Selasa, 20 September 2011

PERAN SANTRI DALAM MEMBANGUN BANGSA



PERAN SANTRI DALAM MEMBANGUN BANGSA
Oleh : Ahsin Sakho Muhammad

D
alam khazanah budaya Indonesia, khususnya jawa, istilah santri ditujukan kepada pelajar yang menekuni ilmu-ilmu keislaman. Dalam Ensiklopedia Britanica, disebutkan bahwa istilah “Shastri” berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang orang yang belajar. Orang yang belajar di sini adalah orang yang belajar ilmu-ilmu kehinduan dalam sebuah padepokan. Besar  kemungkinan kata  “Santri” adalah dari bahasa sansekerta ini. Tempat yang digunakan oleh santri dinamakan “ Pesantren” yaitu tempat santri belajar. Kadangkala juga disebut dengan istilah Pondok Pesantren. Istilah “Pondok” terambil dari kata  “Funduq” yang dalam khazanah fikih  diartikan dengan tempat menginap yang terdiri dari beberapa kamar untuk para musafir, orang asing, pedagang. Istilah Guru yang mengajarkan ilmu keislaman kepada para santri juga berasal dari bahasa sansekerta yang juga berarti pengajar.  Di Jawa istilah yang paling populer untuk pemangku pesantren atau orang yang ahli dalam ilmu agama islam disebut Kiai.
Pesantren telah dikenal di Indonesia sejak lama. Tidak diketahui mulai kapan?. Ada yang mengatakan bahwa pesantren mulai dari masa “Wali Songo” yaitu sekitar abad ke 16 masehi. Kemunculan pesantren pada masa lalu berawal dari seorang Kiai yang pandai dalam ilmu keislaman yang mendiami satu daerah. Kiai tersebut mulai menjalankan missinya dengan  mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Pada mulanya di rumah sendiri, kemudian berpindah ke langgar. Tidak berapa lama Kiai tersebut didatangi dan dikerumuni banyak orang yang ingin menimba ilmu dari beliau. Mereka bisa berasal dari daerah yang jauh. Karena mereka butuh tempat menginap, kiai tersebut membikinkan bilik-bilik untuk mereka. Atau mereka sendiri yang membikin bilik-bilik tersebut di tanah pekarangan milik Pak Kiai. Lambat laun muncullah satu padepokan yang akhirnya dinamakan pesantren.
Di Indonesia, pesantren telah berperan sangat signifikan. Bagaimana tidak ? pada saat Indonesia masih di menjadi jajahan Belanda, pesantren telah banyak berbuat untuk mencerdaskan bangsa Indonesia. Para santri dididik oleh para Kiai berbagai ilmu keislaman, utamanya ilmu fikih yang bisa dipraktikkan sehari-hari dan ilmu tasawwuf/akhlak sebagai barometer kemuliaan seseorang. Para santri diberikan pelajaran tulis-menulis, terutama dengan huruf  Arab pegon. Di samping dididik cara hidup sederhana, berinteraksi dengan orang lain, berdikari, belajar mengatur diri-sendiri. Dari gubug-gubug santri yang sangat sederhana inilah muncul para Ulama, Kiai, Tuan Guru, Buya, Teuku dan pemuka pemuka agama Islam yang kelak akan menjadi pemuka masyarakat yang sangat di segani dan menjadi motivator pembangunan di daerahnya masing masing. Mereka adalah pemimpin non-formal yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sepanjang hidup mereka.
Kiprah Kiai di masyarakat cukup signifikan dan cukup sentral. Dari mulai persoalan ibadah sampai sosial. Para Kiai punya peran besar dalam membawa santrinya dan juga masyarakat di sekitarnya untuk menjadi warga negara yang saleh, taat beribadah, dan berakhlak mulia. Semua itu dikerjakan sendiri oleh para Kiai dengan swadaya, baik oleh Kiai sendiri dan atau bantuan dari masyarakat. 
