PERAN
SANTRI DALAM MEMBANGUN BANGSA
Oleh
: Ahsin Sakho Muhammad
D
|
alam
khazanah budaya Indonesia, khususnya jawa, istilah santri ditujukan kepada
pelajar yang menekuni ilmu-ilmu keislaman. Dalam Ensiklopedia Britanica, disebutkan
bahwa istilah “Shastri” berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang orang
yang belajar. Orang yang belajar di sini adalah orang yang belajar ilmu-ilmu
kehinduan dalam sebuah padepokan. Besar
kemungkinan kata “Santri” adalah
dari bahasa sansekerta ini. Tempat yang digunakan oleh santri dinamakan “
Pesantren” yaitu tempat santri belajar. Kadangkala juga disebut dengan istilah Pondok
Pesantren. Istilah “Pondok” terambil dari kata “Funduq” yang dalam khazanah fikih diartikan dengan tempat menginap yang terdiri
dari beberapa kamar untuk para musafir, orang asing, pedagang. Istilah Guru
yang mengajarkan ilmu keislaman kepada para santri juga berasal dari bahasa
sansekerta yang juga berarti pengajar. Di
Jawa istilah yang paling populer untuk pemangku pesantren atau orang yang ahli
dalam ilmu agama islam disebut Kiai.
Pesantren
telah dikenal di Indonesia sejak lama. Tidak diketahui mulai kapan?. Ada yang
mengatakan bahwa pesantren mulai dari masa “Wali Songo” yaitu sekitar abad ke
16 masehi. Kemunculan pesantren pada masa lalu berawal dari seorang Kiai yang
pandai dalam ilmu keislaman yang mendiami satu daerah. Kiai tersebut mulai menjalankan missinya dengan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Pada mulanya
di rumah sendiri, kemudian berpindah ke langgar. Tidak berapa lama Kiai tersebut
didatangi dan dikerumuni banyak orang yang ingin menimba ilmu dari beliau. Mereka
bisa berasal dari daerah yang jauh. Karena mereka butuh tempat menginap, kiai
tersebut membikinkan bilik-bilik untuk mereka. Atau mereka sendiri yang
membikin bilik-bilik tersebut di tanah pekarangan milik Pak Kiai. Lambat
laun muncullah satu padepokan yang akhirnya dinamakan pesantren.
Di
Indonesia, pesantren telah berperan sangat signifikan. Bagaimana tidak ? pada
saat Indonesia masih di menjadi jajahan Belanda, pesantren telah banyak berbuat
untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Para santri dididik oleh para Kiai
berbagai ilmu keislaman, utamanya ilmu fikih yang bisa dipraktikkan sehari-hari
dan ilmu tasawwuf/akhlak sebagai barometer kemuliaan seseorang. Para santri diberikan pelajaran tulis-menulis, terutama
dengan huruf Arab pegon. Di samping
dididik cara hidup sederhana, berinteraksi dengan orang lain, berdikari,
belajar mengatur diri-sendiri. Dari gubug-gubug santri yang sangat sederhana
inilah muncul para Ulama, Kiai, Tuan Guru, Buya, Teuku dan pemuka pemuka agama
Islam yang kelak akan menjadi pemuka masyarakat yang sangat di segani dan
menjadi motivator pembangunan di daerahnya masing masing. Mereka adalah
pemimpin non-formal yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sepanjang hidup
mereka.
Kiprah Kiai di masyarakat cukup
signifikan dan cukup sentral. Dari mulai persoalan ibadah sampai sosial. Para
Kiai punya peran besar dalam membawa santrinya dan juga masyarakat di
sekitarnya untuk menjadi warga negara yang saleh, taat beribadah, dan berakhlak
mulia. Semua itu dikerjakan sendiri oleh para Kiai dengan swadaya, baik oleh
Kiai sendiri dan atau bantuan dari masyarakat.
