikian juga bacaan  qari’/qari’ah yang melantunkan suara merdunya pada radio suara al-Qur’an baik di Mesir, Kuwait, Saudi Arabia dan lain lainnya. Bahkan radio suara inggris yang dipancarkan ke dunia arab, merasa perlu memutar kaset bacaan qari-qari’ mesir pada awal siarannya. Mereka yakin bahwa bacaan al-Qur’an.
Untuk itu langkah-langkah untuk menjadikan Ilmu Qira’at dan Tarannum bisa digunakan untuk menjadi media da’wah adalah sebagai berikut :
Pertama : menjadikan bacaan tarannum sebagai metode cara membaca pada tingkat anak-anak, dimulai pada tingkat Taman Kanak-Kanak. Tarannum yang diajarkan berupa bacaan tartil dengan satu sampai dua maqam saja secara simultan, sehingga anak-anak mampu membaca al-Qur’an dengan maqam-maqam tersebut. Bacaan yang diajarkan adalah bacaan yang sudah mempraktikkan Ilmu Tajwid.
Kedua : Pada tingkat remaja dan dewasa diajarkan materi tarannum dengan berbagai macam maqam (Bayyati, Husaini, Hijaz, nahawand, Sikah, Jiharkah, dan Rast) melalui metode pembelajaran tarannum yang sudah banyak beredar luas di masyarakat, baik melalui kaset, video, atau praktik langsung dari seorang qari’/qari’ah. Disamping itu diajarkan ilmu tajwid praktis yang menyangkut keseluruhan persoalan yang ada pada Ilmu Tajwid dimulai dari : Makharijul Huruf, Shifatul Huruf, al-Ahkam, Mad-Qashr, al-Maqthu’ wal maushul, waqaf dan Ibtida’, bacaan-bacaan yang gharibah dan lain sebagainya.
Ketiga : diperlukan juga pembelajaran tingkat lanjut yaitu mengajarkan Ilmu Qira’at baik Qira’at Sab’ah atau al-‘Asyrah ash-Shugra atau al-Kubra, jika ada guru yang mumpuni tentang mas’alah tersebut.
Keempat: diperlukan adanya apresiasi masyarakat dan negara dalam membina qari’/qari’ah melalui berbagai macam cara, seperti memnberikan kesempatan kepada para qari’/qari’ah untuk tampil pada acara-acara resmi atau kemasyarakatan, pemberian reward berupa bea siswa, dan lain sebagainya.
Penutup.
          Setelah kita berbicara panjang lebar te ntang QIRA’AT  dan TARANNUM, tibalah saatnya kita mengkahiri tulisan ini dengan menegaskan bahwa islam yang merupakan misi Allah untuk manusia di bumi ini perlu di sebarkan melalui berbagai macam cara dan metode. Kitab suci Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang menjadi sumber utama ajaran islam. Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang indah dari semua sisi. Baik dari sisi redaksi maupun dari sisi maknanya.  Oleh karena itu Al-Qur’an perlu di sosialisasikan kepada masyarakat melalui berbagai macam metode.   Salah satu cara yang efektif adalah melalu sosialisasi pembacaan Al-Qur’an dengan menggalakkan Ilmu Tarannum . Dengan tarannum seseorang bisa menghantarkan bacaan yang indah kepada masyarakat. Pada saat masyarakat modern gandrung dengan lagu-lagu dari negeri barat dengan berbagai macam model dan coraknya, dan mereka mempunyai selera yang tinggi terhadap seni bernyanyi, menjadikan kita merasa perlu mengimbangi hal tersebut dengan mengetengahkan cara “tarannum” dalam membaca Al-Qur’an.   Keberadaan institusi yang mengajarkan ilmu tarannum, akan menciptakan generasi yang bisa mengharumkan Al-Qur’an. Untuk selanjutnya  masyarakat akan cinta kepada Al-Qur’an. Kecintaan masyarakat kepada Al-Qur’an akan menjadikan mereka gemar mempelajari Al-Qur’an, dan mempelajari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk selanjutnya bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, untuk pribadi, masyarakat, bernegara dan berbangsa. Inilah yang kita inginkan bersama.