Kepedulian santri untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda bisa dibuktikan pada saat para Kiai di Jawa Timur menggelorakan Perang Jihad melawan belanda. Pecahlah perang 10 November 1945 di Surabaya yang akhirnya dijadikan sebagai hari pahlawan.  Banyak para ulama dan kaum santri yang memasuki medan laga dalam peperangan melawan Belanda, dan mereka gugur dalam peperangan, mereka  mati syahid. Para Ulama, terutama Ulama NU, pada masa itu  bahkan pernah mengeluarkan fatwa haram bagi seorang muslim memakai dasi dan jas, karena dianggap meniru gaya penjajah yang nota bene non  muslim. Hal itu karena kebencian yang memuncak dengan perilaku kaum penjajah. Para ulama berpijak kepada hadis bahwa “Barang siapa yang meniru niru budaya satu kaum, maka dia termasuk dalam kaum tersebut”.
Pada saat Indonesia merdeka, kembali pesantren mempunyai andil yang besar yaitu dengan keikut sertaan para Kiai ikut dalam pemerintahan seperti menjadi Menteri seperti K.H.Wahid Hasyim yang menjadi Menteri Agama, begitu juag K.H.Ilyas, Saefudin Zuhri, Moh.Dahlan dan lain lainnya. Mereka adalah Kiai Kiai dari pesantren. Sementara pesantren terus berkiprah dalam dunia pendidikan dan perbaikan akhlak para santri.
Jumlah pesantren dan santri dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pesantren pun telah banyak memodifikasi diri. Jika pada saat yang lalu kebanyakan pesantren menerapkan sistim salaf yaitu dengan sistim mengaji kepada kiai dengan sistim “sorogan” atau “bandongan” tanpa dibedakan tingkatan para santri, kemudian muncul sistim klasikal dengan jenjang kelas yang bermacam macam. Lalu muncul kelas dasar yang disebut Ibtida’i, Tsanawi dan ‘Aliyah.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, pesantren pun ikut berkiprah bersama dengan pemerintah dalam mencerdaskan bangsa melalui jenjang kelas dan kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah.   Kemudian ada pesantren yang memodifikasi sendiri sebagai pesantren yang menerapkan sistim modern yaitu menggabungkan antara ilmu agama dan umum dengan metode pelajaran yang modern pula, dengan ciri khas pengajaran bahasa asing. Utamanya bahasa arab dan inggris. Pesantren model ini ternyata membawa dampak yang sangat besar bagi munculnya intelektual muda yang sangat potensial. Sudah banyak alumnus pesantren model ini yang berkiprah dalam membangun bangsa ini. Model pesantren seperti ini akhirnya menjadi “Franchise”yang banyak diminati oleh masyarakat, sehingga pesantren pesantren model ini tumbuh pesat dimana mana.
Yang unik dari dunia pesantren adalah, bahwa setiap pesantren mempunyai spesifikasi sendiri dalam menata sistim pendidikannya, kurikulum dan aturan aturan internal lainnya. Dari sekian banyak pesantren yang menyelenggarakan pendidikan ada beberapa catatan untuk dunia pesantren yaitu : pesantren masih belum bisa menyelengarakan pendidikan tingginya sendiri yang mempunyai keahlian akademik sebagaimana apa yang kita lihat saat ini. Dari sini pesantren masih belum bisa bersaing dengan dunia pendidikan tinggi di luar pesantren yang bisa mencapai pendidikan tertinggi setingkat S2 dan S3. Betapapaun demikian keberadaan pesantren sampai saat ini masih sangat dirasakan peranannya dalam dunia pendidikan. Sampai saat ini pesantren pesantren baru, banyak bermunculan dimana mana. Peminat dari orang tua santri untuk menyekolahkan anaknya di pesantren juga masih tinggi. Lebih dari itu banyak sekolah tinggi yang pada mulanya berawal dari sekolah biasa, mengadakan sistim seperti pesantren yaitu adanya pemondokan bagi para muridnya.  Di Universitas universitas islam di Timur Tengah, ternyata sistim yang digunakan adalah sistim pesantren, seperti : “Madinah al-Bu’uts sl-Islamiyyah” di al-Azhar Mesir atau di Universitas Islam madinah Saudi Arabia, atau di “Kulliyatud Da’wah al-Islamiyah” di Libia .