Kepedulian santri untuk
membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda bisa dibuktikan pada saat
para Kiai di Jawa Timur menggelorakan Perang Jihad melawan belanda. Pecahlah
perang 10 November 1945 di Surabaya yang akhirnya dijadikan sebagai hari
pahlawan. Banyak para ulama dan kaum
santri yang memasuki medan laga dalam peperangan melawan Belanda, dan mereka
gugur dalam peperangan, mereka mati
syahid. Para Ulama, terutama Ulama NU, pada masa itu bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram bagi seorang
muslim memakai dasi dan jas, karena dianggap meniru gaya penjajah yang nota
bene non muslim. Hal
itu karena kebencian yang memuncak dengan perilaku kaum penjajah. Para ulama
berpijak kepada hadis bahwa “Barang siapa yang meniru niru budaya satu kaum,
maka dia termasuk dalam kaum tersebut”.
Pada
saat Indonesia merdeka, kembali pesantren mempunyai andil yang besar yaitu
dengan keikut sertaan para Kiai ikut dalam pemerintahan seperti menjadi Menteri
seperti K.H.Wahid Hasyim yang menjadi Menteri Agama, begitu juag K.H.Ilyas, Saefudin
Zuhri, Moh.Dahlan dan lain lainnya. Mereka
adalah Kiai Kiai dari pesantren. Sementara pesantren terus berkiprah dalam
dunia pendidikan dan perbaikan akhlak para santri.
Jumlah pesantren dan santri
dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pesantren pun telah banyak memodifikasi
diri. Jika pada saat yang lalu kebanyakan pesantren menerapkan sistim salaf
yaitu dengan sistim mengaji kepada kiai dengan sistim “sorogan” atau
“bandongan” tanpa dibedakan tingkatan para santri, kemudian muncul sistim
klasikal dengan jenjang kelas yang bermacam macam. Lalu
muncul kelas dasar yang disebut Ibtida’i, Tsanawi dan ‘Aliyah.
Sejalan
dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, pesantren pun ikut
berkiprah bersama dengan pemerintah dalam mencerdaskan bangsa melalui jenjang
kelas dan kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah. Kemudian ada pesantren yang memodifikasi
sendiri sebagai pesantren yang menerapkan sistim modern yaitu menggabungkan
antara ilmu agama dan umum dengan metode pelajaran yang modern pula, dengan
ciri khas pengajaran bahasa asing. Utamanya bahasa arab dan inggris. Pesantren
model ini ternyata membawa dampak yang sangat besar bagi munculnya intelektual
muda yang sangat potensial. Sudah banyak alumnus pesantren model ini yang
berkiprah dalam membangun bangsa ini. Model pesantren seperti ini akhirnya
menjadi “Franchise”yang banyak diminati oleh masyarakat, sehingga pesantren
pesantren model ini tumbuh pesat dimana mana.
Yang
unik dari dunia pesantren adalah, bahwa setiap pesantren mempunyai spesifikasi
sendiri dalam menata sistim pendidikannya, kurikulum dan aturan aturan internal
lainnya. Dari sekian banyak pesantren yang menyelenggarakan pendidikan ada
beberapa catatan untuk dunia pesantren yaitu : pesantren masih belum bisa
menyelengarakan pendidikan tingginya sendiri yang mempunyai keahlian akademik
sebagaimana apa yang kita lihat saat ini. Dari sini pesantren masih belum bisa
bersaing dengan dunia pendidikan tinggi di luar pesantren yang bisa mencapai
pendidikan tertinggi setingkat S2 dan S3. Betapapaun demikian keberadaan
pesantren sampai saat ini masih sangat dirasakan peranannya dalam dunia
pendidikan. Sampai saat ini pesantren pesantren baru, banyak bermunculan dimana
mana. Peminat dari orang tua santri untuk menyekolahkan anaknya di pesantren
juga masih tinggi. Lebih dari itu banyak sekolah tinggi yang pada mulanya berawal
dari sekolah biasa, mengadakan sistim seperti pesantren yaitu adanya pemondokan
bagi para muridnya. Di Universitas
universitas islam di Timur Tengah, ternyata sistim yang digunakan adalah sistim
pesantren, seperti : “Madinah al-Bu’uts sl-Islamiyyah” di al-Azhar Mesir atau
di Universitas Islam madinah Saudi Arabia, atau di “Kulliyatud Da’wah
al-Islamiyah” di Libia .