Pesantren Dar al-Qur’an Arjawinangun Cirebon
Jawa barat Indonesia.
Syawwal 1431/ September 2010.
Refferensi :
1.Thayyibatun Nasyr : Ibn al-Jazari
2.Hirzul Amani wa wajhuttahani : Syathibi
3.an-Nasyr fil Qira’at al-‘Asyr : Ibn al-jazari
4.al-Aghani : Abul Faraj al-Ashbihani
5.Tafsir Ayat al-Ahkam : Ali ash-Shabuni
6.Syarh Shahih al-Bukhari : ghunaiman.
7.Muqaddimah : Ibn Khaldun



Dalam membaca Al-Qur’an nabi menyuruh para sahabatnya untuk membaca Al-Qur’an dengan sebaik baiknya. Yaitu bacaan yang sesuai dengan kaidah kaidah ilmu Tajwid yaitu memerhatikan makhraj setiap huruf,  sifatnya dan hukum-hukumnya. sebagaimana yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Nabi juga pernah berkata :
دليل الفالحين لطرق رياض الصالحين - (6 / 322)
(أن النبي قال: من لم يتغنّ بالقرآن فليس منا) أي من أهل هدينا وطريقنا (رواه أبو داود بإسناد جيد معنى يتغن: يحسن صوته بالقرآن) وروى الطبراني «حسن الصوت زينته القرآن» وروى الحاكم وغيره «حسنوا القرآن بأصواتكم فإن الصوت الحسن يزيد القرآن حسناً» وروى عبد الرزاق وغيره «لكل شيء حلية وحلية القرآن الصوت الحسن، قالوا فإن لم يكن حسن الصوت؟ قال حسنه ما استطاع».
التيسير بشرح الجامع الصغير ـ للمناوى - (2 / 640)
ليس منا من لم يتغن بالقرآن ) أي لم يحسن صوته به لان التطريب به ادعى لقبوله ووقعه في القلوب لكن شرطه أن لا يزيد ولا ينقص حرفا ( خ عن أبي هريرة حم دحب ك عن سعد ) بن أبي وقاص ( د عن أبي لبابة بن عبد المنذر ) واسمه بشير ( ك عن ابن عباس وعن عائشة )
Artinya : barangsiapa yang tidak melagukan Al-Qur’an, dia bukan dari golongan kami.
Para ulama memberikan penafsiran terhadap arti hadis tersebut. Sebagian ulama membarikan pengertian bahwa yang dimaksuda dengan kata “Yataghanna” adalah membaguskan bacaan, menyenandungkan dan melagukannya, karena naluri manusia adalah senang mendengarkan suara yang merdu yang bersenandung. Jika satu bacaan dilagukan dengan suara yang bagus, lagu yang merdu, pendengar akan lebih tertarik lagi.
شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري - الغنيمان - (2 / 460)
وقال الخطابي: (( إن العرب كانت تولع بالغناء والنشيد في أكثر أحوالها، فلما نزل القرآن أحب أن يكون هجيراهم مكان الغناء، فقال: ليس منا من لم يتغن بالقرآن )) (4).
معارج القبول - (1 / 291)
ليس منا من لم يتغن بالقرآن 1 وله وللنسائي وابن ماجه بإسناد جيد عن البراء بن عازب رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم زينوا القرآن بأصواتكم 2 وفي الصحيحين عن جبير بن مطعم رضي الله عنه قال سمعت رسول صلى الله عليه و سلم يقرأ في المغرب بالطور فما سمعت أحدا أحسن صوتا أو قراءة منه 3 الحديث ولابن ماجه عن جابر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إن من أحسن الناس صوتا بالقرآن الذي إذا سمعتموه يقرأ حسبتموه يخشى الله 4 ولأبي عبيد عن حذيفة بن اليمان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إقرأوا القرآن بلحون العرب وأصواتها وإياكم ولحون أهل الفسق وأهل الكتابين وسيجيء قوم من بعدي يرجعون بالقرآن ترجيع الغناء والرهبانية والنوح لا يجاوز حناجرهم مفتونة قلوبهم وقلوب الذين يعجبهم شأنهم 5 وفي الصحيحين عن أبي موسى رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال يا أبا موسى لقد أوتيت مزمارا من مزامير آل
موسوعة الرد على الصوفية - (186 / 484)
كان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول : يا أبا موسى،ذكرنا ربنا، فيقرأ وهم يستمعون، ومر النبي صلى الله عليه وسلم بأبي موسى وهو يقرأ : فجعل يستمع لقراءته، وقال : ( لقد أوتي هذا مزمارًا من مزامير داود ) ، وقال : ( يا أبا موسى،لقد مررت بك البارحة وأنت تقرأ فجعلت أستمع لقراءتك ) فقال : لو علمت أنك تستمع لقراءتي لحبرته لك تحبيرًا . أي : حسنته لك تحسينًا .
وقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( ليس منا من لم يتغن بالقرآن ) ، ( زينوا القرآن بأصواتكم ) وقال : ( لله أشد أذنا للرجل حسن الصوت، من صاحب القينة إلى قينته ) وقوله : ( ما أذن الله أذنا ) أي سمع سمعًا، ومنه قوله : { وَأَذِنَتْ لِرَبِّهَا وَحُقَّتْ } [ الانشقاق : 2 ] أي سمعت، والآثار في هذا كثيرة .
تفسير آيات الأحكام - (1 / 609)