Ciri khas pesantren semenjak dulu yang menjadikan daya pikat masyarakat adalah : kesederhanaan, kemandirian, kebersamaan, keikhlasan, kepatuhan kepada guru, kepatuhan kepada nilai nilai moral dan akhlak, kesalehan invidual maupun kesalehan sosial dan lain sebagainya. Ternyata sistim ini sangat efektif untuk mendidik dan menciptakan  generasi islam yang mumpuni.
Al-Qur’an dan Dunia kaum Santri
Dalam al-Qur’an tidak kita jumpai masyarakat pesantren sebagaimana yang kita pahami sekarang ini. Namun nilai yang dikembangkan kaum santri dalam kehidupan sehari hari banyak kita temukan seperti keikhlasan, kepedulian kepada sesama, berakhlak mulia, bertakwa kepada Allah dan lain sebagainya. Betapapun demikian ada beberapa ayat yang bisa kaitkan dengan dunia pesantren.
Cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang tertuangkan dalam surah al-Kahf, bisa dijadikan contoh dalam kepatuhan seorang murid kepada guru dan kegigihan dalam mencari ilmu dan guru yang mursyid. Nabi Musa ingin mencari seorang guru yang akan mengajarinya satu ilmu Allah yang belum diberikan kepadanya. Nabi Musa dengan pendampingnya berjalan berhari hari dengan sangat melelahkan, untuk mendapatkan guru yang dimaksud.   Setelah mendapatkannya di “Majma’ al-bahrain” (pertemuan dua laut), nabi Musa diajari untuk bersabar dalam menghadapi kejadian apapun. Ada tiga peristiwa dimana nabi Musa tidak habis berfikir  kenapa hal tersebut dilakukan oleh gurunya ? nabi Musa memprotes atau setidaknya perlu menanyakan tentang tiga hal tersebut, karena memang bertentangan dengan syari’at atau tidak lazim. Padahal dalam perjanjian semula, nabi Musa tidak boleh  menanyakan sesuatu apapun  yang dilakukan gurunya. Tiga hal tersebut ialah : merusak perahu milik orang miskin, membunuh anak kecil yang tidak berdosa dan  membenahi tembok yang sudah miring tanpa mendapat imbalan apapun. Akhirnya nabi Khidir mengajak berpisah, karena nabi Musa telah “gagal” mempertahankan janji semula yaitu tidak boleh bertanya tentang apapun yang dilakukan gurunya. Nabi Khidirpun membuka rahasia tentang kejadian yang dilakukanya. Ternyata nabi Khidir melakukan hal tersebut berdasarkan “ilmu” yang diberikan Allah kepadanya, yang tidak diberikan kepada nabi Musa.
Cerita nabi Musa dan nabi Khidir  ini bisa dijadikan “’’ibrah”atau pelajaran tentang kegigihan seorang murid (santri) dalam melakukan perjalanan mencari ilmu dari guru yang dalam “satu cabang ilmu” lebih senior. Dan menjadi pelajaran bahwa seorang yang walaupun sudah mendapat kedudukan yang tinggi (menjadi nabi), tetapi masih tetap mempunyai semangat untuk mencari ilmu. Nabi Musa juga mempunyai daya kritis terhadap gurunya yang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan syari’at nabi Musa. Namun nabi Musa juga akhirnya memahami tindakan nabi Khidir, karena tindakannya berdasarkan ilmu yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Ayat lain yang terkait dengan dunia santri adalah ayat yang disebutkan diatas. Ayat tersebut turun terkait dengan banyaknya sahabat yang pergi berperang melawan musuh musuh islam yang telah menzalimi mereka. Banyak diantara mereka yang bersumpah akan terus pergi berperang selama hidup. Jika mereka pergi berperang tanpa dipimpin nabi,  dengan konsekwensi mereka meninggalkan Nabi sendirian di madinah.  Keadaan ini dalam pandangan Allah menyebabkan kerugian banyak karena tidak ada yang mau belajar agama dari nabi. Oleh karena itu ayat ini menghimbau kepada para sahabat, jika tidak ada mobilisasi umum dari nabi untuk berperang, maka harus ada dua kelompok. Ada kelompok yang tetap bersama nabi untuk belajar ilmu agama. Dan kelompok yang pergi berperang. Jika kelompok yang pergi berperang tersebut pulang kembali ke madinah, maka hendaknya kelompok yang bersama nabi memberikan pengajaran kepada kelompok yang pergi berperang tentang apa yang mereka dapatkan dari nabi. Sebaliknya mereka yang pergi berperang juga memberikan pengajaran tentang apa yang mereka lihat di medan perang seperti keajaiban tentang bentuk pertolongan Allah kepada mereka pada saat berperang.