Ciri
khas pesantren semenjak dulu yang menjadikan daya pikat masyarakat adalah :
kesederhanaan, kemandirian, kebersamaan, keikhlasan, kepatuhan kepada guru,
kepatuhan kepada nilai nilai moral dan akhlak, kesalehan invidual maupun
kesalehan sosial dan lain sebagainya. Ternyata sistim ini sangat efektif untuk
mendidik dan menciptakan generasi islam
yang mumpuni.
Al-Qur’an
dan Dunia kaum Santri
Dalam
al-Qur’an tidak kita jumpai masyarakat pesantren sebagaimana yang kita pahami
sekarang ini. Namun nilai yang dikembangkan kaum santri dalam kehidupan sehari
hari banyak kita temukan seperti keikhlasan, kepedulian kepada sesama,
berakhlak mulia, bertakwa kepada Allah dan lain sebagainya. Betapapun demikian ada beberapa ayat yang bisa kaitkan
dengan dunia pesantren.
Cerita nabi Musa dengan nabi
Khidir yang tertuangkan dalam surah al-Kahf, bisa dijadikan contoh dalam
kepatuhan seorang murid kepada guru dan kegigihan dalam mencari ilmu dan guru
yang mursyid. Nabi Musa ingin mencari seorang guru yang akan mengajarinya satu
ilmu Allah yang belum diberikan kepadanya. Nabi Musa dengan pendampingnya
berjalan berhari hari dengan sangat melelahkan, untuk mendapatkan guru yang
dimaksud. Setelah mendapatkannya di “Majma’ al-bahrain”
(pertemuan dua laut), nabi Musa diajari untuk bersabar dalam menghadapi
kejadian apapun. Ada tiga peristiwa dimana nabi Musa tidak habis berfikir kenapa hal tersebut dilakukan oleh gurunya ?
nabi Musa memprotes atau setidaknya perlu menanyakan tentang tiga hal tersebut,
karena memang bertentangan dengan syari’at atau tidak lazim. Padahal dalam
perjanjian semula, nabi Musa tidak boleh menanyakan sesuatu apapun yang dilakukan gurunya. Tiga hal tersebut
ialah : merusak perahu milik orang miskin, membunuh anak kecil yang tidak
berdosa dan membenahi tembok yang sudah
miring tanpa mendapat imbalan apapun. Akhirnya nabi Khidir mengajak berpisah,
karena nabi Musa telah “gagal” mempertahankan janji semula yaitu tidak boleh
bertanya tentang apapun yang dilakukan gurunya. Nabi Khidirpun membuka rahasia
tentang kejadian yang dilakukanya. Ternyata nabi Khidir melakukan hal tersebut
berdasarkan “ilmu” yang diberikan Allah kepadanya, yang tidak diberikan kepada
nabi Musa.
Cerita nabi Musa dan nabi
Khidir ini bisa dijadikan “’’ibrah”atau
pelajaran tentang kegigihan seorang murid (santri) dalam melakukan perjalanan
mencari ilmu dari guru yang dalam “satu cabang ilmu” lebih senior. Dan menjadi
pelajaran bahwa seorang yang walaupun sudah mendapat kedudukan yang tinggi
(menjadi nabi), tetapi masih tetap mempunyai semangat untuk mencari ilmu. Nabi
Musa juga mempunyai daya kritis terhadap gurunya yang melakukan tindakan yang
tidak sesuai dengan syari’at nabi Musa. Namun nabi Musa juga akhirnya memahami
tindakan nabi Khidir, karena tindakannya berdasarkan ilmu yang diberikan oleh
Allah kepadanya.
Ayat lain yang terkait dengan
dunia santri adalah ayat yang disebutkan diatas. Ayat tersebut turun terkait
dengan banyaknya sahabat yang pergi berperang melawan musuh musuh islam yang
telah menzalimi mereka. Banyak diantara mereka yang bersumpah akan terus pergi
berperang selama hidup. Jika mereka pergi berperang tanpa dipimpin nabi, dengan konsekwensi mereka meninggalkan Nabi
sendirian di madinah. Keadaan ini dalam
pandangan Allah menyebabkan kerugian banyak karena tidak ada yang mau belajar
agama dari nabi. Oleh karena itu ayat ini menghimbau kepada para sahabat, jika
tidak ada mobilisasi umum dari nabi untuk berperang, maka harus ada dua
kelompok. Ada kelompok yang tetap bersama nabi untuk belajar ilmu agama. Dan
kelompok yang pergi berperang. Jika kelompok yang pergi berperang tersebut
pulang kembali ke madinah, maka hendaknya kelompok yang bersama nabi memberikan
pengajaran kepada kelompok yang pergi berperang tentang apa yang mereka
dapatkan dari nabi. Sebaliknya mereka yang pergi berperang juga memberikan
pengajaran tentang apa yang mereka lihat di medan perang seperti keajaiban
tentang bentuk pertolongan Allah kepada mereka pada saat berperang.