وقد اختلفت فيه آراء الأئمة الفقهاء ، تبعاً لاختلاف الصحابة والتابعين ، ونحن نذكر مذاهبهم مع أدلة كلّ فريق بشيء من التفصيل ، فنقول ومن الله نستمدّ العون :
مذاهب الفقهاء في القراءة بالتلحين :
أولاً : مذهب ( المالكية والحنابلة ) : كراهة القراءة بالتلحين ، وهو منقول عن ( أنس بن مالك ) و ( سعيد بن المسيّب ) و ( سعيد بن جبير ) و ( القاسم بن محمد ) و ( الحسن البصري ) و ( إبراهيم النخعي ) و ( ابن سيرين ) .
ثانياً : مذهب ( الحنفيّة والشافعية ) : جواز القراءة بالتلحين ، وهو منقول عن : ( عمر بن الخطاب ) و ( ابن عباس ) و ( ابن مسعود ) و ( عبد الرحمن بن الأسود بن زيد ) وقد ذهب إليه من المفسرين ( أبو جعفر الطبري ) و ( أبو بكر بن العربي ) .
أدلة المذهب الأول :
أ- حديث : « أقرءوا القرآن بلحون العرب وأصواتهم ، وإيّاكم ولحونَ أهل الكتاب والفسق ، فإنه يجيءُ من بعدي أقوام يرجّعُون بالقرآن ترجّع الغناء والنوح ، لا يجاوز حناجرهُمْ ، مفتونةٌ قلوبُهم وقلوبُ الذين يعجبهم شأنُهم » .
فقد نعى عليه السلام على من يرجّع بالقرآن ترجيع الغناء والنوح على نحو ما يفعله أكثر قرّاء هذا العصر .
ب- حديث : « يتخذون القرآن مزامير ، يقدّمون أحدهم ليس بأقرئهم ولا أفضلهم ليغنّيَهم غناءً » .
ج - حديث : « إنّ الأذانَ سهلٌ سمحٌ ، فإن كان أذانُك سهلاً سمحاً وإلاَّ فلا تؤذّن » قالوا : فقد كره النبي صلى الله عليه وسلم أن يطرب المؤذن في أذانه ، فدلّ ذلك على أنه يكره التطريب في القراءة بطريق الأولى .
د- وقالوا أيضاً : إن التغنّي والتطريب يؤدي إلى أن يزاد على القرآن ما ليس منه ، وذلك لأنه يقتضي مدّ ما ليس بممدود ، وهمز ما ليس بمهموز ، وجعل الحرف الواحد حروفاً كثيرة وهو لا يجوز ، هذا إلى أن التلحين من شأنه أن يلهي النفوس بنغمات الصوت ، ويصرفها عن الاعتبار والتدبر لمعاني القرآن الكريم .
وقد سئل ( مالك ) عن الألحان في الصلاة فقال : لا تعجبني ، وقال : إنما هو غناء يتغنّون به ليأخذوا عليه الدراهم .
وروي عن الإمام ( أحمد ) أنه كان يقول : قراءة الألحان ما تعجبني ، والقراءة بها بدعة لا تسمع .
وسئل : ما تقول في القراءة بالألحان؟ فقال للسائل : ما اسمك؟ قال : محمد ، قال له : أيسرّك أن يقال لك : يا موحامد ممدوداً؟
أدلة المذهب الثاني :
واستدل المجيزون للقراءة بالتلحين وهم ( الحنفية والشافعية ) بأدلة نوجزها فيما يلي :
أ- حديث : تفسير آيات الأحكام - (1 / 610)
« زينوا القرآن بأصواتكم » .
ب- حديث : « ليس منّا من لم يتغنّ بالقرآن » .
ج - حديث عبد الله بن مغفّل قال : ( لقد أعطيتَ مزماراً من مزامير آل داود ) فقال له أبو موسى : ( لو علمت أنك تسمع لحبّرته لك تحبيراً ) .
ه - حديث : « ما أذِنَ الله لشيء أذنَه لنبي حسن الصوت يتغنى بالقرآن » .
و- وقالوا أيضاً : إنّ الترنّم بالقرآن والتطريب بقراءته من شأنه أن يبعث على الاستماع والإصغاء ، وهو أوقع في النفس ، وأنفذ في القلب وأبلغ في التأثير .
وقد روى الطبري : عن عمر بن الخطاب أنه كان يقول لأبي موسى الأشعري : ذكّرنا ربنا ، فيقرأ أبو موسى ويتلاحن فيقول عمر : من استطاع أن يتغنى بالقرآن غناء أبي موسى فليفعل .
وكان ابن مسعود : تعجبه قراءة ( علقمة الأسود ) - وكان حسن الصوت - فكان يقرأ له علقمة ، فإذا فرغ قال له : زدني فداك أبي وأمي .
هذه خلاصة موجزة لأدلة الفريقين ، وأنت إذا أمعنت النظر وجدت أن الخلاف بينهم يكان يكون ( شكلياً ) لا ( جوهرياً ) فالفقهاء جميعاً متفقون على حرمة قراءة القرآن بالأنغام ، التي لا تراعى فيها أحكام التجويد ، كمدّ المقصور ، وقصر الممدود ، وترقيق المفخّم ، وتفخيم المرقق ، وإظهار ما ينبغي إدغامه ، وإخفاء ما ينبغي إظهاره . . . إلخ ، والتي يكون الغرض منها ( التطريب ) وإظهار جمال الصوت فحسب دون تقيّد بالأحكام وآداب التلاوة ، كما يفعله بعض الجهلة من قراء هذا العصر ، فإن هذا لا يشك أحد في تحريمه .
أما إذا كان المراد ب ( التلحين ) هو تحسين الصوت بالقراءة وإخراج الحروف سليمة من مخارجها ، دون تعقر أو تمطيط ، مع تطبيق أحكام التجويد ومراعاة الوقوف والمدود فإن هذا لا يقول أحد بتحريمه ، لأن الصوت الحسن يزيد في جمال القرآن ، وله أثر في نفس الإنسان ، وقد استمع النبي عليه الصلاة والسلام إلى قراءة بعض أصحابه ، فأعجب بحسن صوته حتى قال لأبي موسى الأشعري : « لقد أعطيتَ مزماراً من مزامير آل داود » والله الموفق والهادي إلى سواء السبيل .
Hadis diatas mengindikasikan bahwa melagukan bacaan Al-Qur’an adalah sesuatu yang dihimbau, karena