Ayat ini walaupun diturunkan dalam konteks tertentu, namun jangkauan pengertian ayat ini bisa menembus batas kawasan dan arena turunnya. Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa hendaklah ada sekelompok orang yang menekuni ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fiddin) sampai betul betul memahaminya. Kelompok ini jumlahnya sedikit saja seperti pengertian kata “Thaifah”. Hal ini memberikan pengertian bahwa mayoritas masyarakat tidak diharuskan bertafaqquh fiddin. Tapi cukup bagi mereka menjadi “mutadayyin” atau orang yang berperilaku agama secara baik. Kelompok yang sedikit ini hendaknya betul betul “bertafaqquh fiddin” sehingga bisa menjadi “faqih fid din” yang  mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Kelompok kedua adalah kelompok pejuang di jalan islam yang akan mempertahankan panji panji keislaman. Kedua kelompok ini mempunyai missi yang sama yaitu menyebarkan agama dengan ilmu dan amal.  Pengertian “tafaqquh fiddin” menjangkau semua aspek pengetahuan tentang ajaran agama islam, dari persoalan akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, kekeluargaan dan lain sebagainya. Tugas mereka kemudian adalah menyebarkan kesadaran beragama tersebut kepada masyarakat agar bisa menjaga diri yaitu dengan menjalankan kehidupan mereka agar sesuai dengan ajaran agama islam. Substansinya adalah agar mereka selalu dalam jalur yang benar. Tugas untuk “tafaqquh fiddin” persis dengan apa yang menjadi tugas seorang santri yang memang bertujuan untuk memahami ajaran agama. Teknis dari tafaqquh fiddin sudah tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing masing. Jika pada masa lalu tafaqquh fiddin masih sebatas di surau surau, maka pada masa kini bisa di bangku perkuliahan dengan alat alat yang modern. Begitu juga teknis penyampaian ajaran agama yang telah diperolehnya. Disesuaikan dengan perkembangan di masyarakat.  Jika pada masa kini, dunia telah berkembang maju dari segi teknologi, semestinya santri juga bisa mengembangkan dirinya dengan teknologi tersebut. 
Peran Santri Pada Masa Kini.
Pada saat ini dunia berkembang dengan sangat pesat. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan menyebabkan percepatan dalam segala bidang. Arus globalisasi sudah tidak bisa terbendung lagi. Efek samping dari arus globalisasi ini mengenai semua aspek kehidupan umat manusia, dengan sisi positif dan negatifnya. Hanya saja unsur unsur yang memberangus nilai nilai dan tatanan yang dibawa islam lebih dominan dari unsur membangunnya. Para ulama masa lalu telah berhasil menanamkan nilai nilai keislaman dengan baik di masyarakat. Adanya hukum adat dalam masyarakat yang mempunyai nilai yang bagus sesungguhnya adalah tatanan nilai yang diajarkan oleh para ulama pendahulu. Namun tatanan tersebut sedikit demi sedikit mulai terkena erosi oleh kemajuan zaman. Maka agar tatanan nilai tersebut tidak terus menerus  terkena erosi, mau tidak mau generasi yang mengusung tatanan nilai islami harus terus ditumbuh kembangkan. Institusi yang paling berkompeten dalam hal ini adalah pesantren. Karena pesantrenlah yang mampu menciptakan ruang lingkup kehidupan keagamaan yang intensif.