Ayat ini walaupun diturunkan
dalam konteks tertentu, namun jangkauan pengertian ayat ini bisa menembus batas
kawasan dan arena turunnya. Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa hendaklah
ada sekelompok orang yang menekuni ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fiddin)
sampai betul betul memahaminya. Kelompok ini jumlahnya sedikit saja seperti
pengertian kata “Thaifah”. Hal ini memberikan pengertian bahwa mayoritas
masyarakat tidak diharuskan bertafaqquh fiddin. Tapi cukup bagi mereka menjadi
“mutadayyin” atau orang yang berperilaku agama secara baik. Kelompok yang
sedikit ini hendaknya betul betul “bertafaqquh fiddin” sehingga bisa menjadi
“faqih fid din” yang mampu memberikan
pencerahan kepada masyarakat.
Kelompok kedua adalah kelompok
pejuang di jalan islam yang akan mempertahankan panji panji keislaman. Kedua
kelompok ini mempunyai missi yang sama yaitu menyebarkan agama dengan ilmu dan
amal. Pengertian “tafaqquh fiddin”
menjangkau semua aspek pengetahuan tentang ajaran agama islam, dari persoalan
akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, kekeluargaan dan lain sebagainya. Tugas
mereka kemudian adalah menyebarkan kesadaran beragama tersebut kepada
masyarakat agar bisa menjaga diri yaitu dengan menjalankan kehidupan mereka
agar sesuai dengan ajaran agama islam. Substansinya adalah agar mereka selalu
dalam jalur yang benar. Tugas untuk “tafaqquh fiddin” persis dengan apa yang
menjadi tugas seorang santri yang memang bertujuan untuk memahami ajaran agama.
Teknis dari tafaqquh fiddin sudah tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masing masing. Jika pada masa lalu tafaqquh fiddin masih sebatas di surau
surau, maka pada masa kini bisa di bangku perkuliahan dengan alat alat yang
modern. Begitu juga teknis penyampaian ajaran agama yang telah diperolehnya.
Disesuaikan dengan perkembangan di masyarakat. Jika pada masa kini, dunia telah berkembang
maju dari segi teknologi, semestinya santri juga bisa mengembangkan dirinya
dengan teknologi tersebut.
Peran
Santri Pada Masa Kini.
Pada
saat ini dunia berkembang dengan sangat pesat. Kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan menyebabkan percepatan dalam segala bidang. Arus globalisasi sudah
tidak bisa terbendung lagi. Efek samping dari arus globalisasi ini mengenai
semua aspek kehidupan umat manusia, dengan sisi positif dan negatifnya. Hanya
saja unsur unsur yang memberangus nilai nilai dan tatanan yang dibawa islam
lebih dominan dari unsur membangunnya. Para ulama masa lalu telah berhasil
menanamkan nilai nilai keislaman dengan baik di masyarakat. Adanya hukum adat
dalam masyarakat yang mempunyai nilai yang bagus sesungguhnya adalah tatanan
nilai yang diajarkan oleh para ulama pendahulu. Namun tatanan tersebut sedikit demi sedikit mulai terkena
erosi oleh kemajuan zaman. Maka agar tatanan nilai tersebut tidak terus
menerus terkena erosi, mau tidak mau
generasi yang mengusung tatanan nilai islami harus terus ditumbuh kembangkan.
Institusi yang paling berkompeten dalam hal ini adalah pesantren. Karena
pesantrenlah yang mampu menciptakan ruang lingkup kehidupan keagamaan yang intensif.
Ada satu ayat yang agaknya bisa
dijadikan pegangan dalam menghadapi arus globalisasi ini. Ayat tersebut adalah
:
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ
(196) مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (197) [آل
عمران : 196 ، 197]
Artinya : janganlah pergerakan orang orang kafir di
seluruh negeri menjadikan kamu terbujuk. Itu hanyalah kesenangan yang sedikit,
kemudian tempat kembali mereka adalah di neraka jahanam. Seburuk buruknya
tempat.
Ayat diatas sangat tepat
dibacakan pada saat ini. Banyak orang yang silau dengan kemajuan teknologi
barat, sehingga mereka terpengaruh oleh sisi sisi negatif dari kehidupan barat
. mereka hanyut dengan kehidupan model demikian. Ayat tersebut memberikan pelajaran
yang berharga bahwa kaum muslimin harus mempunyai sikap yang tegas dan
mempunyai prinsip yang tidak tergoyahkan oleh apapun, walaupun hal itu sangat
menarik baginya.
Namun demikian seorang santri
pada masa kini harus mengetahui kondsisi zamannya. Masyarakat yang ada di
sekitar santri makin lama makin maju, semakin kritis terhadap segala
sesuatu,semakin rasional dan komprehensif dalam memandang satu persoalan. Oleh
karena itu santri masa kini perlu memerhatikan hal hal berikut :
Pertama : santri harus
terus mengikuti perkembangan zaman, melihat perilaku masyarakat. dan menghadapinya dengan hati hati dan bijak. Setiap
zaman mempunyai karakteristiknya masing masing yang berbeda dengan masa
sebelumnya. Maka penanganan terhadap satu mas’alah pun juga akan berbeda.
Kedua : Santri harus bisa berbicara dengan bahasa dan
alur pemikiran masyarakat yang dihadapi. Santri masa kini tidak boleh kaku
dalam menerapkan ajaran islam tapi harus fleksibel. Penerapan ajaran islam
secara kaku hanya akan menuai kritikan dari masyarakat. Ada hal hal yang
prinsipil yang tidak boleh ada toleransi seperti mas’alah akidah dan akhlak.
Tapi ada yang bisa di toleransi seperti persoalan mu’amalah dan persoalan
ijtihadiyah dimana ruang gerak akal mendapatkan tempatnya yang cukup luas.
Ketiga : santri harus bisa mengembangkan diri. Tidak puas
dengan keilmuan dan keahlian yang ada.
Pengembangan diri ini mutlak diperlukan agar jangan sampai jalan di tempat. Banyak
membaca merupakan salah satu cara untuk memperluas wawasan. Budaya tulis
menulis termasuk dalam pengembangan diri. Dalam dunia dimana informasi bagaikan
air bah yang tidak bisa dibendung lagi, kaum santri perlu memanfaatkan
informasi tersebut dengan sebaik baiknya. Jika tidak, dia akan tertinggal.
Keempat: kaum santri perlu tetap mengedepankan nilai
nilai akhlak al-karimah. Bersikap tegas dalam setiap persoalan pokok ajaran
agama islam. Bahwa yang benar adalah benar, harus di bela dan yang salah tetap
salah, harus disalahkan. Tidak tergoda oleh apapun juga. Penegakkan amar ma’ruf
nahi munkar adalah unsur paling penting bagi sosok Kiai yang disegani oleh
masyarakatnya. Karena Kiai adalah sosok nilai yang berjalan. Walaupun demikian, dalam pelaksanaan amar makruf-nahi munkar bisa bersifat akomodatif, persuasif dan
fleksibel. Kiai juga Selalu bersifat toleran terhadap mereka yang mempunyai
perbedaan.
Penutup.
Pada dasarnya kaum santri harus
berbangga dengan kesantriannya. Tidak boleh merasa minder. Namun kebanggan ini
harus disertai sikap yang istiqamah. Tidak terombang ambing oleh badai
kehidupan. Bisa mengendalikan diri sendiri. Layaknya seperti seorang peselancar
yang bisa mengikuti gerak gelombang. Betapapun dahsyatnya, dia akan selamat.
Dar al-Qur’an,
Arjawinangun, Cirebon. 7 Mei 2010.
good
BalasHapus