(

النشر في القراءات العشر - (1 / 16)
(فممن كان بالمدينة) ابن المسيب، وعروة، وسالم، وعمر بن عبد العزيز،النشر في القراءات العشر - (1 / 17)
وسليمان وعطاء إبنا يسار، ومعاذ بن الحارث المعروف بمعاذ القارئ، وعبد الرحمن بن هرمز الأعرج،وابن شهاب الزهري، ومسلم بن جندب، وزيد بن أسلم (وبمكة) عبيد بن عمير، وعطاء، وطاووس، ومجاهد، وعكرمة، وأبن أبي مليكة (وبالكوفة) علقمة، والأسود، ومسروق، وعبيدة وعمرو بن شرحبيل، والحارث بن قيس، والربيع بن خثيم، وعمرو بن ميمون، وأبو عبد الرحمن السلمي، وزر بن حبيش، وعبيد بن نضيلة، وأبو زرعة ابن عمرو بن جرير، وسعيد بن جبير، وإبراهيم النخعي، والشعبي،. (وبالبصرة) عامر بن عبد قيس، وأبو العالية، وأبو رجاء، ونصر بن عاصم، ويحيى بن يعمر، ومعاذ، وجابر بن زيد، والحسن، وابن سيرين، وقتادة (وبالشام) المغيرة بن أبي شهاب المخزومي صاحب عثمان بن عفان في القراءة وخليد بن سعد صاحب أبي الدرداء. ثم تجرد قوم للقراءة والأخذ واعتنوا بضبط القراءة، أتم عناية حتى صاروا في ذلك أئمة يقتدى بهم ويرحل إليهم ويؤخذ عنهم، أجمع أهل بلدهم على تلقي قراءتهم بالقبول ولم يختلف عليهم فيها اثنان ولتصديهم للقراءة نسبت إليهم (فكان بالمدينة) أبو جعفر يزيد بن القعقاع ثم شيبة بن نصاح ثم نافع بن أبي نعيم (وكان بمكة) عبد الله بن كثير وحميد بن قيس الأعرج ومحمد بن محيصن (وكان بالكوفة) يحيى ابن وثاب وعاصم بن أبي النجود وسليمان الأعمش ثم حمزة ثم الكسائي (وكان بالبصرة) عبد الله ابن أبي إسحق وعيسى بن عمر وأبو عمرو بن العلاء ثم عاصي الجحدري ثم يعقوب الحضرمي (وكان بالشام) عبد الله بن عامر وعطية بن قيس الكلابي وإسماعيل بن عبد الله بن المهاجر ثم يحيى بن الحارث الذماري ثم شريح بن يزيد الحضرمي. النشر في القراءات العشر - (1 / 18)
ثم إن القراء بعد هؤلاء المذكورين كثروا وتفرقوا في البلاد وانتشروا وخلفهم أمم بعد أمم ، عرفت طبقاتهم، واختلفت صفاتهم، فكان منهم المتقن للتلاوة المشهور بالرواية والدراية، ومنهم المقتصر على وصف من هذه الأوصاف، وكثر بينهم لذلك الاختلاف. وقلَّ الضبط، واتسع الخرق، وكاد الباطل يلتبس بالحق، فقام جهابذة علماء الأمة، وصناديد الأئمة، فبالغوا في الاجتهاد وبينوا الحق المراد وجمعوا الحروف والقراءات، وعزوا الوجوه والروايات، وميزوا بين المشهور والشاذ، والصحيح والفاذ، بأصول أصولها، وأركان فصلوها، وهانحن نشير إليها ونعول كما عولوا عليها فنقول:
الغناء :
مقدمة ابن خلدون - (1 / 243)
وقد أنكر مالك رحمه الله تعالى القراءة بالتلحين، وأجازها الشافعي رضي الله تعالى عنه. وليس المراد تلحين الموسيقى الصناعي، فإنه لا ينبغي أن يختلف في حظره، إذ صناعة الغناء مباينة للقرآن بكل وجه، لأن القراءة والأداء تحتاج إلى مقدار من الصوت لتعيين أداء الحروف من حيث إتباع الحركات في مواضعها، ومقدار المد عند من يطلقة أو يقصره، وأمثال ذلك. والتلحين أيضاً يتعين له مقدار من الصوت لا يتم إلا به من أجل التناسب الذي قلناه في حقيقة التلحين. فاعتبار أحدهما قد يخل بالأخر إذا تعارضا. وتقديم التلاوة متعين فراراً من تغيير الرواية المنقولة في القرآن، فلا يمكن اجتماع التلحين والأداء المعتبر في القرآن بوجه. وإنما المراد عن اختلافهم التلحين البسيط الذي يهتدي إليه صاحب المضمار بطبعه كما قدمناه، فيردد أصواته ترديداً على نسب يدركها العالم بالغناء وغيره، ولا ينبغبي ذلك بوجه كما قاله مالك. هذا هو محل الخلاف. والظاهر تنزية القرآن عن هذا كله كما ذهب إليه الإمام رحمه الله تعالى، لأن القرآن هو محل خشوع بذكر الموت وما بعده وليس مقام التذاذ بإدراك الحسن من الأصوات. وهكذا كانت قراءة الصحابة رضي الله عنهم كما في أخبارهم.
مقدمة ابن خلدون - (1 / 244)
وأما قوله صلى الله عليه وسلم: " لقد أوتي مزماراً من مزامير آل داود، فليس المراد به الترديد والتلحين، إنما معناه حسن الصوت وأداء القراءة والإبانة في مخارج الحروف والنطق بها. وإذ قد ذكرنا معنى الغناء، فاعلم أنه يحدث في العمران، إذا توفر وتجاوز حد الضرروي إلى الحاجي، ثم إلى الكمالي، وتفننوا فيه، فتحدث هذه الصناعة. لأنه لا يستدعيها إلا من فرغ من جميع حاجاته الضرورية والمهمة من المعاش والمنزل وغيره، فلا يطلبها، إلا الفارغون عن سائر أحوالهم تفنناً في مذاهب الملذوذات. وكان في سلطان العجم قبل الملة منها بحر زاخر في أمصارهم ومدنهم. وكان ملوكهم يتخذون ذلك ويولعون به، حتى لقد كان لملوك الفرس اهتمام بأهل هذه الصناعة، ولهم مكان في دولتهم، وكانوا يحضرون مشاهدهم ومجامعهم ويغنون فيها. وهذا شأن العجم لهذا العهد في كل أفق من آفاقهم، ومملكة من ممالكهم.
وأما العرب فكان لهم أولاً فن الشعر، يؤلفون فيه الكلام أجزاء متساوية على تناسب بينها، في عدة حروفها المتحركة والساكنة ويفضلون الكلام في تلك الأجزاء تفصيلاً يكون كل جزء منها مستقلاً بالإدادة، لا ينعطف على الآخر. ويسمونه البيت فيلائم الطبع بالتجزئة أولاً، ثم بتناسب الأجزاء في المقاطع والمبادىء، ثم بتأدية المعنى المقصود وتطبيق الكلام عليها. فلهجوا به فامتاز من بين كلامهم بحظ من الشرف ليس لغيره، لأجل اختصاصه بهذا التناسب. وجعلوه ديواناً لأخبارهم وحكمهم وشرفهم ومحكاً لقرائحهم في إصابة المعاني وإجادة الأساليب. واستمروا على ذلك. وهذا التناسب الذي من أجل الأجزاء والمتحرك والساكن من الحروف، قطرة من بحر من تناسب الأصوات، كما هو معروف في كتب الموسيقى. إلا أنهم لم يشعروا بما سواه، لأنهم حينئذ لم ينتحلوا علماً ولا عرفوا صناعة. وكانت البداوة أغلب نحلهم. ثم تغنى الحداة منهم في حداء إبلهم، والفتيان في قضاء خلواتهم، فرجعوا الأصوات وترنموا. وكانوا يسمون الترنم إذا كان بالشعر غناء وإذا كان بالتهليل أو نوع القراءة تغييراً بالغين المعجمة والباء الموحدة. وعللها أبو إسحق الزجاج بأنها تذكر بالغابر وهو الباقي، أي بأحوال الآخرة. وربما ناسبوا في غنائهم بين النغمات مناسبة بسيطة، كما ذكره ابن رشيق آخر كتاب العمدة وغيره. وكانوا يسمونه السناد، وكان أكثر ما يكون منهم في الخفيف الذي يرقص عليه ويمشي بالدف والمزمار فيطرب ويستخف الحلوم. وكانوا يسمون هذا الهزج، وهذا البسيط، كله من التلاحين هو من أوائلها، ولا يبعد أن تتفطن له الطباع من غير تعليم شأن البسائط كلها من الصنائع.
ولم يزل هذا شأن العرب في بداوتهم وجاهليتهم. فلما جاء الإسلام، واستولوا على ممالك الدنيا، وحازوا سلطان العجم، وغلبوهم عليه، وكانوا من البداوة والغضاضة على الحال التي عرفت لهم مع غضارة الدين وشدته في ترك أحوال الفراغ. وما ليس بنافع في دين ولا معاش، فهجروا ذلك شيئاً ما. ولم يكن الملذوذ عندهم إلا ترجيع القراءة والترنم بالشعر الذي كان دينهم ومذهبهم. فلما جاءهم الترف وغلب عليهم الرفه بما حصل لهم من غنائم الأمم صاروا إلى نضارة العيش ورقة الحاشية واستحلاء الفراغ. وافترق المغنون من الفرس والروم فوقعوا إلى الحجاز وصاروا موالي للعرب، وغنوا جميعاً بالعيدان والطنابير والمعازف والزمامير، وسمع العرب تلحينهم للأصوات ولحنوا عليها أشعارهم.
وظهر بالمدينة نشيط الفارسي وطويس وسائب وحائر مولى عبد الله بن جعفر، فسمعوا شعر العرب ولحنوه وأجادوا فيه وطار لهم ذكر. ثم أخذ عنهم معبد وطبقته وابن سريج وأنظاره. وما زالت صناعة الغناء تتمزج إلى أن كملت أيام بني العباس عند إبراهيم بن المهدي، وإبراهيم الموصلي وابنه إسحق وابنه حماد. وكان من ذلك في دولتهم ببغداد، ما تبعه الحديث بعده به وبمجالسه لهذا العهد، وأمعنوا في اللهو واللعب، واتخذت آلات الرقص في الملبس والقضبان والأشعار التي يترنم بها عليه. وجعل صنفاً وحده، واتخذت آلات أخرى للرقص تسمى بالكرج، وهي تماثيل خيل مسرجة من الخشب، معلقة بأطراف أقبية يلبسها النسوان، ويحاكين بها امتطاء الخيل فيكرون ويفرون ويتثاقفون، وأمثال ذلك من اللعب المعد للولائم والأعراس وأيام الأعياد ومجالس الفراغ واللهو.
مقدمة ابن خلدون - (1 / 245)
وكثر ذلك ببغداد وأمصار العراق وانتشر منها إلى غيرها. وكان للموصليين غلام اسمه زرياب، أخذ عنهم الغناء فأجاد، فصرفوه إلى المغرب غيرة منه، فلحق بالحكم بن هشام بن عبد الرحمن الداخل أمير الأندلس. فبالغ في تكرمته، وركب للقائه وأسنى له الجوائز والإقطاعات والجرايات، وأحله من دولته وندمائه بمكان. فأورث بالأندلس من صناعة الغناء ما تناقلوه إلى أزمان الطوائف. وطما منها بإشبيلية بحر زاخر، وتناقل منها بعد ذهاب غضارتها إلى بلاد العدوة بإفريقية والمغرب. وانقسم على أمصارها، وبها الأن منها صبابة على تراجع عمرانها وتناقص دولها. وهذه الصناعة آخر ما يحصل في العمران من الصنائع لأنها كمالية في غير وظيفة من الوظائف، إلا وظيفة الفراغ والفرح. وهي أيضاً أول ما ينقطع من العمران عند اختلاله وتراجعه. والله أعلم.

الأغاني - (3 / 273)
أخبار ابن مسجح ونسبه
 سعيد بن مسجح أبو عثمان مولى بني جمح وقيل إنه مولى بني نوفل بن الحارث بن عبد المطلب مكي أسود مغن متقدم من فحول المغنين وأكابرهم وأول من صنع الغناء منهم ونقل غناء الفرس إلى غناء العرب ثم رحل إلى الشأم وأخذ ألحان الروم والبربطية والأسطوخوسية وانقلب إلى فارس فأخذ بها غناء كثيرا وتعلم الضرب ثم قدم إلى الحجاز وقد أخذ محاسن تلك النغم وألقى منها ما استقبحه من النبرات والنغم التي هي موجودة في نغم غناء الفرس والروم خارجة عن غناء العرب وغنى على هذا المذهب فكان أول من أثبت ذلك ولحنه وتبعه الناس بعد
 أخبرني محمد بن خلف بن المرزبان والحسين بن يحيى قالا حدثنا حماد بن إسحاق عن أبيه عن هشام بن المرية أن أول من غنى هذا الغناء العربي بمكة ابن مسجح مولى بني مخزوم وذلك أنه مر بالفرس وهم يبنون المسجد الحرام فسمع غناءهم بالفارسية فقلبه في شعر عربي وهو الذي علم ابن سريج والغريض وكان ابن مسجح مولدا أسود يكنى بأبي عيسى

شرح كتاب التوحيد من صحيح البخاري - الغنيمان - (2 / 278)
قال الحافظ: (( ولا شك أن النفوس تميل إلى سماع القراءة بالترنم أكثر من ميلها لمن لا يترنم؛ لأن للتطريب تأثيراً في رقة القلب، وإجراء الدمع. ولا خلاف بين السلف في استحباب تحسين الصوت بالقراءة، وتقديم حسن الصوت على غيره.
وإنما اختلفوا في التلحين، بين مانع ومجيز.
والذي يتحصل من الأدلة أن حسن الصوت بالقراءة مطلوب، فإن لم يكن حسناً فليحسنه ما استطاع، كما قال ابن أبي مليكة، أحد رواة الحديث، أخرج ذلك عنه أبو داود بإسناد صحيح.
ومن جملة تحسينه: أن يراعي فيه قوانين النغم، فإن الحسن الصوت يزداد بذلك حسناً، وإن خرج عنها أثر ذلك في حسنه.
وغير الحسن ربما انجبر بمراعاتها، ما لم يخرج عن شرط الأداء المعتبر عند أهل القراءات، فإن خرج عنها لم يفِ تحسين الصوت بقبح الأداء.
ولعل هذا مستند من كره القراءة بالأنغام؛ لأن الغالب على من راعى الأنغام أن لا يراعي الأداء، فإن وجد من يراعيهما معاً، فلا شك أنه أرجح من غيره، لأنه يأتي بالمطلوب من تحسين الصوت، ويتجنب الممنوع من حرمة الأداء. والله أعلم ))(2).
__________
(1) فتح الباري )) ( 9/72).
(2) الفتح )) (9/72).


7 komentar:

  1. Syukron katsiron, bermanfaat sekali...
    Kalau boleh tau, Anti dapat materinya darimana? ada bukunya g?
    Soalnya Ana juga sedang mencari buku2 yang berkenaan dengan tarannum.
    Syukron...

    BalasHapus
  2. جزاك الله خيرا جز
    saya mampir ke blog ini dibawa oleh keyword بدأت ب بسم الله, isinya sangat bermanfaat menambah wawasan tentang perkembangan qiraat dan taranum.

    BalasHapus
  3. syukur kepada Allah, dengan tulisan ini sudah menjadikan ilmu kita bertambah.

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum.. Blogger yg baik. Saya suka...meskipun saya bukan qari. Tapi hal ini sangat membantu saya. Dan ada hal yg ingin saya tanyakan..
    1. Apa perbedaan tarannum dengan tausyih?

    2. Saya coba memahami .(. Tetapi saya tidak mengerti bagaimana cara kerja tausyih ketika diterapkan dalam ayat,,membuat saya agak bingung.

    3. Ada yg menyatakan tentang riwayat penulisan alquran an..jumlah ada 14.
    Yg saya ingat...muhaffash, qalun, waras, hadiah...sisa nya saya tidak ingat...mohon di konfirmasi dan penjelasannya...

    Terimakasih
    Suhaidi.Pontianak kalbar

    BalasHapus
  5. Ada salah tulis( hadiah). Maksudnya riwayat Hamzah

    BalasHapus
  6. ِAssalamu'alaikum Ustadzah terakhir saya ketemu antum waktu Pembahasan Mushaf Qiroat Warsy, salam kenal alhamdulillah saya menemukan artikel Qiraat dari blog antum. Izin Copas Ustadzah

    BalasHapus