Ada satu ayat yang agaknya bisa dijadikan pegangan dalam menghadapi arus globalisasi ini. Ayat tersebut adalah :
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ (196) مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (197) [آل عمران : 196 ، 197]
Artinya : janganlah pergerakan orang orang kafir di seluruh negeri menjadikan kamu terbujuk. Itu hanyalah kesenangan yang sedikit, kemudian tempat kembali mereka adalah di neraka jahanam. Seburuk buruknya tempat.
Ayat diatas sangat tepat dibacakan pada saat ini. Banyak orang yang silau dengan kemajuan teknologi barat, sehingga mereka terpengaruh oleh sisi sisi negatif dari kehidupan barat . mereka hanyut dengan kehidupan model demikian. Ayat tersebut memberikan pelajaran yang berharga bahwa kaum muslimin harus mempunyai sikap yang tegas dan mempunyai prinsip yang tidak tergoyahkan oleh apapun, walaupun hal itu sangat menarik baginya.
Namun demikian seorang santri pada masa kini harus mengetahui kondsisi zamannya. Masyarakat yang ada di sekitar santri makin lama makin maju, semakin kritis terhadap segala sesuatu,semakin rasional dan komprehensif dalam memandang satu persoalan. Oleh karena itu santri masa kini perlu memerhatikan hal hal berikut :
Pertama : santri  harus terus mengikuti perkembangan zaman, melihat perilaku masyarakat.  dan menghadapinya dengan hati hati dan bijak. Setiap zaman mempunyai karakteristiknya masing masing yang berbeda dengan masa sebelumnya. Maka penanganan terhadap satu mas’alah pun juga akan berbeda.
Kedua : Santri harus bisa berbicara dengan bahasa dan alur pemikiran masyarakat yang dihadapi. Santri masa kini tidak boleh kaku dalam menerapkan ajaran islam tapi harus fleksibel. Penerapan ajaran islam secara kaku hanya akan menuai kritikan dari masyarakat. Ada hal hal yang prinsipil yang tidak boleh ada toleransi seperti mas’alah akidah dan akhlak. Tapi ada yang bisa di toleransi seperti persoalan mu’amalah dan persoalan ijtihadiyah dimana ruang gerak akal mendapatkan tempatnya yang cukup luas.
Ketiga : santri harus bisa mengembangkan diri. Tidak puas dengan keilmuan dan keahlian  yang ada. Pengembangan diri ini mutlak diperlukan agar jangan sampai jalan di tempat. Banyak membaca merupakan salah satu cara untuk memperluas wawasan. Budaya tulis menulis termasuk dalam pengembangan diri. Dalam dunia dimana informasi bagaikan air bah yang tidak bisa dibendung lagi, kaum santri perlu memanfaatkan informasi tersebut dengan sebaik baiknya. Jika tidak, dia akan tertinggal.
Keempat: kaum santri perlu tetap mengedepankan nilai nilai akhlak al-karimah. Bersikap tegas dalam setiap persoalan pokok ajaran agama islam. Bahwa yang benar adalah benar, harus di bela dan yang salah tetap salah, harus disalahkan. Tidak tergoda oleh apapun juga. Penegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah unsur paling penting bagi sosok Kiai yang disegani oleh masyarakatnya. Karena Kiai adalah sosok nilai yang berjalan.  Walaupun demikian,  dalam pelaksanaan amar makruf-nahi munkar  bisa bersifat akomodatif, persuasif dan fleksibel. Kiai juga Selalu bersifat toleran terhadap mereka yang mempunyai perbedaan.
Penutup.
Pada dasarnya kaum santri harus berbangga dengan kesantriannya. Tidak boleh merasa minder. Namun kebanggan ini harus disertai sikap yang istiqamah. Tidak terombang ambing oleh badai kehidupan. Bisa mengendalikan diri sendiri. Layaknya seperti seorang peselancar yang bisa mengikuti gerak gelombang. Betapapun dahsyatnya, dia akan selamat.
                                     Dar al-Qur’an, Arjawinangun, Cirebon. 7 Mei 2010.


1 komentar: